Millennial voters bakal menjadi titik pertaruhan di pemilu 2019. Mereka menjadi faktor penentu kemenangan dalam persaingan partai/kandidat di tahun sulit 2019.
Minggu lalu saya diundang oleh Polemik TrijayaFM membahas tema menarik “Berebut Pemilih Milenial” dalam pemilu 2019. Di situ banyak hadir para tokoh partai mulai dari Golkar, PKS, PAN, juga peneliti dari LSI.
Dalam diskusi tersebut saya katakan bahwa pemilih milenial bakal menjadi ajang pertarungan menentukan dan menjadi pertaruhan kemenangan partai/kandidat di Pemilu 2019. Kenapa? Ya, karena sebagian besar pemilih pemilu 2019 adalah milenial. Dari total pemilih 195 juta pemilih, sekitar 85 juta di antaranya adalah pemilih milenial atau lebih dari 40 persen.
Karena itu kejelian partai/kandidat dalam menangkap isu-isu millennial voters dan bagaimana mereka merumuskan program dan mengelola isu terkait isu-isu yang “milenial banget” tersebut akan menentukan menang-tidaknya mereka di Pemilu 2019.
Singkatnya partai/kandidat harus melontarkan isu/program yang: “millennial-friendly”
Dua Segmen Milenial
Saya membagi ada dua segmen besar millennial voters di pemilu 2019 yaitu early millennials (usia 18-25 tahun) dan late millennials (26-40 tahun).
Di usia 18-25 tahun, early millennial saya sebut sebagai “generasi hepi-hepi” karena laisure amat penting bagi mereka. Tapi di balik hedonisme itu milenial adalah juga generasi kreatif, entrepreneurial, dan paling terkoneksi (socially-connected). Sebagian besar mereka masih ada di SMA atau kuliah sehingga beban hidup dan persoalan hidup belum menghimpit mereka.
Sementara late millennial umumnya first jobber yang mulai merintis karir, mulai berumah tangga dan punya anak, dan mulai merasakan beratnya beban ekonomi yang berat. Dalam siklus hidup di rentang usia inilah perjuangan hidup dirasakan paling berat.
Pesan saya, dua segmen ini memiliki karakteristik, perilaku, dan preferensi yang sama sekali berbeda sehingga butuh perlakuan berbeda untuk menarik simpati mereka. Partai/kandidat harus jeli melihat ini.
2019 Tahun Sulit
Saat ini beberapa pakar ekonomi global sudah memberikan prediksinya bahwa krisis ekonomi global bakal barulang di tahun 2019 atau 2020. Memang perkembangan ekonomi dunia mengikuti sebuah siklus booming-crisis sebagai bagian dari business cycle perekonomin dunia.
Setelah sebelumnya krisis Asia terjadi tahun 1998, kemudian krisis finansial 2008 (subprime mortgage), maka para pakar meramalkan krisis berikutnya akan terjadi tahun depan.
Diramalkan krisis ini terutama melanda negara-negara maju baru (emerging economies) seperti Turki, Malaysia, Thailand, Meksiko, Argentina, Brasil, termasuk Indonesia. Sinyalnya sudah kita dapat beberapa minggu terakhir saat mata uang negara-negara tersebut rontok. Di Indonesia rupiah mulai melintasi ambang batas 15 ribu per dolar.
Lalu apa implikasinya bagi pemilu 2019? Isu ekonomi menjadi sangat krusial bagi milenial, apalagi kalangan late millennials yang akan menerima beban paling siknifikan dari krisis ekonomi. Kalau partai/kandidat bisa mengemas isu ekonomi dalam kampanye mereka, maka ini akan menjadi senjata ampuh untuk memenangkan persaingan.
Tidak Loyal
Milenial adalah pemilih yang galau (baca: ikut-ikutan) dan cenderung tidak loyal kepada partai/kandidat tertentu. Berbagai hasil survei menunjukkan bahwa milenial cenderung apolitis, tak mau tahu tetek-bengek urusan politik karena dalam persepsi mereka politik itu kotor dan dipenuhi berbagai intrik dan pat-gulipat.
Mereka memilih partai/kandidat secara pragmatis karena pertimbangan konten/substansi dari program yang ditawarkan. Sejauh program yang ditawarkan partai/kandidat menguntungkan dan mengakomodasi kepentingan mereka, maka mereka akan memilihnya. Karena itu Pemilu 2019 bakal betul-betul menjadi “perang isu” dan “perang program” di antara partai/kandidat.
Emotional Voters
Walaupun millennial voters peduli pada subtansi program yang ditawarkan partai/kandidat, namun jangan lupa bahwa millennial voters adalah juga emotional voters. Artinya, pilihan mereka banyak pula dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional seperti kefiguran, kesamaan identitas dan latar belakang, atau personal branding si kandidat yang mereka nilai lebih millennial-friendly.
Karena itu jangan remehkan aksi Jokowi naik moge di gelaran Asian Games beberapa waktu lalu. Banyak kalangan yang mencibir aksi itu sebagai lebay dan alay. Kenyataannya, aksi itu punya emotional impact yang sangat powerful dan bisa meluluhkan hati milenial.
Dalam psikologi dikenal istilah “emotional hijacking”. Artinya, sentuhan emosional bisa “menyandera” pikiran serasional apapun. Jadi, dalam Pemilu 2019 nanti di hari-hari menjelang pencoblosan sentuhan-sentuhan emosional kepada kaum milenial bisa jadi justru menjadi senjata pamungkas untuk memenangkan persaingan.