Hari ini 7 maret 2009, saya, Dr Firmansyah dari UI, dan Dr Muhhamad Akbar dari Unhas menjadi pembicara seminar bertopik “Marketing Politik” yang diselenggarakan IMA Chapter Makasar. Berikut ini saya upload materi presentasi saya, temen-temen yang mau mendownload silahkan, gratis…tis…tis
Political Marketing
Akhirnya muncul keputusan Gedung Putih Obama tetap boleh menggunakan gadget kesayangannya, Blackberry. Memang masih belum begitu jelas sejauh mana dan kepada siapa dia boleh menulis email atau posting di blog-nya. Yang jelas Gedung Putih dan Pentagon telah menyisipi perangkat lunak khusus untuk menyensor lalu lintas pesan dari dan ke Blackberry Obama.
Seperti kita tahu, sebelumnya Obama terancam tidak bisa lagi menggunakan Blackberry-nya karena adanya Presidential Records Act yang mengharuskan seorang presiden tidak boleh sembarangan mengirim dan menerima email karena alasan keamanan negara.
Bagi kita yang “merasa memiliki” Obama, tentu saja ini kabar bagus. Itu berarti Obama adalah “presiden horizontal pertama” dalam sejarah umat manusia. Dia akan bisa ”stay in touch” dengan stakeholder-nya. Dia bisa terus mendengarkan keluh-kesah rakyatnya (istilah kerennya: ”listen to the voice of customers”). Dia juga bisa melakukan conversations, berdiskusi, dan meminta pertimbangan dari teman-temannya untuk suatu permasalahan yang pelik (ingat:” WE are smarter than ME”).
Inilah jaman horisontal, presiden pun harus menjadi horisontal. Dulu pak Harto jatuh salah satunya karena arus informasi dari dan ke pak Harto banyak mengalami distorsi. Distorsi oleh orang-orang dekatnya (Harmoko and friends). Sehingga pak Harto buta terhadap aspirasi rakyat yang berkembang. Karena buta, keputusan yang dia ambil pun blunder melulu.
Hal ini diulang lagi di jaman Gus Dur. Karena memang penglihatannya kurang begitu bagus Gus Dur banyak mengandalkan informasi dari para pembisik. Celakanya para pembisik ini beraneka ragam interest politiknya. Sehingga informasi yang sampai ke Gus Dur terdistorsi: dipluntir kanan-kiri. Maka sekali lagi banyak kebijakannya blunder dan bolong di sana-sini.
Dengan menggunakan Blackberry, blog, YouTube, dan mungkin FB untuk mendengarkan aspirasi dan melakukan conversation dengan stakeholder-nya maka Obama memasuki era baru komunikasi politik seorang presiden. Dengan mengambil manfaat dari adanya collective wisdom dari para stakeholder-nya dalam proses pengambilan keputusan maka Obama telah melakukan “creative destruction” dalam praktek pengelolaan negara.
Kalau dalam CROWD saya mengatakan bahwa dengan adanya web 2.0 tools bisnis dan marketing mengalami “horisontalisasi” dan “demokratisasi”. Pertanyaannya: Apakah hal yang sama akan terjadi pada proses komunikasi politik presiden dan praktek pengelolaan negara?
Di sini, Obama akan menjadi ”laboratorium” yang menarik untuk diamati…
*) Adapted from CROWD: “Marketing Becomes Horizontal” by Yuswohady
Ya… selamat buat Obama menjadi TIME’s “Person of the Year 2008”. Lihat TIME edisi minggu ini.
Bagi kita para marketer, Obama hebat karena ia adalah “GREAT HORIZONTAL MARKETER” (dan disebutkan ini salah satu alasan kenapa TIME memilihnya). Saya menyebut dia sebagai “GRASS ROOT MARKETER“.
Langkah cerdas pertama Obama menjalankan strategi kampanyenya yang “HORIZONTAL” adalah ketika dia menunjuk Chris Hughes—salah satu pendiri Facebook yang sering dijuluki “online orginising guru”—untuk menjadi “juru kampanye” di jagat maya internet khususnya melalui media jejaring sosial (social network).
