Menjelang pemungutan suara Pemilu lalu, secara beruntun keluar akun bernada “Say No To…” di FB. Diawali dengan “Say No To Megawati” yang heboh banget, lalu disusul untuk SBY, Kalla, dan capres-capres lain. Yang ketiban pulung rupanya mbak kita, mbak Mega.
Siapa yang membikin akun itu tak begitu jelas identitasnya, tapi suatu aksi yang mungkin bermotif keisengan (atau mungkin sangat serius dan sarat muatan politik) itu serta-merta direspons begitu antusias oleh begitu banyak warga FB. Dalam kasus Megawati misalnya, hanya sekitar 3 hari saja, “simpatisan” nya sudah mencapai hampir 100 ribu orang.
“It’s the power of HORIZONTAL (new wave) energy!!!”
“It’s the power of [E = wMC2]!!!”
“It’s the power of MANY TO MANY marketing!!!”
Lepas dari dampak politis yang diakibatkan, fenomena itu memberikan indikasi bahwa ada semacam “COMMON DESIRE”, “KEBIMBANGAN BERSAMA”, atau “ASPIRASI BERSAMA” yang kita semua rasakan untuk menolak Megawati menjadi presiden 2009. Common desire ini kemudian diwadahi oleh akun “Say No To…” di atas, dan hasilnya… BUZZZZZZZZZZ… reputasi seorang capres melayang.
Jujur lho, saya tidak sedang dibayar SBY, atau Kalla, atau Prabowo, untuk menulis artikel ini. Saya 100% non partisan. Tapi saya nyoblos lho, walaupun nyoblos apa nggak jelas… habis bingung sih kebanyakan foto, apalagi fotonya cantik-cantik & ganteng-ganteng.
Celakanya, beberapa hari kemudian saya mendapati akun “Say No To…” memakan korban berikutnya. Kali ini korbannya adalah pakar telematika kita, Roy Suryo. Kasusnya sama persis, ada semacam “common desire”, “aspirasi bersama”, “kebimbangan bersama” untuk menolak kepakaran dari sang pakar. Common desire itu diwadahi oleh sebuah media sosial (social media), dan kemudian muncul TENAGA HORIZONTAL untuk melakukan mosi tidak percaya terhadap kepakaran sang pakar.
Hasil akhirnya sama persis… BUZZZZZZZZZZZZ…reputasi sang pakar pun berada di ujung tanduk.
Kalau akun “Say No To Megawati” dan “Say No To Roy Suryo” demikian gampang melenggang dan memakan korban, keresahan saya kemudian adalah: niiscaya fenomena yang sama akan gampang terjadi pula untuk kasus perusahaan (korporasi).
Ambil contoh sederhana untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki operasi yang sensitif terhadap isu-isu sosial. Misalnya: perusahaan rokok yang sensitif dengan isu kesehatan; perusahaan penambangan atau HPH yang sensitif dengan pencemaran lingkungan; perusahaan obat dan makanan yang sensitif dengan isu keracunan atau penyakit; perusahaan padat karya yang sensitif terhadap isu eksploitasi tenaga kerja; dsb-dsb). Bisa dong kasus akun “Say No To Megawati” dan “Say No To Roy Suryo” dengan gampang menimpa mereka?
Dengan bungkus “common desire”, “aspirasi bersama”, “kebimbangan bersama”, maka monster akun “Say No To…” akan BERGENTAYANGAN memakan satu demi satu korbannya. Kalau ini benar terjadi, maka tentu saja temen-temen yang berkecimpung di dunia ke-PR-an akan makin sibuk, dan tak nyenyak tidur.
Inilah sisi gelap web 2.0
Inilah sisi gelap PR 2.0
Inilah sisi gelap dunia baru yang kita belum jelas betul, apa JUNTRUNGANNYA.
Apakah ujung-ujungnya SPIRITUALISME menjadi oasis penyejuk di padang yang gersang?