Dalam buku saya #GenM “Generation Muslim” (Bentang, 2017), saya menyebut revolusi pasar hijab dan kosmetik halal sejak tahun 2010 sebagai momentum Revolusi Pasar Muslim 1.0. Kala itu brand-brand seperti Wardah, Rabbani, atau Shafira mampu riding the wave di tengah pasar yang menggeliat dan menuai sukses luar biasa. Mereka mengalami pertumbuhan bisnis yang super cepat. Sejak tahun 2010 misalnya, Wardah mampu tumbuh 50-100% tiap tahunnya, dan kini menjadi pemain utama di industri kosmetik Indonesia.
Saya juga menyebut bahwa Revolusi Pasar Muslim 1.0 itu barulah “pemanasan”. Pertumbuhan pasar muslim yang sesungguhnya baru terjadi di tahun-tahun berikutnya. Kalau ada 1.0 tentu saja ada 2.0. Kapan Revolusi Pasar Muslim 2.0 bakal terjadi? Saya meramalkan setelah tahun 2019, saat dimana pasar makanan-minuman-obat halal terbuka demikian luas menyusul diimplementasikannya Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Jadi kalau Revolusi Pasar Muslim 1.0 ditandai dengan Revolusi Hijab. Maka Revolusi Pasar Muslim 2.0 ditandai dengan Revolusi Makanan-Minuman-Obat Halal.
Revolusi Halal
Saya meramalkan pemberlakuan UU JPH akan memicu edukasi halal yang begitu masif tak hanya di kalangan konsumen tapi juga para produsen di industri halal Indonesia.
Di sisi konsumen edukasi akan berlangsung natural dengan mekanisme peers to peers (P2P) melalui media sosial. Mekanisme peers to peers telah terjadi dengan sangat efektif pada kasus edukasi hijab sekitar 10 tahun terakhir.
Sementara di sisi produsen, begitu kesadaran halal terjadi begitu masif di seluruh industri halal mulai dari produk makanan, minuman, kosmetik, farmasi, biologi, kimia, hingga produk modifikasi genetik, maka dengan sendirinya produsen akan berlomba-lomba berkreasi dan berinovasi untuk meluncurkan beraneka ragam produk berbasis halal. Pada gilirannya produk halal akan menjadi pasar mainstream di Indonesia persis seperti yang terjadi pada hijab.
Nantinya jaminan halal menjadi begitu sentral di mata konsumen muslim Indonesia, sehingga seluruh pemain industri makanan-minuman-obat harus berbenah dan berlomba-lomba untuk memenuhinya. Nanti pengaruhnya akan sangat luas karena produk halal tak hanya dilihat sebatas di produk akhir tapi juga ditelusur ke seluruh rantai pasok (supply-chain) yang melibatkan berbagai industri yang sangat luas.
Halal Lifestyle
Ada dua hal yang menjadi pendorong revolusi halal di Tanah Air. Pertama, gaya hidup halal (halal lifestyle) yang semakin menjalar ke seluruh konsumen muslim. Kedua, kewajiban seluruh pemain industri makanan-minuman-obat untuk mencantumkan label halal pada produknya.
Pertama karena konsumen muslim melihat halal sebagai hal esensial dalam proses pengambilan keputusan pembelian dan gaya hidup konsumsi mereka. Halal lifestyle mereka lihat tak hanya sebatas sebagai bentuk kepatuhan kepada hukum syariah, tapi juga didasarkan pada keyakinan bahwa produk halal mendatangkan kebaikan pribadi maupun universal.
Dalam survei saya tahun 2014 di 7 kota besar Indonesia, 95% konsumen selalu mengecek logo halal saat membeli kosmetik. Dengan kata lain, halal menjadi faktor penting keputusan pembelian konsumen. Karena itu, produsen tak bisa main-main dengan integritas halal (halal integrity), karena begitu merek dicap tidak halal oleh konsumen, maka dampaknya ke merek bisa sangat disruptif. Ekuitas merek bisa hancur dalam semalam.
Solaria adalah contoh kasus brand yang beberapa tahun lalu terkena isu tidak halal karena bumbu masakannya ditengarai mengandung unsur tak halal. Meskipun isu ini masih simpang-siur kala itu, negative viral kehalalan Solaria sudah terlanjur berkembang cepat di berbagai media sosial. Kasus ini menjadi bencana tak kecil bagi Solaria. Isu tak halal berpotensi merusak ekuitas mereknya dan untuk mengembalikan reputasi dan integritas halal bukanlah pekerjaan mudah. Untungnya isu bisa cepat dinetralisir sehingga dampaknya tak begitu serius.
Kewajiban Halal.
Kedua karena regulasi mewajibkan seluruh produk bersertifikat halal. Pada tahun 2014, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 33 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). UU ini mendorong supaya semua produk yang beredar di Indonesia memiliki sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tahun 2019 UU JPH diberlakukan dan pemerintah akan memaksa seluruh produsen untuk mencantumkan label halal dan bagi produk yang tak halal wajib mencantumkan informasi ketidakhalalan.
Dengan adanya aturan ini, kita dapat membayangkan bagaimana implikasinya kepada perkembangan industri makanan halal di Tanah Air. Semua merek, baik yang menyasar pasar muslim maupun bukan, wajib mendapatkan sertifikat halal. Produk apa saja yang wajib dihalalkan? Sangat luas.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 1 Ayat 1 UU JPH, produk halal yang dimaksud adalah: barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Halal Value-Chain
Di samping itu, dalam Pasal 1 Ayat 3 pemerintah juga menetapkan bahwa Proses Produk Halal (PPH) adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk. Artinya, secara keseluruhan rantai nilai bisnis (business value-chain) produk harus dijamin secara halal. Ini tentu saja semakin memperluas cakupan produk halal.
Implikasinya bagi pemilik merek, edukasi konsumen akan sangat menantang. Selama ini, mereka mengomunikasikan kehalalan hanya melalui logo halal dan kerap diungkapkan secara verbal oleh brand ambassador. Kini, mereka harus secara pintar mengomunikasikan bagaimana proses kehalalan produknya. Artinya, mereka kian dituntut “membuka” secara transparan proses kehalalan produknya. Bagi brand, ini dapat menjadi advantage.
Industri makanan-minuman halal di Indonesia cukup atraktif, dan yang paling besar porsinya daripada jenis lainnya. Indonesia merupakan negara dengan konsumsi makanan halal terbesar di dunia yakni senilai US$158 miliar (2014). Berdasarkan data State of the Global Islamic Economy Report, Indonesia mengalahkan Turki (US$110 miliar), Pakistan (US$100 miliar), dan Iran (US$59 miliar). Hal ini tak mengejutkan karena Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia.
Yuk songsong Revolusi Pasar Muslim 2.0. Mumpung masih ada waktu 2-3 tahun lagi.
Sumber gambar: Republika