Tulisan saya, Sinetron, minggu lalu banyak mendapat tanggapan. Tulisan yang juga saya share di media sosial (Facebook dan Twitter) laku bak pisang goreng. Di Twitter misalnya, selama tiga hari berturut-turut tanpa jeda, saya kerepotan menanggapi comment dari para tweeps yang mengalir terus-menerus memenuhi timeline akun Twitter saya. Blog ini saya juga kebanjiran comment yang memberikan aneka-ragam tanggapan pro maupun kontra.
Menyusul kesuksesan tulisan tersebut, saya pun mulai kejangkitan penyakit produser sinetron, yaitu membikinnya bersambung. Alasannya sama persis, yaitu aji mumpung.
Kalau minggu lalu saya banyak membahas mengenai aneh bin ajaib-nya sinetron kita (protragonis yang piawai menangis; antagonis yang hobi melotot dan mendelik; logika cerita yang kacau dan membonsai otak), maka kini di “Season 2” saya akan banyak bercerita kegundahan dan keresahaan hati saya mengenai dampaknya.
Dunia Gelap
Ada dua hal yang selalu tergambar kental dari kebanyakan sinetron-sinetron kita. Pertama adalah hidup yang serba gampang dan bertabur gemerlap kemewahan. Di situ selalu digambarkan si tokoh utama (baik protagonis maupun antagonis) berasal dari keluarga kaya raya, dengan rumah gedhong di kawasan elit, perusahaan bertebaran di mana-mana, mobil mewah, istri cantik, lengkap dengan pembantu, sopir, dan satpam. Semua kemewahan itu didapatkan secara mudah tanpa putar otak, tanpa kerja keras, tanpa cucuran keringat.
Kedua adalah hidup yang kental diliputi intrik dan tipu muslihat, fitnah dan saling memperdaya lawan, dendam dan kasak-kusuk menebar kebencian, segala bentuk aksi menghalalkan segala cara untuk menghancurkan, mencelakakan, bahkan membunuh. Hidup yang tergambar dalam kebanyakan sinetron-sinetron kita adalah hidup yang muram dan diliputi aura kegelapan.
Yang saya resahkan adalah, jikalau hidup yang tergambarkan dalam sinetron-sinetron kita itu merasuk ke benak kita dan kemudian keluar secara bawah sadar (unconsciously) dalam bentuk pola pikir, perilaku, dan tindakan keseharian kita. Yang saya resahkan adalah jikalau tokoh-tokoh absurd dalam sinetron kita menjadi panutan (“role model”) bagi masyarakat kita.
Teach, Illuminate, Inspire
Jangan sepelekan dampak krusial televisi dalam mempengaruhi pola pikir pemirsanya. Survei di Amerika menunjukkan bahwa anak-anak yang sering menonton film-film action dan kekerasan di televisi memiliki kecenderungan perilaku agresif dan menganggap hidupnya diliputi ketakutan seperti tergambar dalam film-film kekerasan tersebut. Edward Murrow seorang jurnalis dan pakar pertelivisian pernah mengatakan bahwa televisi adalah kotak ajaib yang bisa mengajarkan (“teach”), mencerahkan (“illuminate”), dan bahkan menginspirasi (“inspire”) pemirsanya.
Lha, kalau hidup yang tergambarkan dalam sinetron-sinetron kita adalah hidup yang serba mudah dan diwarnai kemewahan, apa jadinya pemirsa yang diajar, dicerahkan, dan diinspirasi oleh sinetron-sinetron tersebut. Begitu pula, kalau dunia yang tergambarkan dalam sinetron-sinetron kita adalah dunia gelap yang dipenuhi intrik, tipu-muslihat, dan kebencian, apa jadinya para pemirsa yang diajar, dicerahkan, dan diinspirasi oleh sinetron-sinetron tersebut.
Saya khawatir jika generasi penonton sinetron kita adalah generasi gampangan yang berpikir bahwa hidup itu mudah tanpa perlu putar otak, tanpa perlu kerja keras, dan tanpa perlu cucuran keringat seperti tergambar dalam sinetron kita. Saya juga khawatir jika generasi penonton sinetron kita menganggap dunia mereka adalah dunia muram yang selalu dipenuhi intrik dan tipu-muslihat.
Koruptor dan Politikus
Bicara mengenai dunia sinetron kita yang dipenuhi kemewahan dan kemudahan, saya jadi ingat sosok koruptor. Saya kira, pola pikir gampangan yang tergambar dalam sinetron kita di atas persis dimiliki oleh para koruptor kita. Kita tahu bahwa para koruptor ini maunya hidup mudah bergelimang harta dan kemewahan (punya rumah mewah, mobil mewah, perusahaan banyak, istri cantik dan selingkuhan, pembantu-sopir-satpam) tapi tanpa kerja keras dan cucuran keringat. Saya jadi curiga, jangan-jangan para koruptor itu menjadi begitu karena mereka kebanyakan nonton sinetron?
Bicara mengenai dunia sinetron yang dipenuhi intrik dan tipu muslihat saya juga jadi ingat politikus kita. Saya kira, dunia penuh intrik dan tipu-muslihat yang tergambar dalam sinetron kita di atas persis terjadi dalam perilaku dan budaya para politikus kita baik di pemerintahan, di DPR, maupun di PSSI. Para politisi ini saling serang, saling menuduh dan memfitnah, saling memperkarakan ke pengadilan, saling mencelakakan dan menghancurkan, saling kasak-kusuk menebar kebencian untuk membela kepentingan pribadi dan kelompoknya. Saya jadi curiga, jangan-jangan para politisi itu menjadi begitu karena mereka kebanyakan nonton sinetron?
Dari bicara sinetron lari ke koruptor dan politikus. Ini tanda-tanda tulisan ini mulai tidak nyambung alias nglantur. Saya nggak mau seperti produser sinetron kita yang suka memaksakan skenario: yang nggak nyambung disambung-sambungkan, demi alasan rating dan fulus. Karena itu sudah waktunya tulisan ini ditutup sampai S2 saja. Tidak ada S3, S4, apalagi S7 seperti sinetron Cinta Fitri dan Tersanjung!!!