Saya beruntung beberapa bulan lalu ketemu Mas Wishnutama, pendiri Net Mediatama, atau kita lebih mengenalnya dengan NET TV atau NET. Pasalnya, saya sedang melakukan riset untuk buku baru saya mengenai gonjang-ganjing (baca: disruption) agensi periklanan di Indonesia selama 10 tahun terakhir.
Minggu ini buku tersebut selesai ditulis dengan judul: DISRUPT! “Gonjang Industri Komunikasi dan Strategi Memenangkannya” (Gramedia, 2016) dan akan diluncurkna beberapa minggu ke depan. Buku itu ditulis bersama Pak Adji Watono dan Maya Watono, pemilik Dwi Sapta Group, salah satu agensi komunikasi yang sukses melewati disrupsi di atas.
Kita tahu bersama, selama 10 tahun terakhir banyak agensi periklanan di tanah air rontok oleh adanya disrupsi. Menariknya, di balik bergugurannya agensi lokal tersebut agensi-agensi global justru makin perkasa dan mendominasi pasar. Karena itu dengan sedih saya mengatakan bahwa di industri ini kita sudah tidak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri, karena praktis sudah dikuasai pemain asing.
Nah, riset saya untuk buku ini very exciting, karena tujuannya clear, untuk mencari tahu kenapa agensi-agensi lokal itu rontok sementara agensi global justru makin perkasa. Namun saya masih belum mau bercerita mengenai rontoknya agensi lokal tersebut. Saya masih menyimpannya untuk kolom minggu depan. Untuk kolom minggu ini saya lebih ingin bercerita mengenai pertemuan saya dengan Mas Tama.
“Content Company”, Not “Broadcasting Company”
Berbicara dengan Mas Tama membawa segudang insight yang wajib diketahui oleh setiap pelaku industri media dan komunikasi. Yang paling menarik adalah visinya mengenai harus dibawa ke mana NET. untuk sukses mengarungi disrupsi digital yang meluluh-lantakkan industri media saat ini.
Kita tahu NET. adalah stasiun TV baru yang paling agresif dan visioner dalam mengadopsi platform digital. Kenapa begitu? Menurut Mas Tama, karena teknologi digital telah mengubah drastis jagat media. “Semua industri yang berhubungan dengan media akan berubah. Revolusi digital telah mengubah bukan hanya distribusi, tapi juga konten, termasuk kultur penonton atau pengguna media itu sendiri,” paparnya.
Mas Tama melihat digital bukan sebagai threat tapi opportunity. Sebagai pemain baru NET. masuk dengan memanfaatkan peluang digital ini. Caranya adalah dengan memfokuskan diri pada konten digital. “Content is king!” ujarnya.
Menariknya, Mas Tama menyebut NET. yang diluncurkan tahun 2013 ini sebagai “content company” bukan “broadcasting company” seperti kebanyakan stasiun TV lain. Apa bedanya? Wow, keduanya berbeda sama sekali.
Kalau broadcasting company hanya sekedar menayangkan program-program yang dibuat oleh pihak lain (production house). Sementara NET. membuat konten, membangun infrastruktur konten, dan mengembangkan infrastruktur distribusinya. “TV itu hanyalah salah satu pipa distribusi, nanti kita akan mengembangkan banyak pipa distribusi lain berbasis digital. Tapi ruhnya tetap konten,” katanya.
Nah, karena konten-konten yang dibuat tersebut dalam format digital, maka ia bisa didistribusikan ulang ke sebanyak mungkin pipa digital yang dimiliki. Singkatnya, NET. bukanlah perusahaan penyiaran tapi perusahaan digital yang memiliki digital assets baik konten (content) maupun pipa (channel) yang diintegrasikan untuk menjangkau audiens secara efektif.
Branded Content
Berbeda dengan stasiun TV pada umumnya, NET. memproduksi sendiri konten-kontennya kemudian mendistribusikannya ke berbagai pipa distribusi yang ia miliki. Menurut Mas Tama, TV hanyalah salah satu saja dari pipa distribusi tersebut, nantinya NET. akan mengembangkan pipa-pipa distribusi lain terutama yang berbasis digital.
NET. kini memiliki divisi unggulan yang di sebut Branded Entertainment Creative Marketing (BECM) yang fokus memproduksi branded content yang ditawarkan ke pemilik merek. Divisi sudah berjalan baik dan banyak revenue dihasilkan dari divisi ini. Jadi konsepnya bukan commercial break, tapi brand placement yaitu menyisipkan brand ke dalam konten sehinga sifat promosinya soft selling.
“Kalau kami menawarkan commercial break tidak laku. Kenapa? Karena begitu kontennya didistribusi ulang commercial break itu akan hilang. Tapi kalau pesan iklan masuk di dalam cerita maka mau didistribusikan ke manapun pesan iklan itu akan tetap ngikut,” katanya. Dengan alat seperti DVR (digital video recorder) commercial break bisa dihilangkan, namun dengan brand placement pesan produk akan tetap nempel di cerita.
Ketika branded content itu bisa didistribusikan berulang-ulang ke berbagai pipa distribusi, maka tentu saja eksposur iklannya juga akan tinggi sekali. Ini tentu menjadi value yang luar biasa bagi para pemilik merek.
Cerita Mas Tama membuat saya sadar bahwa di tengah disrupsi digital yang gentayangan dari satu industri ke industri berikutnya setiap pemimpin bisnis harus punya digital vision. Tanpa ini saya khawatir Anda menjadi korban disrupsi berikutnya.
Tanpa digital vision, saya khawatir Anda akan menjadi the next Kodak, atau the next Blue Bird.