Heboh batu akik menyapu seluruh pelosok negeri. Di mana-mana orang ngobrolin batu akik. Ngomongin batu akik kini tak kalah seru dibanding ngomongin sepak bola, bisa seharian nggak ada habisnya. Bisnis batu akik pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Batu Bacan, batu Garut, batu Sungai Dareh, batu Kalimaya, atau batu Giok Aceh menjadi “selebritis” yang diburu penghobi dan kolektor batu akik. Harganya ampuuun, konon ada yang mencapi miliaran rupiah.
Menggeliatnya bisnis batu akik menarik ditinjau dari sudut pandang kalangan kelas menengah (saya menyebutnya: consumer 3000). Di buku saya Consumer 3000, saya menyebut konsumen dari kalangan kelas menengah ini memiliki tiga ciri. Pertama, memiliki daya beli tinggi (high buying power). Kedua, berpengetahuan dan berwawasan luas (knowledgeable) mengingat sumber-sumber informasi terbuka luas terutama internet. Ketiga, antar terhubung satu sama lain (socially-connected) melalui media baru seperti blog, Twitter, atau Facebook.
Harus diingat, fenomena heboh akik adalah fenomena kelas menengah. Kenapa? Karena, tak seperti dulu-dulu, harga akik kini sudah cukup mahal dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Yang mampu mengoleksi beragam batu akik bernilai jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta hanyalah (minimal) kalangan kelas menengah. Karena jumlah kelas menengah begitu besar mendominasi penduduk kita, tak heran jika heboh akik ini meluas demikian hebatnya.
Dari sudut pandang konsumen kelas menengah, ada tiga alasan yang menjadikan bisnis ini demikian heboh.
Hobi plus Investasi… Why Not!!!
Alasan pertama dari sisi hobi dan investasi. Kelas menengah adalah konsumen yang kebutuhan-kebutuhannya mulai sophisticated, tak melulu mencukupi kebutuhan sandang-pangan-papan. Dengan kemampuan keuangan dan daya beli yang lumayan, mereka mulai membutuhkan hiburan, liburan, atau memanjakan hobi. Tak mengherankan jika bisnis hiburan (contohnya: karaoke), liburan (contonya: liburan ke Singapura), dan hobi (contohnya: hobi otomotif) merupakan bisnis yang pertumbuhnnya menggeliat luar biasa. Nah, contoh hobi yang kini kian mereka gemari adalah mengoleksi batu akik.
Hobi mengoleksi batu akik kini menjadi spesial bagi kelas menengah mengungguli hobi-hobi yang lain karena di dalamnya terdapat unsur investasi. Perlu diingat, salah satu ciri lain dari kelas menengah adalah mereka mulai memiliki uang menganggur (discretionary income) yang bisa diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk portofolio investasi mulai dari deposito, emas, properti, hingga saham. Batu akik berpotensi menjadi portofolio investasi yang menarik akhir-akhir ini karena nilainya yang terus naik. Kabar burung yang terdengar bahkan harganya mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah.
Nah, ketika hobi dan investasi ini bisa “bersatu-padu” dalam entitas bisnis akik, maka tak mengherankan jika bisnis ini menjadi pilihan yang seksi bagi kalangan kelas menengah. Mereka gegap gempita memburu bisnis ini.
Instant Financial Freedom
Alasan kedua dari sisi mimpi kelas menengah untuk mencapai kebebasan finansial (financial freedom). Inilah mimpi terbesar dari kalangan kelas menengah kita: kerja habis-habisan di usia muda, lalu memasuki usia 40 atau 50 tinggal ongkang-ongkang kaki menikmati hidup dengan bunga deposito atau gain saham. Nah, bisnis batu akik bisa menjadi medium baru bagi kalangan kelas menengah kita untuk mewujudkan kebebasan finansial tersebut dengan cara aji mumpung memanfaatkan harganya gila-gilaan.
Sesungguhnya tidak tepat mengatakan bisnis batu akik sebagai investasi, lebih tepatnya adalah spekulasi. Ya, karena tingginya nilai batu akik belum sepenuhnya teruji. Takutnya harga batu akik yang melambung akhir-akhir ini adalah anomali. Tak tertutup kemungkinan tiga bulan dari sekarang nilainya jatuh seperti yang dialami Anthorium beberapa tahun lalu. So, maraknya bisnis akik akhir-akhir ini tak lain adalah cermin dari “irrational exhuberance” (meminjam Alan Greenspan) untuk mewujudkan kebebasan finansial dengan cara-cara yang instan.
Para “pelaku dadakan” bisnis akik ini terobsesi untuk kaya mendadak karena terbius oleh simpang-siur informasi mengenai tingginya nilai batu akik. Saya misalnya, menemukan di salah satu posting di media online, bahwa harga satu batu akik bisa mencapai Rp.18 miliar… wow!!! Obsesi menjadi jutawan atau miliarder dengan mudah dan instan inilah yang menjadi penyulut maraknya bisnis ini beberapa tahun terakhir. Semua orang terbuai oleh obsesi menjadi kaya mendadak.
WOM Bak Virus
Alasan ketiga adalah hadirnya media sosial yang memainkan peran kunci dalam “menggoreng” nilai batu akik yang gila-gilaan. Seperti saya ungkapkan di depan konsumen kelas menengah adalah kalangan yang socially-connected alias terhubung satu sama lain oleh media seperti blog, Twitter, atau Facebook. Dengan adanya media sosial, informasi apapun merambat demikian cepat. Contohnya harga batu akik Rp.18 miliar tadi, bisa merambat demikian cepat menghasilkan promosi dari mulut ke mulut (word of mouth, WOM) yang menjadikan bisnis ini demikian hot dan atraktif.
Komunitas-komunitas batu akik, baik offline maupun online, menjadi agen yang penting bagi terwujudnya WOM tersebut. Melalui percakapan di dalam dan antar komunitas itulah nilai bisnis batu akik “digoreng” sehingga memiliki daya tarik yang luar biasa. Kisah-kisah sukses pebisnis batu akik begitu bombastis disebarkan melalui media sosial bak virus ganas. Dari situ muncul exhuberance alias kegairahan luar biasa untuk berbisnis batu akik, tak hanya dari kalangan yang telah lama berkecimpiung di bisnis ini tapi terutama orang-orang awam dan pebisnis-pebisnis batu akik dadakan. Harap diketahui, yang justru heboh adalah yang terakhir ini.
Harus diakui heboh bisnis akik membawa manfaat ekonomi yang positif bagi kita semua. Karena itu saya selalu berdoa agar heboh bisnis ini bisa berlangsung terus dan sustainable. Jangan sampai kejadian heboh Anthorium atau ikan Louhan terulang.