Tiap Kamis pagi dua minggu sekali saya mengasuh acara talkshow radio Smart Branding di sebuah radio nasional. Minggu ini tamu saya adalah Yasa Singgih, seorang teenpreneur yang sukses dengan brand fesyennya Men’s Republic.
Perjalanan Yasa merintis bisnis sangat heroik. Ia jatuh bangun memulai bisnis di saat yang masih muda usia 15 tahun, dimulai dari menjadi MC, dagang grosiran kaos, hingga kuliner. Semuanya gagal total hingga akhirnya kesuksesan berlabuh saat ia merintis Men’s Republic yang berkembang pesat hingga beromset miliaran rupiah.
Saat memulai setiap bisnis tersebut, Yasa tak tahu-menahu seluk-beluk bisnis yang ia masuki. Pengetahuannya mengenai kaos nol besar saat ia mulai berdagang kaos. Pengetahuannya mengenai kuliner nol besar saat ia membuka kafe. Begitupun saat ia merintis Men’s Republic.
“Modal saya berbisnis hanyalah keberanian,” ujarnya. Pernyataan Yasa itu bukanlah barang baru. Seluruh wirausaha yang berangkat dari nol, hampir pasti mengatakan hal yang sama: “modal berbisnis yang paling utama adalah keberanian.” Tapi entah kenapa pernyataan itu tiba-tiba membuat pikiran saya terusik.
Tak Perlu Tahu Apa-Apa
Selama lima tahun terakhir saya banyak memberikan coaching/mentoring (secara pro bono hehe…) ke teman-teman wirausahawan kecil dan menengah. Kebanyakan mereka adalah wirausahawan yang baru memulai bisnis atau usia bisnisnya masih di bawah 5 tahun. Dari banyak menerima keluhan dan tantangan pelik mereka, saya menjadi semakin percaya pada pernyataan Yasa di atas.
Saya semakin percaya pada prinsip bisnis yang selintas nyleneh, tapi ketika dipikir-pikir banyak benarnya dan lebih down-to-earth. Tentu saja prinsip ini akan ditertawakan oleh profesor atau mahasiswa sekolah bisnis. Prinsip itu berbunyi: ketika Anda memulai dan merintis sebuah bisnis maka sebaiknya Anda justru “tak perlu tahu apa-apa”.
Lebih tepatnya, Anda tak perlu tahu banyak-banyak mengenai teori dan konsep bisnis. Anda tak perlu tahu segmentasi, targeting, positioning. Anda tak perlu tahu model bisnis kanvas berikut kriteria nine block-nya yang njlimet. Anda tak perlu tahu service excellence, Balanced Scorecard, 7S-nya McKinsey, atau Six Sigma. Bahkan Anda tak perlu tahu banyak bisnis kuliner ketika Anda memulai bisnis kuliner seperti dialami Yasa.
Kenapa? Karena ketika di medan perang kita sudah tahu posisi ranjau yang ditebar musuh, maka gerak maju kita dalam menumpas musuh akan super hati-hati dan selalu dihinggapi rasa ketakutan. Ketika kepala kita sudah dipenuhi teori-teori bisnis yang ndakik-ndakik, maka teori itu layaknya ranjau yang ditebar di medan perang. Kita akan selalu menjadi peragu apakah langkah yang kita ambil sudah benar atau belum. Kita akan selalu takut dan galau langkah kita tidak sesuai teori. Akibatnya gerak kita demikian kaku dengan selalu mengacu pada koridor teori-teori bisnis yang berlaku umum.
Kalau sudah begitu, maka biasanya nyali dan keberanian kita dalam mengambil risiko bisnis juga akan tumpul. Tak hanya itu, kita juga makin rabun melihat persoalan-persoalan bisnis riil yang kita hadapi di lapangan. Karena rabun, maka kemampuan kita dalam memberikan solusi juga tak terasah. Itu sebabnya saya banyak menemui wirausahawan yang rajin ikut seminar bisnis (bisa 3 kali seminggu), tapi bisnisnya tak pernah maju-maju. Mereka terlalu kebanyakan mikir dan belajar, tapi tak pernah action.
Sesungguhnya sukses bisnis itu cuma ditentukan oleh dua hal. Pertama, kejelian melihat persoalan-persoalan yang kita hadapi. Kedua, kemampuan kita dalam menyelesaikannya. Dua kemampuan kunci ini menjadi tumpul oleh adanya “ranjau-ranjau” teori bisnis yang membebani langkah dan otak kita. Sementara kalau kita tak terbebani oleh tetek-bengek teori itu, langkah kita justru lebih ringan, natural, adaptif, dan fokus pada fakta riil yang kita hadapi di depan mata.
Perlu Tahu Semuanya
Kalau demikian halnya, berarti kita tidak perlu tahu teori dan konsep bisnis dong? Tidak begitu. Seperti saya katakan di depan, kalau Anda memulai bisnis, memang sebaiknya Anda “tak perlu tahu apa-apa”. Namun tidak demikian halnya jika bisnis Anda sudah berkembang. Ketika bisnis yang Anda rintis tumbuh pesat dan mulai menuntut scaling-up, maka sebaliknya, Anda justru “perlu tahu semuanya.”
Dari pengalaman bergumul dengan teman-teman wirausaha yang sedang merintis bisnis, masa-masa “survival” bisnis umumnya terjadi di 3-5 tahun pertama. Kalau semuanya lancar, sejak masa kritikal itu biasanya bisnis mulai tumbuh dan harus di-scaling up. Anda mulai butuh sistem yang baku, struktut organisasi yang rapi, people management yang solid, SOP yang standar, dan sebagainya.
Nah, di titik inilah Anda justru harus mulai memperbanyak ikut seminar bisnis dan menguasai teori dan konsep bisnis. Ketika kapasitas bisnis Anda mulai menuntut diperbesar, maka era scientific management harus mulai diterapkan. Kenapa begitu? Karena kalau Anda terus mengandalkan nyali, keberanian, insting bisnis, dan waton action, maka Anda pasti tak akan bisa sustainable. Untuk sustainable Anda harus mulai menerapkan praktek manajemen yang terstruktur dan sistematis. Anda harus mulai tahu teori dan konsep bisnis modern.
Singkatnya, camkanlah prinsip ini: “saat memulai bisnis, Anda tak perlu tahu apa-apa. Namun saat mengembangkan bisnis Anda harus tahu semuanya.”
Anda boleh sepaham dengan saya, boleh juga tidak.