2019 adalah tahun dimana dua ekonomi baru yaitu: Digital Economy dan Leisure Economy mulai menemukan critical mass-nya dan akan menghasilkan “the whole new world” dengan jutaan peluang pasar dan bisnis baru.
Kenormalan baru sudah lamat-lamat menampakkan bentuknya dan setiap pelaku bisnis harus mulai jeli memasang insting bisnisnya agar bisa “menyalip” pemain lain (khususnya inkumben) di tengah kenormalan baru yang bakal lahir.
Memang betul pertumbuhan ekonomi kita stagnan ogah beranjak dari 5% namun para pelaku bisnis tak perlu resah. Kenapa? Karena kita sedang mengalami “anomali pertumbuhan” dimana begitu banyak output ekonomi yang “tak tertangkap” dalam angka GDP (gross domestic product) konvensional kita.
Pertumbuhan yang “flat cenderung turun” adalah konsekuensi dari “more-for-less economy”, ekonomi baru super-produktif, yang mampu mengolah sumberdaya minimal untuk menghasilkan output yang maksimal. Platform digital memungkinkan pelaku ekonomi memangkas input 10X lebih sedikit untuk menghasilkan output 10X lipat lebih banyak.
Bagaimana wajah lanskap bisnis di tahun 2019? Ulasannya saya sederhanakan dalam satu bagan berikut.
I. Winter Is Coming: “Trade War”
Ada dua driver of changes utama yang bakal memengaruhi tahun 2019 yaitu di tingkat global (”Winter Is Coming”) dan kondisi politik lokal yang bakal tidak menentu sebagai akibat digelarnya pemilu (“Pemilu Effect”) yang mendorong pelaku bisnis “wait & see”.
Istilah Jokowi “Winter Is Coming” untuk menggambarkan dinamika ekonomi-politik global sungguh pas, dimana muncul tahta-tahta seperti digambarkan dalam film Game of Thrones: Ada tahta AS, tahta Tiongkok, atau tahta ekonomi Eropa. Masing-masing melakukan trade war untuk berebut pengaruh. Ketika sesama gajah bertarung maka pelanduk mati di tengah-tengah.
Nasionalisme ekonomi AS (“America First”) melawan Tiongkok (dan Dunia) kini menemukan momentumnya saat kebijakan populis Trump menuai hasil luar biasa. Setelah dicaci-maki di mana-mana, kini Trump menjadi hero di negaranya karena mampu mewujudkan “America great again”, janjinya saat kampanye.
Sungguh mengagetkan pengumuman World Economy Forum bulan lalu yang menempatkan AS sebagai the world’s most competitive economy setelah 10 tahun kecolongan posisi bergengsi ini. Ketika kebijakan nasionalisme ekonomi Trump mendapat angin segar maka bisa ditebak trade war antar tahta akan makin intensif. Dan ketika sesama gajah saling bertarung maka pelanduk-pelanduk (termasuk Indonesia) akan sengsara di tengah-tengah.
II. Pemilu Effect: “Wait & See”
Di dalam negeri, bagaimana pengaruh pemilu tahun depan ke dunia bisnis? Akankah volatile dan uncertain? Atau sebaliknya adem-ayem? Tergantung.
Tapi yang jelas pelaku bisnis akan “wait & see”. Ada dua momen politik yang mereka tunggu: pertama, bulan April saat muncul nama presiden baru terpilih. Kedua, bulan Oktober saat kabinet baru terbentuk.
Skenarionya, kalau Jokowi-Amin terpilih maka kondisinya akan cenderung adem-ayem karena besar kemungkinan presiden baru akan melanjutkan kebijakan-kebijakan sebelumnya tanpa ada perubahan drastis dan uncertain. Pelaku bisnis juga bisa menebak bagaimana format kabinet dan arah kebijakannya.
Namun bila Prabowo-Sandi yang terpilih, maka pelaku bisnis akan lebih was-was dan terus menduga-duga arah kebijakan ekonomi-bisnis pemerintahan baru. Bisa dipastikan pemerintahan baru akan mengambil posisi detrimental: mencari simpati dengan membalik arah semua kebijakan pemerintah sebelumnya.
Pemerintahan baru di bawah Prabowo-Sandi bakal mengambil kebijakan-kebijakan populis yang bisa menegasikan hasil-hasil yang telah diperoleh pemerintahan sebelumnya. Eksperimen-eksperimen kebijakan bakal banyak muncul dengan berbagai dampaknya baik positif maupun negatif.
Perubahan-perubahan drastis ini tentu menimbulkan ketidakmenentuan dan ketidakpastian setidaknya di masa-masa awal pemerintahan. Setiap pelaku bisnis harus mumpuni beradaptasi perubahan-perubahan drastis ini.
III. Threat: Millennial + Tech Disruption
Ada dua kekuatan disruptif yang bakal memengaruhi pelaku bisnis di tahun 2019. Pertama adalah disrupsi teknologi (technology disruption), kedua disrupsi milenial (millennial disruption). Yang pertama memengaruhi dari sisi “supply”, sementara yang kedua dari sisi “demand”.
