Ide “masjidpreneurship” muncul dari percakapan saya dengan mas Yuli Pujihardi, Direktur Ekekutif Dompet Duafa suatu sore saat kami ngobrol di sebuah mal di bilangan Pejaten, Jakarta. Awalnya ngobrol ngalor-ngidul, tapi nggak tahu kenapa, ujung-ujungnya kami sampai pada ngomongin seru mengenai potensi masjid sebagai hub untuk pengembangan ekonomi umat. Saya surprise luar biasa, karena apa yang saya pikirkan selama ini mengenai peran strategis masjid ini rupanya nyambung dengan apa yang dipikirkan mas Yuli.
Seperti diketahui, seiring dengan munculnya kelas menengah muslim yang begitu pesat di Indonesia, kini kehidupan masjid kian modern, terbuka, dan inklusif. Seperti saya tulis dalam buku Marketing to the Middle Class Muslim, masjid kini tak lagi hanya sekedar menjadi tempat untuk menjalankan kegiatan ibadah mahdhah tapi juga untuk menjalankan berbagai kegiatan positif yang membawa kemanfaatan universal kepada masyarakat luas. Di samping untuk ibadah dan dakwah, kini masjid juga digunakan untuk mengkaji ilmu, berkesenian, menjalankan kegiatan sosial, gaya hidup muslim modern, juga pusat kegiatan ekonomi umat.
Agen Kemakmuran
Pertanyaannya, kok bisa masjid menjadi hub untuk pemberdayaan ekonomi umat? By nature masjid di desa-desa, di kampung-kampung, di komplek-komplek, di kampus-kampus, bahkan masjid-masjid mentereng di kawasan elit ibukota, sesungguhnya adalah sebuah komunitas. Kenapa? Ya, karena masjid memiliki jamaah yang berkumpul secara reguler dan mereka memiliki satu kepentingan yang sama (common interest) untuk beribadah dan mencari kebaikan di jalan Allah. Sebagai sebuah komunitas produktif, seharusnya masjid, takmir, dan jamaahnya bisa menjadi driver bagi pemberdayaan ekonomi di tingkat grass root. Masjid bisa menjadi agen kemakmuran.
Masjid bisa menjadi hub untuk menjalankan beragam aktivitas ekonomi (value-creating activities) yang memberikan kemanfaatan umat, termasuk di dalamnya aktivitas bisnis dan perdagangan. Dengan menjadi unit ekonomi yang mandiri, maka komunitas masjid akan memiliki segudang kegiatan bermanfaat mulai dari kegiatan keagamaan, pendidikan, seni-budaya, sosial, atau bisnis yang bermanfaat bagi umat.
Dan alangkah indahnya jika seluruh kegiatan itu dibiayai secara mandiri karena adanya pengeloaan bisnis dan keuangan yang profesional. Harus diingat, dana zakat, infaq, sedekah, wakaf (ZISWAF) dari jamaah merupakan sumber pendanaan mandiri bagi masjid yang potensinya luar biasa. Kalau sumber dana ini bisa digalang dan dikelola secara profesional, maka fungsi masjid sebagai agen kemakmuran bukanlah sekedar mimpi di siang bolong.
Format organisasinya tentu saja bukan murni business enterprise yang melulu mencari laba (profit-making), tapi social enterprise dimana setiap keuntungan yang diperoleh harus sebesar-besarnya dikontribusikan untuk kemanfaatan umat (social welfare). Format social enterprise ini menurut saya sudah dijalankan secara baik sekali oleh LAZ (lembaga amil zakat) modern seperti Dompet Duafa atau Rumah Zakat. Lembaga-lembaga ini dengan sangat baik melakukan penghimpunan dana (fund raising) dan kemudian menggunakannya untuk berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi umat. Menariknya, keseluruhan aktivitas tersebut dilakukan dengan sangat profesional layaknya business enterprise dengan manajemen yang tertata rapi. Nah, mestinya masjid-masjid di seluruh pelosok tanah air, besar maupun kecil, juga bisa mengambil model pengelolaan seperti halnya yang dijalankan oleh LAZ modern tersebut.
Kewirausahaan
Lalu apa syaratnya agar semua skenario di atas bisa terwujud? Salah satu faktor kuncinya menurut saya adalah bahwa pengurus (takmir) masjid harus memiliki jiwa kewirausahaan yang mumpuni. Mereka harus bisa menggalang potensi dana ZISWAF dari jamaah, mengelolanya secara profesional, dan kemudian menggunakannya untuk membesut beragam program kegiatan untuk memecahkan persoalan-persoalan riil yang dihadapi jamaah dan masyarakat luas di sekitar masjid. Dengan begitu masjid bukannya tercerabut dari persoalan-persoalan aktual masyarakat sekitarnya, tapi menjadi solusi manjur bagi mereka.
Saya optimis dengan konsep masjidpreneurship karena role model-nya sudah ada. Beberapa masjid hebat (nggak mesti besar) dikelola dengan jiwa kewirausahaan yang luar biasa oleh takmirnya. Contohnya adalah Masjid Jogokariyan di Yogyakarta. Masjid ini dikelola dengan sangat profesional terutama dalam pengelolaan bisnis dan keuangan. Menariknya, uang yang dihasilkan oleh sedekah Jum’at tiap minggunya tak hanya disalurkan untuk pembangunan dan perawatan masjid; melainkan dikelola untuk berbisnis. Bisnis itulah yang kemudian terus memberikan penghasilan bagi kemakmuran masjid, bahkan untuk masyarakat sekitar masjid. Melalui bisnis tersebut, disusunlah program-program sosial-kemasyarakatan bagi masyarakat sekitar Jogokariyan.
Pesantren dan Masjid Daarut Tauhid (DT) di Geger Kalong Bandung adalah contoh lain komunitas masjid dengan spirit kewirausahaan yang luar biasa. Sejak dirintis oleh KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di tahun 1990, kompleks masjid DT menjadi sebuah kampung wirausaha muslim yang tumbuh pesat. Komunitas masjid ini mengembangkan unit-unit usaha seperti koperasi, jasa travel umroh, makanan/minuman, bahkan media, untuk menangkap pasar para jamaah dan santri yang sangat lukratif. Walaupun DT tidak seramai dulu, namun geliat kewirausahaan dan aktivitas ekonominya masih tetap terasa dan menjadi role model kewirausahaan masjid yang solid.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla, pernah mengungkapkan bahwa jumlah masjid dan mushola di Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar satu juta. Saya membayangkan, apabila satu juta masjid tersebut, baik besar-kecil, di kota-desa, dari Sabang sampai Merauke, bisa dikelola dengan spirit dan kemampuan kewirausahaan ampuh seperti halnya di masjid Jogokariyan atau Daarut Tauhid, maka dampaknya bagi perekonomian kita akan luar biasa. Masjid bisa menjadi agen kemakmuran yang pengaruhnya demikian massif bagi bangsa ini. Pertanyaannya: kapan kita akan mewujudkannya?