Dua minggu ini para pemimpin milenial mendapat angin segar. Nadiem Makarim diangkat menjadi Mendikbud; Risa Santoso menjadi rektor termuda; dan terakhir minggu lalu 7 milenial diangkat menjadi Staf Khusus Jokowi.
Posisi-posisi penting di organisasi pemerintahan (eselon 1, 2, 3), di organisasi bisnis (posisi Manager dan GM ke atas), maupun organisasi nirlaba saat ini dipegang oleh para pemimpin dari generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964) dan Generasi-X (lahir 1965-1980).
Memang, pemimpin milenial (lahir 1980-2000) kini seharusnya menduduki level kepemimpinan bawah-tengah organisasi. Karenanya tak heran ketika ada pemimpin dari kalangan milenial yang menduduki posisi kunci seperti menteri, rektor, atau staf khusus presiden kita menjadi heboh.
Namun keyakinan saya, makin banyaknya pemimpin milenial yang menduduki posisi-posisi teratas organisasi (menteri, dirjen, gubernur/bupati, CEO/direktur/GM) bakal menjadi sebuah “keniscayaan” karena adanya tuntutan perubahan dahsyat, ekstrim, dan super cepat yang kini sedang kita alami bersama.
Banyak sebutan diberikan para pakar kepada perubahan ekstrim itu: VUCA: “Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity” (Bennis-Nanus), “Inflection Point” (Andy Grove), “Disruption” (Clayton Christensen), Revolusi Industri 4.0 (Klaus Schwab), “The Age of Acceleration” (Thomas Friedman).
Menariknya, semua pakar sepakat bahwa perubahan itu tak lagi linier/inkremental tapi bersifat “patahan” (tectonic shift) dimana terjadi “keterlepasan” (decoupling) antara era lama dan era baru.
Artinya, era baru bukanlah kelanjutan (kontinuitas) dari era sebelumnya. Artinya, “new normal” yang dihasilkan oleh perubahan dahsyat tersebut sama sekali berbeda dari sebelumnya. Artinya, paradigma baru berbeda sama sekali dari sebelumnya.
Apa akibatnya jika perubahan itu berupa patahan bukan kontinuitas?
Akibatnya, pemimpin Boomers dan Gen-X yang begitu mumpuni bergumul dengan tantangan-tantangan era lama menjadi tak relevan lagi di era baru yang kini kita hadapi.
Kearifan (wisdom), gaya kepemimpinan (leadership style), kompetensi, nilai-nilai (values), perilaku (behavior/habit) mereka yang begitu ampuh menjadi solusi di era lama kini mandul alias tak mempan lagi menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian di era baru.
Berikut ini adalah alasan-alasan kenapa para pemimpin Boomers/Gen-X harus mulai mau legowo untuk menyerahkan “tampuk kekuasaannya” kepada para pemimpin milenial agar organisasi lebih cakap dan bisa keluar dari kemelut perubahan ekstrim di era baru.
Era Baru, Eranya Milenial
“Setiap zaman ada generasinya, setiap generasi ada zamannya.” Era kepemimpinan Boomers/Gen-X kini telah lewat dan harus digantikan oleh era kepemimpinan baru, yaitu era kepemimpinan milenial.
Pemimpin milenial dilahirkan dan dibesarkan di tengah tantangan-tantangan era baru: krismon 1998, alam demokrasi-reformasi, gejolak sosial-politik berbau SARA awal 2000an, revolusi digital (internet, media sosial, apps) pertengahan 2000an, krisis global 2008, dan terakhir revolusi industri 4.0 (big data, AI, IoT, hingga blockchain).
Karena dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah tantangan era baru, maka pola pikir, pola tindak, kecepatan respons, dan solusi yang mereka tawarkan kompatibel dengan situasi dan tantangan era baru. Pemimpin milenial terlahir untuk menjadi “obat penawar” bagi carut-marut persoalan era baru.
Pemimpin Boomers/Gen-X sebaliknya. Mereka terlahir dan dibesarkan di era lama yang berbeda sama sekali (decoupling) dengan era baru. Sehingga keyakinan, pola pikir, pola tindak, gaya kepemimpinan, pendekatan solusi yang mereka miliki kini sudah obsolet dan mulai tak kompatibel lagi dengan persoalan dan tantangan era baru.
Kualitas kepemimpinan Boomers/Gen-X hanya ampuh untuk mensolusikan persoalan dan tantangan era lama, namun tidak demikian halnya untuk era baru.
Konsekuensinya amat serius: Pemimpin Boomers/Gen-X banyak mengalami “gagal paham”, “gagal respons”, dan “gagal solusi” dalam menyelesaikan persoalan dan tantangan era baru. Mereka gagap di era yang baru. Wajar saja karena seumur-umur mereka tak pernah menemui dan mengalaminya.