Diinspirasi kesuksesan situs jejaring sosial seperti Facebook, MySpace, dan YouTube, Chris merancang My.BarackObama.com (selama kampanye dikenal dengan sebutan seksi “MyBo”) yang dijadikan epicentrum dari keseluruhan strategi Obama menggaet massa melalui komunitas dunia maya.
Melalui situs MyBarackObama.com inilah “keajaiban Obama” bermula.
* Ini adalah artikel saya di Harian Sinar Harapan bulan Januari 2004 mengenai bagaimana “memasarkan” partai.
Siapa bilang partai politik tak butuh marketing. Beberapa waktu lalu saya membaca profil sebuah partai baru yang tahun depan kebagian jatah ikut Pemilu. Yang menarik perhatian saya adalah tujuan, visi dan program mereka sebagai partai. Memperjuangkan kehidupan bangsa yang demokratis. Mengembangkan ekonomi rakyat. Memperjuangkan aspirasi rakyat. Memperjuangkan keadilan dan kedaulatan rakyat. Dan sebagainya dan sebagainya.
Saya berpikir, apa yang diharapkan oleh partai-partai tersebut dari tujuan dan visi yang sloganistis dan generik seperti itu. Saya sendiri secara pribadi menangkap tujuan dan program partai tersebut sama kosongnya dengan ungkapan, “Mencapai masyarakat adil dan makmur”-nya Orde Baru. Walaupun kata-kata itu dicekokkan ke kita hampir setiap hari semasa Orde Baru berkuasa, namun telinga kita sudah seperti imun, dan kata-kata itupun muluncur begitu saja kosong tanpa arti apa-apa.
Bagi saya tujuan dan program parpol adalah “produk” dari parpol yang bersangkutan. Kalau produk ini rata-rata saja, kosong tanpa arti, dan tidak memberikan value apa-apa bagi pembelinya, bagaimana mungkin produk tersebut bisa laku. Ketika tujuan dan program itu disosialisasikan maka ia menjadi makin penting karena akan menentukan posisi partai yang bersangkutan di benak massa pemilihnya dan di antara partai pesaing lain. Kalau tujuan dan program partai demikian pentingnya, kenapa partai-partai masih main-main dengan tujuan dan program tersebut.
Saya menduga, karena mind-set parpol kita masih belum customer-driven. Mereka berpikir bahwa apapun yang mereka katakan massa pemilih akan dengan seksama mendengarkannya, apapun yang mereka kerjakan, massa pemilih akan secara akomodatif mendukungnya. Saya juga menduga mereka masih belum sadar bahwa lingkungan kompetisi sudah sedemikian kerasnya. Saya kira mereka masih melihat dan memperlakukan pesaing seperti Golkar melihat PPP-PDI di jaman Orde Baru dulu.
Parpol saat ini berbeda dengan parpol jaman Orde Baru, apalagi dengan pemberlakuan UU Pemilu yang baru. Saat ini sebuah parpol harus bersaing dengan belasan partai lain untuk mendapatkan simpati pemilih. Tak hanya itu. Dari sisi pemilih, saat ini parpol juga menghadapi pemilih yang kritis, empowered, dan demanding. Dan yang paling penting persaingan antar parpol kini sudah tidak mengenal lagi yang namanya tekanan, paksaan, tipu daya, kongkalikong, dan sejenisnya. Semuanya dilakukan secara fair dengan aturan main yang jelas dan transparan. Kalau sudah demikian maka keunggulan bersaing parpol-lah yang akan menjadi faktor penentu kemenangan parpol melawan parpol-parpol lain.
Karena lingkungan kompetisi yang demikian, pendekatan yang digunakan parpol untuk merebut hati pemilih juga tidak bisa lagi seperti dulu. Saya kira parpol harus mulai secara taktis mengevaluasi lingkungan kompetisi (change, pesaing, customer atau massa pemilih, disamping tentu kekuatan parpol sendiri secara internal); parpol harus mulai secara kreatif menyusun segmentasi, targeting dan positioning untuk massa pemilihnya; parpol juga harus membangun diferensiasi yang akan menjadi pilar keunggulan berkompetisi; parpol juga harus melakukan aktivitas brand-building agar dipersepsi baik dan dapat menumbuhkan loyalitas dikalangan para pemilihnya. Intinya, seperti halnya perusahaan, parpol butuh marketing.
