Festival biasanya digelar seiring dengan munculnya tren atau gaya hidup baru yang sedang happening.
Dulu di akhir tahun 60-an ketika musik rock menjadi demam di seluruh dunia, muncul festival legendaris Woodstock.
Sekitar 10 tahun lalu saat dance music sedang heboh-hebohnya di Jakarta, muncul festival DWP (Djakarta Warehouse Project).
Atau kini saat kopi artisan digilai kaum milenial maka muncul begitu banyak festival kopi di seluruh pelosok negeri.
Nah, minggu lalu kita menyaksikan fenomena yang menarik di JCC Jakarta, dimana “hijrah” dijadikan ajang festival dan sukses luar biasa sehingga menimbulkan viral di mana-mana. Namanya, Hijrah Fest 2018.
Logikanya, (mengacu pada tiga festival yang saya sebutkan di atas), “hijrah” kini menjadi sesuatu yang happening, heboh, dan keren, sehingga perlu difestivalkan.
Pertanyaannya… Fenomena apakah ini?
Hijrah Fest sesungguhnya bukanlah fenomena yang datang tiba-tiba. Sejak 10 tahun lalu, melalui tulisan-tulisan dan dua buku saya Marketing to the Middle Class Muslim (2014) dan Generation Muslim #GenM (2016), saya sudah melihat akar dan gejalanya.
Bahkan di buku yang kedua, saya sudah memberi subjudul: “Islam itu Keren” untuk menggambarkan tren gaya hidup muslim yang kian keren dan diminati kalangan muda perkotaan. Artinya, sejak itu kalangan milenial muslim mulai mendapatkan identitas baru yang keren.
Sejak hampir sepuluh tahun yang lalu saya sudah mulai melihat gejala bahwa gaya hidup muslim bakal menjadi gaya hidup yang keren, bahkan menjadi unsur inheren budaya pop di Indonesia.
Contohnya, dulu di pertengahan tahun 2000-an muncul tren musik, sinetron, dan film Islam yang begitu heboh. Di film misalnya, dipicu sukses Ayat-Ayat Cinta (2008), film-film bertema Islam menjadi boom dan menjadi identitas budaya pop baru yang universal. Artinya tidak hanya disukai oleh kaum muslim saja, tapi oleh semua kalangan masyarakat.
Kemudian menjelang tahun 2010-an, tiba-tiba hijab fashion menjadi tren kaum muslimah urban yang cool (sering disebut “hijabers lifestyle”). Tren ini memicu gelombang revolusi industri hijab di tanah air.
Ke depan saya masih menunggu tren-tren gaya hidup muslim berikutnya yang bakal happening seperti: “halal lifestyle”, “sportyjab lifestyle”, “non-riba lifestyle”, atau “wakaf lifestyle” hingga “mipster (muslim hipster) lifestyle”.
Saya perkirakan gaya hidup baru muslim yang keren itu bakal menyeruak menjadi mainstream budaya massa yang mewabah di seluruh tanah air.
Terkait Hijrah Fest, saya ingin memberikan catatan khusus karena terdapat fenomena amat menarik di dalamnya. Kenapa? Karena tren ini digerakkan oleh kaum muda milenial perkotaan (dengan “booster” para artis hijrah) yang passionate memperdalam agama.
Fenomena hijrah sudah sejak lama ada, namun kini di tangan milenial, hijrah menjadi sesuatu yang cool, kekinian, dan punya daya magnet ampuh dalam memengaruhi para peers (sesama milenial muslim) untuk ikutan berhijarah.
Lalu apa kaitan semua fenomena kekinian ini dengan syiar Islam?
Ini yang menarik. Dalam konteks marketing, saya sering mengatakan bahwa cara paling ampuh untuk memasarkan sesuatu adalah dengan menjadikannya sebagai sebuah lifestyle yang cool.
Kenapa Upnormal bisa begitu sukses misalnya, bukan dikarenakan Indomie-nya yang disulap dengan beranekaragam topping, tapi lebih karena nongkrong di Upnormal kini sudah menjadi sebuah lifestyle yang cool.
Nah, ketika hijrah disulap menjadi sebuah lifestyle baru yang cool, maka ia akan menjadi “alat pemasaran” yang ampuh untuk mengajak kaum milenial lain berhijrah. Caranya bukan dengan ceramah menggurui, tapi melalui “peer to peer influence” antar sesama milenial.
Inilah gaya baru syiar Islam ala milenial, dimana menyebarkan kebaikan Islam bukan lagi dengan penanaman nilai secara indoktrinatif, tapi dengan menjadikan kebaikan Islam sebagai sebuah lifestyle yang keren.