Wikipedia mendefinisikan imperialisme sebagai berikut: “an action that involves a nation extending its power by the acquisition of inhabited territory.” Imperium berasal dari bahasa Latin yang berarti “kuasa yang tak ada tandingannya” (“supreme power”).
Melihat konteks kekinian, terutama era digital, saya mencoba memperluas makna imperialisme, tak hanya menyangkut negara menguasai negara; tapi juga korporasi menguasai korporasi; atau korporasi menguasai individu. Esensinya tetap sama yaitu hegemoni, superioritas, dominasi, dan pemaksaan pengaruh satu pihak ke pihak lain.
Makna hakiki imperialisme adalah eksploitasi aset berharga milik pihak yang dikuasai baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Lenin menyebut: “imperialism was the highest form of capitalism”.
Mengacu pada pengertian baru ini saya membagi imperialisme modern ke dalam tiga gelombang besar.
Imperialisme 1.0 adalah penguasaan oleh negara-negara penjajah (imperial nations) terhadap tanah-tanah baru di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin.
Imperialisme 2.0 adalah penguasaan oleh korporasi-korporasi digital raksasa terhadap internet yang kemudian diikuti pencaplokkan terhadap perusahaan lain di seluruh dunia.
Imperialisme 3.0 adalah penguasaan oleh negara (dijalankan oleh lembaga seperti CIA atau NSA), korporasi (seperti Cambridge Analytica dan Facebook), atau individu terhadap seluruh umat manusia melalui penguasaan data privat yang sangat besar yang kini kita kenal dengan big data.
Imperialism 1.0: “Pirates of the Land”
Imperialisme 1.0 ditandai dengan pendudukan oleh negara-negara besar seperti Inggris, Portugis, Belanda, atau Jepang terhadap “tanah-tanah baru” di Asia, Afrika hingga Amerika Latin. Pendudukan dan penjajahan yang berlangsung sejak abad 16 hingga penghujung abad 20 ini dilakukan untuk menguasai perdagangan komoditas global dan mendapatkan bahan mentah untuk menggerakkan industri.
Aksi ini dimulai dari pendudukan dan pembentukan koloni terhadap Kepulauan Mauritius oleh Belanda pada tahun 1598 yang kemudian disusul gelombang pendudukan koloni-koloni baru selama tiga abad berikutnya.
Gelombang imperialisme pertama ini mencapai masa kejayaannya pada abad 18 (disebut “The Age of Imperialism”) seiring terjadinya Revolusi Industri di Eropa yang membutuhkan bahan baku dan bahan mentah untuk industri.
Imperialisme 1.0 menghasilkan perusahaan multinasional pertama di dunia yaitu EIC (East India Company, 1600-1874) yang di masa kejayaan menguasai sekitar setengah perdagangan dunia. Mereka merampas kekayaan alam seperti cengkeh, kapas, pala dari negara jajahan untuk dibawa ke Eropa. Di Indonesia kita mengalami masa kelam Imperialisme 1.0 dengan kehadiran VOC selama lebih dari tiga abad.
Imperialism 2.0: “Pirates of the Internet”
Melompat ke abad 21, Imperialisme 2.0 ditandai oleh adanya penguasaan oleh korporasi-korporasi digital (dikenal dengan sebutan “The Big Four”: Google, Facebook, Amazon, Apple plus perusahaan platform seperti Uber, AirBnB, hingga Alibaba) terhadap perusahaan lain secara massif.
Kalau imperialisme 1.0 menguasai “tanah-tanah baru” di dunia ketiga, maka Imperialisme 2.0 menguasai “tanah-tanah digital baru” yaitu: internet. Ambisi The Big Four adalah memonopoli internet untuk dimonetisasi menjadi bisnis triliunan dolar.
Penguasaan ini dilakukan dengan cara menciptakan model bisnis baru berbasis digital untuk menghasilkan disrupsi (“digital disruption”) yang memporakporandakan model bisnis konvensional di berbagai industri.
Setelah perusahaan luluh-lantak terdisrupsi, maka para disruptor itu serta-merta “menghisap”-nya layaknya vacuum cleaner. Amazon menghisap industri ritel; Google dan Facebook menghisap industri media; Uber menghisap industri transportasi. Begitulah cara mereka menggurita dan menghegemoni bisnis dunia.
Imperialisme 2.0 digerakkan oleh para libertarian entrepreneur/investor yang tak percaya pada kekuatan negara. Mereka adalah sosok-sosok seperti: Peter Thiel, Jeff Bezos, Larry Page, Sean Parker, Elon Musk, dll.
