*) Bahasan lebih detil mengenai topik ini ada di buku baru saya #GenM: Generation Muslim (Bentang, 2016).
Minggu lalu saya menulis topik mengenai cool. Saya bilang di situ bahwa marketers harus sadar bahwa coolness (sesuatu yang keren) menjadi kian penting sebagai pendiferensiasi produk. Kenapa? Karena coolness kian menjadi penentu keputusan membeli (decision to buy) konsumen. Cool adalah hal esensial yang dicari konsumen.
Dalam tulisan tersebut juga saya bilang bahwa apapun yang berbau global selalu dianggap sebagai cool. Globalisasi, global market, global corporation, global brand, global culture, global lifestyle, global citizen, global fashion, Hollywood, hip-hop, boy band adalah cool.
Begitu pula apapun yang berbau digital selalu dianggap cool. Google, Facebook, digital lifestyle, digital entrepreneur, digital start-up, Go-jek, hingga wearable device adalah cool.
Coolness Baru
Awal bulan depan saya akan meluncurkan buku baru berjudul #GenM (Generation Muslim). Dalam buku tersebut saya melihat adanya sebuah tren menarik mengenai kegairahan kebudayaan Islam di Indonesia. Fesyen bernuansa muslim (hijab), buku-buku inspirasi Islam, novel bernuansa Islam (“Ayat-Ayat Cinta”), apps bernuansa Islam, film dan sinetron bernuansa Islam, musik bernuansa Islam, termasuk dunia dakwah Islam masuk dalam ranah budaya mainstream yang diterima secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat. Saya menyebutnya fenomena geliat peradaban Islam di Indonesia.
Nah, di tengah geliat peradaban Islam tersebut, saya melihat bahwa kebaikan, kesalehan, dan kearifan yang dibawa oleh Islam menemukan identitas baru yang cool. Inilah yang saya sebut sebagai the new cool. Maka, gaya hidup Islam pun menemukan identitas baru yang keren. Muslim lifestyle is the new cool.
Hijabers Lifestyle Is the New Cool
Sejak lima tahun terakhir hijab mendapatkan penerimaan yang luar biasa dari #GenM. Saya sering menyebutnya sebagai fenomena revolusi hijab. Populasi hijabers tumbuh sangat pesat, bisnis hijab maju begitu cepat, dan terkait dengan itu, industri kosmetik halal menggeliat.
Bagaimana revolusi hijab bisa terjadi? Salah satu hipotesis saya adalah karena adanya “daya magnet” gaya hidup hijabers. Gaya hidup hijabers memiliki nilai-nilai dan citra yang positif sehingga mampu menarik kaum muslimah #GenM untuk mengenakan hijab.
Mereka tercitrakan sebagai sosok yang salehah, memiliki banyak teman (yang terhimpun dalam komunitas-komunitas hijabers), dan memiliki kegiatan positif (mengaji, seminar, wirausaha, filantropi, dsb.). Mereka juga fashionable (selalu mengikuti mode hijab terbaru) dan digital savvy (ngeblog, bermedsos ria, antusias mengenakan wearable devices). Mereka memiliki identitas baru yang saya sebut new cool. Hijabers lifestyle is the new cool.
Halal Lifestyle Is the New Cool
Dengan semakin teredukasi dan open minded-nya #GenM, kesadaran akan kemanfaatan halal akan semakin tinggi tak hanya di tingkat normatif tapi juga substantif. Mereka memahaminya tak hanya melulu normatif yaitu sebatas menjalankan perintah agama, tapi lebih jauh lagi dalam rangka betul-betul mencari kemanfaatan yang bersifat universal.
Harus diingat, konsep halal-haram secara hakiki memang diarahkan agar kaum muslim mengonsumsi makanan-minuman yang sehat dan tak merusak tubuh. Jadi prinsip halal-haram sesungguhnya membawa kemanfaatan yang positif tak hanya bagi kaum muslim semata, tapi juga umat manusia secara umum.
Dengan pemaknaan yang lebih universal dan positif semacam ini konsep halal pada gilirannya akan menyandang identitas baru yang cool. Halal becoming a new cool. Dengan begitu konsep ini akan diterima lebih luas tak hanya di kalangan kaum muslim, tapi juga di luar muslim.
