Smart Flanker adalah merek-merek lokal yang by-default tidak memiliki local advantage yang kuat seperti pengetahuan dan pemahaman terhadap pasar lokal, proses yang mengacu pada kearifan lokal, atau penggunaan bahan-bahan lokal yang unik. Di samping itu, dalam hal keuangan, SDM, manajemen, dan teknologi, merek-merek dalam kelompok ini kemampuannya masih belum bisa menyamai pemain-pemain global yang berada di posisi global best practice.
Artinya, dari sisi ukuran perusahaan dan besarnya modal, dari sisi kemampuan manajemen operasi, pemasaran, SDM, dan sebagainya; juga dari sisi kecanggihan penguasaan teknologi para pemain lokal di kelompok ini relatif tertinggal. Perusahaan-perusahaan skala UKM, pemain lokal di daerah, bank-bank daerah, atau perusahaan keluarga yang masih dikelola secara tradisional, harus memainkan peran sebagai smart flanker ini.
Karena keterbatasan strategic resources tersebut, para pemain smart flanker tak bisa bersaing dengan cara berhadapan langsung (head to head) melawan pemain global. Mau tak mau mereka harus memainkan strategi menghindar (flanking) dan menciptakan rule of the game sendiri yang sulit dimasuki dan disaingi oleh pemain global.
Kreatif
Karena posisi yang tidak menguntungkan ini, maka inovasi dan kreativitas dalam membangun strategi dan model bisnis unik, serta menciptakan posisi persaingan (competitive position) yang berbeda menjadi faktor kunci kemenangan. Ketika sumber daya yang mereka miliki terbatas, maka aset terbesar perusahaan-perusahaan dalam kelompok ini adalah kreativitas: “creativity is the smart flanker’s currency of success”.
Tak mengherankan pemain-pemain smart flanker adalah perusahaan-perusahaan yang mampu mencuri pangsa pasar melalui pendekatan-pendekatan yang kreatif. Sebut saja restoran D’Cost dengan pendekatan smart value-nya; Ranch Market dengan pendekatan blue ocean strategy; atau MAK dengan pendekatan guerrilla marketing.
Kalau local challenger menghadapi pemain global dengan cara menyerang (attacking) dengan memanfaatkan keunikan lokal yang mereka miliki (baca Beat the Giant, 2013), maka pemain smart flanker justru sebaliknya menghindari perbenturan langsung dengan pemain global.
Kenapa demikian? Karena perbenturan secara langsung tentu akan menghasilkan sebuah pertarungan yang tidak berimbang (“David vs Goliath” games), yang begitu gampang ditebak siapa pemenang dan pecundangnya. Seni memainkan peran sebagai “flanking player” inilah yang menjadikan persaingan di kalangan pemain-pemain ini menarik diamati.
Flanking
Strategi flanking adalah konsep strategi pemasaran yang diadopsi dari strategi militer. Intinya, jika Anda memiliki sumber daya yang terbatas dan tak berimbang dibanding pesaing, maka Anda harus meminimalkan kekalahan dengan menghindari konfrontasi secara langsung. Prinsip dasarnya adalah: “rather than take a competitor head-on, you look for an area that is uncontested.”
Di dunia pemasaran, strategi flanking umumnya dilakukan dengan menggunakan tiga prinsip berikut:
Avoid Confrontations, yaitu mengindari konfrontasi dan perbenturan secara langsung dengan pesiang. Gerakan flanking umumnya dilakukan di area-area yang sepi dari peperangan langsung dengan target pesaing. Alat ampuh untuk melakukan strategi ini ini adalah dengan melakukan pendekatan segmentasi yang berbeda dengan pesaing dominan. The art of defining segmentation approach menjadi kunci keberhasilan pemain flanker.
D’Cost mencoba menghindari persaingan bersimbah darah (red ocean market) dengan mengambil posisi unik sebagai value innovator. Dengan mengusung konsep “Kualitas Bintang Lima, Harga Kaki Lima”, D’Cost menawarkan menu seafood berkualitas (rasa enak, tempat nyaman, layanan cepat, dll.) dengan harga yang terjangkau konsumennya. D’Cost juga menghindari konfrontasi langsung dalam melakukan komunikasi pemasaran dengan mengusung format promosi yang out of the box dan menentang arus.
Move Quickly and Quietly, yaitu bergerak dengan cepat dan tenang sehingga tak terendus oleh pesaing gajah. Karena cepat dan tak teredus, maka gerakan ini umumnya mengasilkan serangan mengejutkan yang bisa dengan telak merobohkan pemain raksasa sekalipun. “The element of surprise is worth more than a thousand tanks,” adalah ungkapan yang diyakini keampuhannya oleh para panglima perang hebat.
Pada masa-masa pertama beroperasinya awal tahun 2000-an, Lion Air adalah pemain flanker yang luar biasa. Ia melakukan gerak cepat dan tak terendus lawan saat memulai strategi low fare (tarif murah) yang diluncurkan saat ia membuka rute Jakarta-Medan tahun 2001. Strategi harga murah ini diiringi dengan efisiensi dalam penerbangan (inflight) berupa layanan no frills (tanpa makanan). Bentuknya, nasi diganti roti yang menghemat sekitar Rp 12 ribu/penumpang karena tak lagi menggunakan alumunium foil.
Don’t Be Threatening, yaitu memunculkan gerak selembut mungkin sehingga jangan sampai aksi tersebut memicu ancaman bagi pesaing besar. Dengan sumber daya yang melimpah si pesaing dominan arus dibuat agar selalu berada di zona nyaman (comfort zone) dan agar mereka tak pernah berpikir untuk melakukan serangan balik.
Ketika tahu bahwa kekuatan pertempuran bakal tidak berimbang pada tahun 2000, Mega Andalan Kalasan (MAK), produsen hospital equipment yang bermarkas di Kalasan Yogyakarta, sengaja menyingkir dari Jakarta, pasar yang saat itu paling ranum untuk diperbutkan. Dengan cantik MAK menghindar dari si pemain dominan, Paramaount dari Jepang, masuk ke rumah sakit kabupaten di seluruh penjuru Tanah Air agar tidak menjadi ancaman langsung.
Menjadi pemain liliput bukanlah sebuah kutukan. Kondisi serba terbatas justru akan membuat Anda berpikir cerdas dan kreatif ala Smart Flanker.