Teknologi-teknologi 4.0 seperti machine learning, artificial intelligence (AI), big data analytic, internet of things, robotic, 3D printing, hingga blockchain makin dalam masuk ke jantung operasi perusahaan dan menjadi alat bersaing mematikan.
Jangan bilang “kedatangan” teknologi 4.0 ini masih lama karena sifat teknologi 4.0 yang scalable, artinya begitu prototipe terbarunya diterapkan Google atau Amazon di Amerika maka dalam waktu singkat juga akan terimplementasi di seluruh dunia. Toko tanpa kasir berbasis AI misalnya, tahun lalu diluncurkan oleh Amazon di Seattle (Amazon Go), tapi dalam kurun waktu beberapa bulan kini sudah ada di PIM 2, Jakarta.
Untuk memanfaatkan disrupsi yang ditimbulkan oleh teknologi 4.0 pemain tak lagi cukup memiliki “incremental (linear) mindset”. Mereka harus memiliki “exponential mindset” yaitu fokus menghasilkan pertumbuhan 10X bukan 10%; menciptakan diskontinuitas, bukan kontinuitas; dan mewujudkan accelerating return to scale, bukan sebatas increasing return to scale.
Orang mengira bahwa disrupsi hanya menyangkut teknologi. Disrupsi juga dilakukan oleh konsumen terutama konsumen milenial yang bakal mendominasi pasar Indonesia maupun dunia. Tulisan saya Millennial Kill Everything menjelaskan dengan gamblang bahwa milenial telah mendisrupsi (baca: membunuh) begitu banyak industri.
Milenial menjadi “pembunuh berdarah dingin” bagi begitu banyak produk dan layanan karena perilaku dan preferensi mereka bergeser sehingga produk dan layanan tersebut menjadi tidak relevan lagi, alias punah ditelan zaman. Layanan kartu kredit atau kartu debit misalnya, kini terancam terdisrupsi karena milenial bergeser preferensinya, lebih menyukai layanan seperti Gopay melalui handphone ketimbang layanan bank.
Kombinasi disrupsi teknologi (supply) dan disrupsi milenial (demand) bakal menjadi ancaman yang sangat serius bagi setiap pemain di tahun 2019. Mereka harus memiliki early warning system untuk mengendus datangnya disrupsi dan mengelolanya dengan baik.
IV. Opportunity: Leisure + Digital Economy
Sukses di era kenormalan baru kita tidak bicara pertumbuhan 10%, tapi 10X. Pertanyaannya, industri apa yang bisa menjanjikan pertumbuhan 10X?
Menyalip di kenormalan baru berarti Anda harus bisa riding the wave memanfaatkan dua ekonomi yang sedang tumbuh pesat yaitu: Leisure Economy dan Digital Economy. Untuk itu Anda harus tahu rule of the game dua ekonomi tersebut. Bagan berikut meringkaskan perbedaan mendasar dua ekonomi tersebut.
Untuk sukses bersaing di Digital Economy Anda harus bisa men-deliver “more-for-less” value yang bakal membawa persaingan pasar ke dalam pusaran komoditisasi. Untuk bisa mewujudkan “more-for-less” value, maka mau nggak mau Anda harus menggunakan “asset-light model” dengan memanfaatkan aset digital yang dimiliki. Salah satunya memanfaatkan sharing platform seperti yang dilakukan oleh Gojek, AirBnB, atau Netflix.
Keuntungan bisnis digital adalah scalability. Memang marjin-nya cenderung kecil (bahkan long-tail) namun bisnis digital bisa di-scaling up ke level nasional, regional, dan global dengan sangat efisien. Itu sebabnya Gojek atau Traveloka memang harus berekspansi meluaskan operasinya ke pasar ASEAN, tak melulu di Indonesia.
Sebaliknya, untuk sukses di Leisure Economy Anda harus mengandalkan customization dan personalization. Karena itu “sentuhan manusia” menjadi the real differentiation Anda. Kalau bisnis digital cenderung menarget pasar yang standard, maka bisnis leisure lebih menarget pasar yang unik.
Kalau bisnis digital mengandalkan utilitas yang standard, mudah diukur, dan bisa diperbandingkan secara objektif, maka bisnis leisure bersifat subjektif dan harus bisa menciptakan memorable experience & connection. Kalau bersaing di Digital Economy Anda harus menghasilkan “more-for-less” value, maka bersaing di Leisure Economy Anda harus bisa menghasilkan value berupa “defining moment” yang berkesan di hati konsumen.
Akhir kata, di sirkuit GP atau Formula 1, pembalap menyalip lawannya bukanlah di lintasan lurus, tapi di tikungan. Begitu pula di bisnis, menyalip pesaing yang paling mudah adalah di situasi yang gonjang-ganjing, disuptif, chaotic, diskontinyu, dan uncertain. Tahun 2019 adalah saat yang tepat untuk menyalip… menyalip di tengah transisi menuju kenormalan baru.
Selamat Tahun Baru 2019