Selama sekitar 6 bulan terakhir saya intens meneliti strategi pemasaran Banyuwangi di bawah “CMO” (chief marketing officer)-nya, Bupati Azwar Anas.
Saya menemukan dua ciri dari strategi pemasaran yang diterapkan Azwar Anas:
Pertama ia menempatkan daerah layaknya sebuah korporasi, Banyuwangi dikelola dengan sangat entrepreneurial. Kalau meminjam istilah David Osborne lebih 25 tahun lalu: “reinventing government”.
Kedua ia menggunakan logika pemasaran yang terbalik (paradoks). Karena itu saya lebih suka menggunakan istilah: pemasaran “Anti-Mainstream”.
Berikut ini sebagian prinsip-prinsip pemasaran anti-mainstream ala Azwar Anas yang saya temukan.
Prinsip GETHOK TULAR:
“Promosi Paling Ampuh adalah Tidak Berpromosi”
Banyak kepala daerah berpromosi dengan memasang billboard raksasa di bandara Soetta (sambil nampang foto si bupati atau gubernur) dengan anggaran APBD ratusan juta. Anas tidak melakukan itu. Bahkan dia tak berpromosi sama sekali.
Ia percaya bahwa siapapun yang datang ke Banyuwangi apakah itu wisatawan, pengusaha, investor, pemilik event adalah marketer yang pali impactful. Kata Anas, “our best marketers are our customers.
Lalu apa yang dilakukannya? Menservis habis-habisan wisatawan, pengusaha, investor, promotor event, siapapun yang datang ke Banyuwangi. Logikanya sederhana, semakin mereka puas, maka semakin mereka ngomong ke banyak orang lain. Yup, pemasaran “gethok tular”.
Prinsip BERSAING:
“Kelemahan adalah Kekuatan”
Anas berpikir bandara Banyuwangi harus menjadi destinasi (yup, dia punya prinsip: “setiap lokasi adalah destinasi”) yang menjadi magnet penarik turis.
Celakanya, Bandara Banyuwangi adalah bandara kecil. Karena itu untuk bersaing dengan bandara lain Anas tidak memosisikannya sebagai bandara terbesar, termegah, atau termodern karena pasti kalah dengan Bandara Soetta, Juanda, atau Kualanamu.
Lalu strateginya? Dia posisikan Bandara Banyuwangi sebagai bandara paling beda. Anas mengadopsi konsep bandara Koh Samui di Thailand untuk menjadikan Bandara kecil Banyuangi sebagai bandara terunik, tercantik, dan terhijau di Indonesia. Dan memang Bandara Banyuwangi adalah “the first (one and only) green airport” di Tanah Air. Kata Anas: “Small is beautiful”.
Prinsip AKSES:
“Semakin Sembunyi, Semakin Dicari”
Banyuwangi punya destinasi yang sangat eksotis yaitu Sukamade. Pantainya indah dan setiap malam sepanjang tahun, selalu ada penyu yang naik ke pantai untuk bertelur.
Namun celaka, letaknya tersembunyi, jaraknya jauh sekitar 100 kilometer dari kota Banyuwangi, dan untuk sampai wisatawan harus menempuh 5-6 jam perjalanan yang ekstrem, melewati jalan yang terjal dan curam, menyusuri hutan dan sungai yang hanya bisa ditempuh dengan Jeep (4X4).
Lalu apa solusinya agar wisatawan mau datang? Kalau kepala daerah lain pasti akan menunggu 5-10 tahun hingga jalan mulus dibangun pemerintah. Tapi Anas sebaliknya, menjadikan perjalanan penuh tantangan itu sebagai atraksi.
Ia menjadikan adventure sebagai bagian dari experience. Sehingga semakin tempatnya tersembunyi, akan semakin dicari.
Prinsip PENASARAN:
“Semakin Misteri, Semakin Diminati”
Banyuwangi punya destinasi wisata hutan, Alas Purwo, yang luar biasa indah. Namun celaka, selama berpuluh tahun sebelumnya Alas Purwo sudah identik dengan sesuatu yang klenik dan angker.
Banyak julukan diberikan pada hutan taman nasional ini: “hutan paling angker se-pulau Jawa”, “hutan tertua Jawa yang magis dan penuh mistis”, atau “Hutan tempat berkumpulnya para jin seantero pulau Jawa.”
Kalau cerita-cerita yang berkembang begitu bnegatif dan menyeramkan, mana mungkin para wisatawan mau datang?
Menghadapi dilema ini, umumnya kepala daerah pasti akan mengusung kampanye PR untuk membalik imejnya sehingga menjadi positif. Anas berpikir sebaliknya. Ia justru memelihari kemistisan Alas Purwo dan cerita-cerita angker yang melingkupinya.