Non-Riba Is the New Cool
Riba adalah sebuah skema yang diciptakan oleh sistem kapitalisme yang menggiring umat manusia untuk berlaku tamak dan serakah, mau menang sendiri, memangsa sesama, dan segudang penyakit selfish yang lain. Riba membentuk manusia menjadi economic animal.
Sistem ini terbukti telah menumbuh-suburkan ketamakan dan keserakahan. Hasilnya, sistem itu telah membikin kerusakan di muka bumi: ketimpangan kaya-miskin, persaingan yang mematikan antar sesama, krisis ekonomi dunia yang silih berganti, kerusakan lingkungan seperti penggundulan hutan dan pemanasan global. Sebuah kerusakan peradaban yang kini sudah nyata kita alami.
Nah, di tengah kerusakan peradaban inilah konsep non-riba muncul, sebagai koreksi atas konsep kapitalisme. Dengan wawasan dan pengetahuan yang baik, #GenM mampu menangkap nilai-nilai keadilan, kemitraan, kesetaraan, kepedulian, dan gotong-royong dari konsep ini, sehingga konsep ini akan menemukan identitas baru yang cool. Ekonomi non-riba akan menjadi the new cool.
Dian, Fatin, Nadiem, Alfatih Are the New Cool
Konsepsi the new cool juga bisa terbentuk jika elemen-elemen keislaman berpadu dengan apa yang selama dianggap cool seperti: global, digital, green, atau giving.
Contoh paling gampangnya adalah dengan melihat empat sosok yang menjadi role model #GenM yaitu: Dian Pelangi, Fathin Shidqia, Nadiem Makarim, dan Alfatih Timur.
Dian Pelangi adalah desainer muda berpengaruh Tanah Air yang membawa spirit fesyen modern dalam busana muslim. Dian adalah sosok digital savvy karena aktif di media sosial dan merupakan salah satu hijab blogger terkemuka di Instagram dengan pengikut jutaan orang. Dian aktif mengikuti event-event fesyen global seperti New York Fashion Week atau London Fashion Week. Nilai-nilai keislaman yang berpadu dengan identitas global dan digital menjadikan Dian Pelangi sebagai sosok role model #GenM. Dian Pelangi is the new cool.
Fatin Shidqia adalah muslimah yang solehah. Namun tidak itu saja yang membuat ia istimewa bagi kalangan muda (teen) #GenM. Fatin juga memiliki bakat istimewa dengan memenangkan ajang X Factor yang merupakan event global (global TV competition franchise) yang digelar oleh puluhan negara di lima benua. Identitas kesolehan Fatin yang berpadu dengan bakatnya yang berkelas dunia menghasilkan sosok yang cool di mata anak muda #GenM. Fatin is the new cool.
Nadiem Makarim adalah sosok idola baru #GenM. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital, ia berhasil merevolusi industri transportasi dengan Go-Jek. Tak hanya itu lulusan Harvard Business School ini juga menjadi sosok giving leader karena Go-Jek berkontribusi mengurangi pengangguran dengan menampung ratusan ribu pengojek menjadi “karyawan”-nya.
Alfatih Timur melakukan hal yang sama dengan mendirikan Kitabisa.com, sebuah platform berbagi untuk penggalangan dana. Sosok muslim Nadiem dan Alfatih yang berpadu dengan citra digital dan giving menghasilkan sesuatu yang cool. Nadiem & Alfatih are the new cool.
Welcome to the era of the new cool.
5 comments
Lihatlah kita bisa unggul genM berlimpah di Indonesia
PF pak Siwo
mantaaap pak terima kasih sudah diingatkan
Terima kasih Mas Yuswohadi telah mengingatkan kami untuk serius tentang peranan penting Muslim dalam the new cool
[…] Source : http://www.yuswohady.com/2016/11/19/the-new-cool/ […]
[…] ekonomi. Mereka adalah muslim yang menjadi warga global village. Mereka adalah muslim yang digital savvy, karena itu saya menggunakan logo yang menyerupai simbol […]