Akhir tahun lalu saya menulis bahwa kini kita memasuki era leisure economy dimana konsumen mulai bergeser perilakunya dari konsumsi barang (goods-based consumption) ke konsumsi pengalaman (experience-based consumption). Konsumen pun bermetamorfose menjadi apa yang sebut leisumer (leisure consumers).
Experience-based consumption seperti liburan, dine-out, nongkrong di kafe, nonton konser, nge-gym, yoga, hingga online games meningkat pesat menjadikan sektor leisure tumbuh begitu cepat melampaui sektor-sektor yang lain.
Pertanyaannya, bagaimana strategi yang harus kita terapkan untuk menangkap experience-based consumption yang beberapa tahun ke depan bakal menggeliat?
Saya punya enam strategi yang bisa kita ambil untuk sukses di era leisure economy. Enam strategi ini akan menjadi intisari dari buku baru saya yang berjudul Welcome Leisure Economy (2018) yang akan terbit bulan depan.
#1. Every Business is Leisure Business
Apapun bisnis Anda, Anda harus memperlakukannya sebagai bisnis leisure. Caranya dengan menyuntikkan elemen experience ke dalam value proposition yang kita tawarkan ke para leisumers. Offer experience or you will die!!!
Matahari dan Ramayana struggling beberapa tahun terakhir. Begitu juga Pasar Glodog dan Roxi kian hari kian sepi. Kenapa? Karena mereka tidak menyuntikan elemen experience ke dalam value proposition yang mereka tawarkan ke para leisumers.
Mal Kasablanka, Mal Gandaria City, Mal Central Park atau Citos yang memposisikan diri sebagai pusat kuliner kelas menengah justru tumbuh pesat dan makin bergairah karena mereka menempatkan experience sebagai “menu utama” tawaran mereka ke pengunjung.
Orang ke mal bukan semata untuk berbelanja barang. Mereka ke mal untuk “berliburan” mendapatkan pengalaman mengesankan di tengah kepenatan kerja yang kian menghimpit.
Baca Juga: Milenial Jaman Now Penggerak Leisure Economy
#2. Create Moment. Inspire Customers to Recommend
Di era laisure economy, marketing is about creating moment. Mencipta pengalaman yang menjadikan leisumers bilang: “Wow!!!” Dan kemudian menceritakan “Wow!!! Experience” itu ke konsumen lain melalui posting di Facebok, twit di Twitter, atau rating dan review di situs-situs online. Ingat, di era media sosial: “Your leisumers are your best salesmen”.
“Wow!!! Experience” bisa berupa pengalaman yang menyentuh sisi kognitif, emosi, maupun aksi dimana konsumen larut (immerse) dalam setiap pengalaman yang kita ciptakan. “Wow!!! Experience juga bisa tercipta dengan dengan mengoneksikan leisumers dengan leisumers lain sehingga mereka menemukan jati diri dan eksistensinya.
#3. Leisumers Search for Happiness, Esteem, and Meaning. Leisurize Your Offering
Di era leisure ekonomi konsumen sangat haus untuk mendapatkan kebahagiaan (happiness), penghargaan (esteem) dari orang lain, dan makna hidup (meaning). Karena apaun produk dan layanan yang Anda berikan harus menciptakan HEP (happiness, esteem, meaning) ke konsumen.
Gerai-gerai kopi artisan seperti Tanamera atau Filosofi Kopi misalnya, memberikan “meaning” bagi para leisumers dengan menunjukkan kepedulian kepada kopi dan petani kopi Indonesia. Mereka melestarikan kopi Indonesia, membantu pengolahan kopi petani, dan menerapkan konsep fair trade. Kepedulian ini memberikan “meaningful life” ke leisumers.
#4. Build Authenticity. It’s the Ultimate Cutomization
Orisinalitas dan otentisitas memiliki value yang amat tinggi bagi para leisumers. Karena itu diferensiasi akan tercipta jika produk dan layanan kita memiliki unsur orisinalitas dan otentisitas. Dengan orisinalitas-otentisitas, Anda akan mendapatkan kemewahan mendapatkan premium pricing.
Pada saat diluncurkan, Goods Dept mengusung konsep yang orisinil-otentik dengan mengurasi brand-brand lokal yang unik. Karena keunikannya, maka gerai ritel ini kemudian menjadi hub bagi fesyen alternatif dan produk-produk lifestyle.
#5. Give Them Stage. Facilitate Your Customer to Express
Leisumers menginginkan momen-momen berkesan dari setiap pengalamannya diabadikan dan di-share ke teman-teman lain. Dengan men-share pengalaman (bukan barang), mereka menemukan eksistensi dan jati dirinya. Karena itu, berikanlah “panggung” kepada mereka untuk berekspresi dan menampilkan jati dirinya.
Kesuksesan Warung Upnormal, tak hanya ditentukan oleh menu Indomie yang dikemas dengan topping aneka menu dan rasa, tapi juga oleh tampilan interior/eksterior gerainya yang kekinian dan Instagramable. Warung Upnormal memberikan “panggung” dan memfasilitasi para leisumers untuk pamer jati dirinya.
#6. Entice Customer’s Curiosity through Story
Story creates FOMO (“Fear of Missing Out”). Cerita-cerita otentik (bukan cerita jualan) selalu membuat leisumer menjadi penasaran alias kepo. Cerita memungkinkan pesan-pesan brand menjadi viral dari satu leisumers ke leisumers yang lain.
Di depan saya katakan bahwa, “marketing is about creating moment thru wow!!! experience”. Nah, momen-momen tak terlupakan itu haruslah bisa dikemas dalam sebuah cerita yang mengesankan.
Falcon adalah rumah produksi yang piawai mengemas sebuah cerita, dan kemudian mengonversi cerita tersebut menjadi sebuah “gerakan viral” oleh para penonton film-filmnya. Contoh terakhir adalah film Dilan 1990 yang mampu menggerakan para penontonnya untuk memviralkan meme-meme di media sosial, di arisan-arisan kampung, di obrolan di ruang makan, dan di manapun.
Doakan buku saya bisa cepat terbit, tanpa aral-melintang. Welcome the leisure economy…