AUTHENTIC MESSAGE seperti yang disampaikan demo mahasiswa, petisi guru besar, dan terakhir film Dirty Vote selalu memiliki pengaruh yang impactful dan masif ke para voters.
Apalagi di masa-masa “genting” menjelang pencoblosan.
Maka, wajar Timses paslon 02, pihak yang tersinggung oleh pesan tersebut, bereaksi dengan cara MENEGASIKAN pesan tersebut.
Maka yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut pertempuran “SOURCE CREDIBILITY”. Dimana masing-masing penyampai pesan saling berebut klaim mengenai siapa sumber pesan yang paling kredibel.
Pertama, KILL THE MESSAGE: Timses paslon 02 mencoba menegasikan pesan dengan menyebut sebagian besar isi film bernada fitnah, narasi kebencian yang asumtif, serta tidak ilmiah.
Kedua, KILL THE MESSENGER: mereka juga mencoba menegasikan pembuat pesan. Mereka mempertanyakan kapasitas para akademisi di balik Dirty Vote.
Mereka ingin merontokkan kredibilitas para ahli hukum tata negara tersebut sehingga pesan film tersebut menjadi tidak otoritatif.
Aksi menegasikan ini dilakukan karena memang sosok akademisi dan guru besar dipandang sebagai figur otoritatif yg memiliki pengetahuan mendalam, analisis yang kritis, dan dipercaya tidak partisan
Sehingga opini atau kritik mereka dianggap lebih obyektif dan berbasis pada analisis ilmiah atau pengamatan kritis terhadap situasi.
Dalam konteks pemilu yang sangat kompetitif, informasi dari sumber yang dianggap kredibel seperti akademisi/guru besar ini dapat membantu swing voters dalam membuat keputusan berdasarkan fakta dan argumentasi yang obyektif, bukan sekedar retorika atau propaganda.
Namun pada akhirnya pilihan dikembalikan pada para voters itu sendiri. Mana MESSENGER yang lebih dipercaya oleh mereka, maka MESSAGE itu yang akan dipegang.
by @yuswohady