Ideologi mereka adalah neoliberalisme (mengacu pada pemikiran sosok seperti: Ayn Rand, Milton Friedman, atau Alan Greenspan) dengan ambisi megalomania menguasai sumber daya global dan mengendalikan ekonomi/politik dunia.
Kemampuan keuangan mereka praktis tanpa batas, karena begitu mereka berhasil mendisrupsi industri demi industri, maka harga sahamnya langsung meroket setinggi langit. Dan dengan kapitalisasi pasar mencapai ratusan miliar dolar, dengan mudah mereka membeli satu-persatu pesaingnya. Dan memang salah satu hobi mereka adalah “menyantap” perusahaan lain.
Kalau di era Imperialisme 1.0 senjata yang digunakan adalah senapan dan kapal perang, maka senjata ampuh Imperialisme 2.0 adalah: pertama, teknologi (disruptive technologies); kedua, modal (limitless capital) yang diperoleh dari kapitalisasi pasar.
Imperialism 3.0: “Pirates of the Big Data”
Imperialisme 3.0 adalah penguasaan oleh negara (corporaticracy), korporasi (data analytic companies), atau bahkan individu terhadap seluruh umat manusia melalui penguasaan dan manipulasi data privat kita yang sangat besar (big data). Manifestasinya adalah terbentuknya apa yang disebut: “Surveillance Economy”.
Penguasaannya dilakukan dengan cara mengekstraksi dan menganalisis data privat kita: data pencarian kita di Google, percakapan kita di Facebook, transaksi kita di situs ecommerce, lokasi kita di Waze, atau foto keseharian kita layar CCTV, juga aktivitas kita yang terekam oleh wearable devices atau piranti internet of things (IoT).
Data tersebut kemudian dimanipulasi untuk memengaruhi dan membentuk perilaku kita. Dan pada akhirnya (dengan algoritma tertentu) digunakan untuk mengontrol dan mengarahkan tindakan kita sesuai kepentingan si pengolah data. Bisa kepentingan ekonomi, politik, atau budaya.
Untuk gampangnya lihatlah skandal Facebook-Cambridge Analytica. Sekitar 50 juta data privat warga Amerika di Facebook diekstraksi dan dianalisis oleh Cambridge Analytica untuk mengetahui karakteristik psikografis pemilih dan kemudian Cambridge Analytica memanfaatkannya untuk merancang sebuah kampanye digital untuk memengaruhi dan membentuk preferensi pemilih ke satu kandidat tertentu.
Barangkali kita tidak sadar bahwa hasil pencarian di Google atau YouTube dalam jangka panjang bisa membentuk pola pikir dan perilaku kita. Kita juga tidak sadar bahwa “Likes” Facebook telah mengembangbiakkan budaya narsis (narcissistic epidemic).
Dalam bukunya Hooked: How to Build Habit-Forming Products (2014), Nir Eyal mengatakan bahwa beragam apps yang kita pakai setiap hari (dari Facebook hingga Snapchat) memang dirancang untuk membentuk perilaku dan kebiasaan kita.
Shoshana Zuboff, profesor Harvard pengkritik surveillance business, menggambarkan bahwa di dalam surveillance economy setiap penduduk dunia tanpa kecuali adalah “tikus percobaan”.
Setiap kali kita men-scroll newsfeed di Facebook, ngeklik tombol “hati” di Instagram, atau menonton video di YouTube, maka saat itu juga kita menjadi obyek eksperimen. Apps tersebut mengumpulkan data mengenai perilaku kita dan menganalisisnya. Berdasarkan analisa tersebut mereka mendisain algoritma untuk membentuk perilaku dan kebiasaan kita di masa depan sesuai kemauan mereka. Tentu saja tujuan akhirnya adalah monetisasi dan marketisasi.
Kalau imperialisme 1.0 menguasai tanah, Imperialisme 2.0 menguasai internet; maka sasaran Imperialisme 3.0 adalah big data. Kalau senjata Imperialisme 1.0 adalah senapan, senjata Imperialisme 2.0 adalah model bisnis disruptif, maka senjata utama Imperialisme 3.0 adalah algoritma dan piranti data analytics.
Kasus Facebook-Cambridge Analytica menyentak kesadaran kita akan munculnya sebuah dunia baru yang menyeramkan dalam sejarah umat manusia yaitu kelahiran surveillance economy.
Kelahiran ekonomi baru ini mengingatkan kita pada novel klasik George Orwell berjudul 1984 mengenai sebuah negara yang warganegaranya terus-menerus diawasi oleh sebuah kekuasaan tiran. Barangkali dunia kelam yang secara dramatik digambarkan Orwell bakal kita alami sebentar lagi.
Welcome surveillance economy.
Welcome Imperialism 3.0.