Coba kita mulai dari segmentasi-targeting-positioning. Dalam pasar pemilih yang sudah sedemikian terfragmentasi dengan pemain yang begitu banyak, terlalu mengada-ada rasanya kalau satu partai berambisi menguasai semua pemilih yang ada seperti dilakukan Golkar dulu. Parpol harus secara tegas menetapkan target pasar pemilihnya dan tak bisa lagi serakah mengambil semua massa pemilih. Kalau PKB sudah memiliki basis yang kuat di massa pemilih NU, kenapa juga ia harus serakah ingin meraup massa pemilih lain. Atau katakan ada satu partai kecil dengan kemampuan dan resources terbatas. Kenapa mereka tak bermain di niche dengan membidik segmen pemilih yang sempit, yang memiliki potensi loyalitas pemilih yang kokoh.
Kalau parpol harus menetapkan target pasar pemilihnya maka mau tak mau mereka juga harus bisa secara kreatif menyusun pasar dalam kelompok-kelompok segmen. Tanpa kreativitas mensegmentasi pasar ini mustahil bagi parpol ini memilih target pasar secara jitu. Setelah target pasar terpilih, maka giliran positioning dijalankan. Melalui positioning inilah parpol menempatkan diri di benak massa pemilihnya. PAN menempatkan dirinya sebagai partai reformis. PKB mengatakan peduli pada kepentingan massa NU. PDI perjuangan adalah partai anak muda. Positioning inilah yang kemudian harus dikomunikasikan ke seluruh stakeholder partai lewat aktivitas promosi baik melalui release, TV, radio, ataupun iklan di koran.
Tentu saja positioning tak boleh hanya omong kosong. Kalau PAN mengatakan dirinya reformis maka seluruh sepak terjangnya harus benar-benar diarahkan untuk menjadikan dirinya partai reformis tulen. Atau kalau PDI Perjuangan adalah partainya anak muda, maka segala program yang dijalankan haruslah benar-benar mengakomodasi kepentingan anak muda. Agar positioning tak hanya merupakan omong kosong di mata massa pemilih, ia harus didukung oleh diferensiasi yang kokoh.
Diferensiasi ini bisa macam-macam bentuknya. SDM dan para pemikir partai yang handal, dengan konsep-konsep program yang realistis. Basis massa yang kokoh hingga hingga ke desa-desa di seluruh pelosok Nusantara. Jaringan birokrasi yang ekstensif seperti dipunyai Golkar semasa Orde Baru dulu. Atau, mungkin juga pemimpin yang mumpuni dan karismatis. Inti diferensiasi partai adalah bahwa ia tak gampang ditiru oleh partai dan memiliki value di mata massa pemilih. Kalau sudah sulit ditiru maka tentu saja akan sulit bagi partai pesaing untuk mengunggulinya dalam medan persaingan.
Apa jadinya kalau positioning tidak match dengan diferensiasi—“bilangnya begini kenyataannya begitu”. Ya, parpol sebagai sebuah merek akan rusak. Apa jadinya kalau merek rusak. Pertama massa pemilih tidak akan percaya lagi dengan parpol tersebut. Kedua apapun yang dikatakan oleh parpol—reformis, partainya anak muda, peduli massa islam, mengakomodasi rakyat kecil—menjadi omong kosong belaka, tanpa arti apa-apa. Kalau sudah demikian bagaimana loyalitas massa pemilih bisa dipertahankan.
Di sinilah lalu upaya membangun dan menjaga merek mejadi penting. Parpol harus selalu menjaga agar mereknya dipersepsi secara positif oleh massa pemilihnya. Kalau persepsi positif ini dapat dicapai selanjutnya parpol juga harus membangun loyalitas merek dikalangan massa pemilihnya. Caranya, dengan selalu memenuhi semua janji yang tercakup dalam positioning melalui dukungan diferensiasi yang kokoh.
Bagi partai-partai peserta Pemilu, selamat bersaing memperebutkan massa pemilih. Gunakan taktik sekreatif dan seinovatif mungkin untuk merayu pemilih. Dan jangan lupa, gunakan marketing sebaik mungkin. ***