Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke desa wisata Geopark Ciletuh Sukabumi untuk memberikan workshop branding kepada para wirausahawan desa (villagepreneur) dari beberapa desa di kawasan wisata tersebut. Selama dua hari mengisi workshop saya dan teman-teman rombongan tinggal di rumah salah satu penduduk yang “disulap” menjadi sebuah homestay yang memang secara khusus disewakan untuk para wisatawan yang datang.
Belasan homestay di desa wisata tersebut dikoordinir oleh PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi) sebuah komunitas masyarakat lokal yang secara swadaya mempromosikan dan melestarikan wisata Geopark Ciletuh. Agar memiliki atraksi yang menarik, komunitas yang menghimpun pemuda desa ini mengembangkan paket wisata petualangan menggunakan kendaraan offroad di Geopark Ciletuh. Mereka menggunakan website untuk memasarkan paket tersebut.
Agar dapat memberikan pelayanan yang baik, PAPSI membina para penduduk desa yang rumahnya dijadikan homestay dengan memberikan beragam keterampilan seperti: bagaimana mempercantik kamar, standar kebersihan, menyajikan sarapan untuk tamu, pelayanan konsumen, dan sebagainya. Tujuannya, agar homestay yang mereka kelola bisa memberikan pelayanan ala hotel kepada para wisatawan.
Sejak obyek wisata Geopark Ciletuh ramai dikunjungi wisatawan tiga tahun terakhir, ekonomi desa-desa di sekitarnya mulai menggeliat. Kegiatan ekonomi bertumbuh dan masyarakatnya mulai kreatif menangkap peluang yang muncul para wisatawan yang datang. Salah satunya adalah layanan homestay yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat di bawah koordinasi PAPSI tersebut.
Homestay = Ekonomi Kerakyatan
Bagi saya homestay adalah “magic word” kalau kita bicara mengenai pariwisata dan keterkaitannya dengan ekonomi kerakyatan. Pariwisata dan ekonomi kerakyatan? Apa hubungannya?
Sudah banyak kita tahu bahwa sektor pariwisata memiliki multiplier effect yang sangat luas. Kedatangan para wisatawan di Geopark Ciletuh di atas misalnya, menimbulkan kegiatan berbagai sektor ekonomi di desa seperti perhotelan, restoran, transportasi lokal, layanan paket wisata lokal, produk kerajinan lokal, produk makanan-minuman lokal, dan lain sebagainya. Akibatnya semua kalangan di desa sekitar obyek wisata menerima “tetesan rezeki” yang dibawa oleh si wisatawan. Kehadiran obyek wisata akan menggeliatkan perekonomian desa secara luas.
Nah, homestay adalah sebuah model pengembangan pariwisata yang berbasis kerakyatan karena melibatkan masyarakat lokal untuk ikut menikmati tetesan rezeki dari wisatawan yang datang. Alih-alih membangun hotel magrong-magrong yang dibiayai dan dimiliki investor kakap dari Jakarta, konsep homestay memungkinkan masyarakat lokal ikut menikmati rezeki yang dibawa oleh wisatawan. Sehingga majunya sebuah obyek wisata akan berkait langsung dengan kemakmuran masyarakat lokal secara merata. Kalau sudah begini maka sektor pariwisata menjadi kandidat paling sempurna untuk menjadi “mesin pemerataan” pembangunan. Pariwisata yang berpihak pada ekonomi kerakyatan inilah yang saya sebut “pariwisata kerakyatan”.
Ketika investor besar dari Jakarta yang bermain, (dengan hotel, mal, theme park, water boom, atau mal yang serba raksasa dan mewah) maka sebuah obyek wisata memang lebih kinclong dan maju begitu cepat. Tapi pola ini jelas tak berpihak kepada masyarakat lokal. Memang di tangan investor kakap obyek wisata tersebut tumbuh super cepat, tapi pertumbuhan yang cepat itu tidak serta-merta diikuti kemakmuran masyarakat lokal.
Alih-alih memajukan masyarakat lokal, pengembangan obyek wisata tersebut justru menjadi mesin penghisapan kemakmuran dari masyarakat miskin desa ke orang-orang kaya di Jakarta. Dengan kata lain, pengembangan pariwisata model ini bersifat ekseklusif dan “tercerabut” dari masyaraktnya.
Ekonomi Berbagi
Konsep pariwisata kerakyatan di atas akan semakin cantik jika dikoneksikan dengan platform ekonomi berbagi (sharing economy) yang sekarang sedang menggeliat. Idenya kira-kira seperti Gojek atau AirBnB. Kalau masyarakat lokal pemilik homestay di seluruh Tanah Air menggabungkan diri di dalam sebuah platform berbagi (sharing platform), maka secara bersama-sama mereka bisa memasarkan layanan homestay mereka ke seluruh dunia.
Secara umum model bisnisnya mirip dengan AirBnB, namun prinsip kepemilikannya agak berbeda. Kalau AirBnB dimiliki oleh segelintir investor besar di Silicon Valley, maka platform berbagi ini dimiliki oleh seluruh pemilik homestay, misalnya dalam bentuk koperasi. Atau bisa juga platform berbagi tersebut dibangun dan dikuasai negara dan bisa dimanfaatkan oleh para pemilik homestay secara cuma-cuma. Artinya platform tersebut menjadi public good yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat.
Dalam rubrik ini beberapa bulan lalu saya pernah menyebut bahwa platform berbagi memiliki prospek untuk menjadi platform pemerataan kemakmuran. Syaratnya cuma satu, yaitu jika platform itu dimiliki, digunakan, dan dikelola oleh para pemain yang terlibat di dalamnya. Gojeg atau Uber misalnya, seharusnya bukan dimiliki oleh segelintir investor super kaya, tapi dimiliki oleh tukang-tukang ojek atau sopir-sopir taksi yang bergabung di dalamnya.
Dengan model platform berbagi maka pertumbuhan serta-merta akan diikuti dengan pemerataan, karena rezeki yang didapat langsung dinikmati oleh tukang ojek, sopir taksi, atau pemilik homestay. Kalau sudah begitu maka platform ini bisa menjadi enabler terwujudnya ekonomi kerakyatan seperti divisikan oleh Bung Hatta.
Sektor pariwisata bakal menjadi sektor unggulan ekonomi kita menyusul meredupnya sektor migas. Karena itu sektor ini harus dikembangkan dengan cermat, tak hanya sebagai “mesin pertumbuhan”, tapi juga “mesin pemerataan”. Tentu saja homestay adalah contoh kecil saja dari model pengelolaan sektor pariwisata yang berbasis pemerataan kemakmuran dan berpihak pada masyarakat kecil. Beragam model lain bisa dikembangkan dengan prinsip-prinsip dasar yang sama.
Mari kita wujudkan bersama pariwisata yang berkerakyatan.
Sumber foto: media.viva.co.id