Era disrupsi dan perubahan ekstrim adalah eranya milenial, bukan Boomers/Gen-X.
Mereka Bagian dari Masalah
Inilah handicap terbesar pemimpin generasi tua: Mereka merasa tahu dan berpengalaman karena puluhan tahun makan asam-garam.
Ketika perubahannya kontinuitas maka pengalaman puluhan tahun itu memang menjadi aset (keuntungan). Namun jika perubahan berupa patahan maka justru menjadi liabilitas (beban). Ya, karena dengan adanya decoupling, pengalaman panjang itu kini tidak relevan dan tidak terpakai lagi di era yang baru.
Nah, masalah peliknya justru di situ. Skill terpenting seorang pemimpin di era perubahan patahan adalah “unlearn” yaitu melupakan seluruh warisan (pengetahuan, pengalaman, resep sukses) masa lampau. Ya, karena dengan begitu seorang pemimpin bisa cepat move-on dan lebih agile menghadapi persoalan era baru yang sama sekali berbeda.
Persoalan terbesar pemimpin Boomers/Gen-X adalah, mereka masih terobsesi dengan pengalaman dan resep sukses masa lampau sehingga sulit unlearn dan move-on. Sebagai pemimpin, Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya.
Tak heran jika kini banyak organisasi yang diam saja jalan di tempat tak melakukan action apa-apa menghadapi disrupsi karena pemimpin-pemimpinnya banyak didominasi oleh pemimpin Boomers/Gen-X yang gagal unlearn dan gagal move-on.
Survei McKinsey Global Institute (2018) menemukan bahwa kunci sukses transformasi digital sebuah organisasi ditentukan oleh pemimpin yang agile bergerak dan cakap merespons disrupsi digital. Sekitar 70% responden mengatakan digital savvy leaders yang pola pikir, pola tindak, dan kecepatan responsnya fit dengan era digital menjadi faktor penentu kesuksesan transformasi.
Pertanyaannya, kalau pemimpin Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya, bagaimana mungkin mereka cakap memimpin orang lain. Kalau pemimpin Boomers/Gen-X adalah masalah terbesar bagi organisasi yang butuh agile berubah, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi solusi terhadap persoalan-persoalan disrupsi yang menjadi keseharian era baru.
Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi.
“Lead by Fear” vs “Lead by Optimism”
Beginilah perbedaan pola respons antara pemimpin Boomers/Gen-X dan pemimpin milenial:
Pemimpin Boomers/Gen-X melihat ontran-ontran disrupsi sebagai ancaman (threat), karena itu mereka meresponsnya dengan mindset ketakutan.
Sebaliknya, pemimpin milenial melihatnya sebagai peluang (opportunity) dan meresponsnya dengan optimisme luar biasa untuk memasuki era baru yang penuh kejayaan.
Sosok pemimpin milenial seperti Nadiem Makarim (GoJek), William Tanuwijaya (Tokopedia ), atau Ferry Unardi (Traveloka) melihat gelombang disrupsi dengan mindset optimisme untuk menghasilkan perusahaan-perusahaan hebat yang belum pernah ada sebelumnya dan untuk mencipta value yang luar biasa besar di era baru.
Sementara para pemimpin Boomers/Gen-X yang perusahaannya terdisrupsi melihatnya dengan ketakutan karena perusahaannya bakal tergerus.
Kepemimpinan yang sarat diwarnai ketakutan akan menghasilkan kecemasan, kebimbangan, kebingungan, kekacauan, ketegangan, keputusasaan, dan akhirnya kesalahurusan dan keblunderan. Saya menyebutnya: “lead by fear”.
Kini sebagian besar perusahaan inkumben (perusahaan besar yang sudah beroperasi belasan-puluhan tahun) yang umumnya dinakhodai oleh pemimpin Boomers/Gen-X dikelola dengan perspektif lead by fear. Karena pemimpinnya dipenuhi ketakutan, kecemasan, dan kebimbangan, maka organisasi hanya bisa diam menunggu digerus disrupsi.
Banyak juga perusahaan inkumben lain yang kelola dengan perspektif “lead by ignorance” dimana pemimpin Boomers/Gen-X gagal paham terhadap disrupsi yang terjadi. Karena menurut si pemimpin everything is ok, maka organisasi pun adem ayem berjalan seperti biasa tanpa sadar disrupsi akan menelan mereka.
Semoga penunjukkan Nadiem, Risa, dan tujuh stafsus Jokowi menjadi momentum baik penyerahaan “tampuk kekuasaan” dari pemimpin Boomers/Gen-X ke pemimpin milenial.
Karena disrupsi dan perubahan ekstrim memang menuntut pemimpin Boomers/Gen-X lengser. Dan pemimpin milenial pegang kendali.
Sumber foto: MNC Trijaya