Kenapa begitu? Karena ia percaya, “semakin misteri maka Alas Purwo semakin diminati”.
Prinsip FOKUS:
“Rakyat Terbawah adalah Prioritas Teratas”
Dalam pembangunan daerah, wong cilik biasanya selalu dikalahkan. Pembangunan selalu berpihak kepada yang kuat yaitu kalangan menengah-atas; sementara kelompok miskin-bawah selalu dikorbankan dan menjadi prioritas paling buncit.
Anas berpandangan sebaliknya. Kalau umumnya pemerintah daerah berpandangan “semakin ke atas semakin mendapat prioritas”, Anas justru menggunakan pola berpikir terbalik: “semakin ke bawah, semakin prioritas”.
Karena itu para lansia, kaum buta huruf, siswa putus sekolah, anak yatim-piatu, penderita diabilitas, pelaku usaha mikro menjadi top priority dan dilayani habis-habisan. Ia punya prinsip bahwa rakyat adalah konsumen. Dan konsumen termiskin, terlemah, terbawah, dan terkecil justru mendapatkan prioritas tertinggi.
“Semakin terbawah, semakin prioritas teratas.”
“Semakin terkecil, semakin prioritas terbesar.”
Prinsip LAYANAN:
“Strategi Bertahan yang Paling Jitu adalah Menyerang”
Menggunakan analogi sepak bola, kebanyakan pemerintah daerah selama ini menggunaan “strategi bertahan”. Yaitu menunggu “diserang” dan dikomplain masyarakat (konsumen) baru memberi dan memperbaiki layanannya.
Oleh Anas pendekatan ini dibalik. Menurutnya “Strategi bertahan yang paling jitu adalah menyerang”. Maksudnya, sebelum masyarakat demo atau komplain mereka dilayani terlebih dahulu secara habis-habisan.
Oleh karena itu Anas banyak membentuk “laskar pemburu” yang secara proaktif memburu para lansia (program Rantang Kasih), kaum buta huruf (GEMPITA PERPUS: “Gerakan Masyarakat Pemberantasan Tributa dan Pengangkatan Murid Putus Sekolah”), anak putus sekolah (GARDA AMPUH: “Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah”), atau ibu hamil, (BUMIL RISTI: “Pemburu Ibu Hamil Risiko Tinggi”) untuk dilayani habis-habisan.
Jadi strategi layanannya adalah: “jemput bola, bukan tunggu warung”.
Prinsip DIFERENSIASI:
“Rumah Sakit Bukan Tempat Orang Sakit”
Selama ini yang kita kenal adalah Rumah Sakit, yaitu rumah tempat orang sakit dirawat. Tapi di Banyuwangi ada Mal Orang Sehat. Yaitu semacam rumah sakit, tapi yang datang berobat di situ adalah orang-orang sehat. Lho kok bisa?
Ya, karena pendekatan yang digunakan Anas terbalik: bukannya kuratif (mengobati orang sakit), tapi preventif (mencegah orang agar nggak sakit). Jadi masyarakat datang ke Mal Orang Sehat untuk general check-up, konsultasi gizi, atau konsultasi psikologi.
Kenapa BPJS tekor terus? Karena tak mampu menanggung biaya orang yang sudah terlanjur sakit, yang mahalnya minta ampun. Kalau preventif pasti dana BPJS bisa dipangkas banyak. Karena itu Anas punya target: masyarakat harus makin banyak datang ke Mal Orang Sehat ketimbang ke Rumah Sakit.
Prinsip PRODUK-HARGA:
“Semakin Kembali ke Alam, Semakin Mahal”
Makanan organik menjadi barang mewah di Jakarta. Gaya hidup organik menjadi high-lifestyle bagi kaum urban. Label organik sudah identik dengan sesuatu yang mahal dan premium.
Oleh Anas, tren global ini dijadikan peluang untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian di Banyuwangi. Karena itu ia mendorong petani untuk menanam beras organik. Kini sudah 80 Ha, nanti akan meluas menjadi 200 Ha.
Nilai pasar yang menjanjikan menjadikan Banyuwangi terus mengekspor beras organik ke AS, Belanda, Cina, Qatar, dan terakhir Italia. Anas punya prinsip: “Semakin produk kembali ke alam, harganya akan semakin mahal”.
Sungguh sebuah pendekatan pemasaran yang kebolak-balik dan tidak lazim. Kalau Anda penasaran dengan prinsip-prinsip anti-mainstream yang lain, tunggu peluncuran bukunya dalam waktu dekat.