Minggu lalu Line mengunggah video mini drama Ada Apa Dengan Cinta (AADC) versi 2014 di YouTube untuk memperkenalkan fitur baru pencarian teman sealmamater. Kharisma AADC memang luar biasa, terbukti video 10 menitan itu mampu mengaduk-aduk emosi siapapun yang pernah terbuai oleh film itu 12 tahun lalu. Mendadak sontak, video itu langsung memicu kehebohan. Dalam waktu 2-3 hari video itu telah ditonton oleh jutaan orang.
Tak hanya itu, yang lebih spektakuler AADC 2014 mampu memicu pergunjingan para netizen di media sosial. Dalam waktu singkat meme pun berseliweran membentuk viral yang heboh luar biasa. Netizen seperti berlomba-lomba beradu kreativitas memparodikannya dalam bentuk meme video, gambar, maupun cuit-cuit di Twitter. Di tangan netizen, AADC yang sendu mengharu-biru berubah menjadi banyolan ngocol yang fun dan happening. Tak pelak lagi, Line pun ketiban ganjaran publisitas yang luar biasa.
Heboh meme bukan sekali ini saja terjadi. Beberapa minggu sebelumnya Mastin mengalaminya. Jingle iklan TV Mastin, “Kabar gembira untuk kita semua. Kulit manggis, kini ada ekstraknya…” menjadi sasaran empuk pergunjingan netizen di ranah maya.
Seperti biasa meme selalu berpotensi menyebar luar biasa bak virus ebola karena sifat humornya, sindiran cerdasnya, atau ungkapan-ungkapan nakalnya yang menggerakkan kita untuk mem-forward, me-retweet, dan menyebarkannya.
Walaupun video AADC dan jingle iklan “Kabar Gembira…” menjadi bahan guyonan, lucu-lucuan, atau tertawaan, namun saya kira tak sampai merusak elemen dasar brand equity Line maupun Mastin. Justru sebaliknya, gelombang meme di media sosial justru berbuah manis, dalam waktu singkat awareness Line dan Mastin meroket secepat kilat. Jadi so far, gempuran meme di media sosial baik-baik saja pengaruhnya bagi kedua brand tersebut, persis seperti bunyi tagline Mastin yang eksentrik: “goooood…”
Powerful Marketing
Contoh kasus di atas memberikan gambaran gamblang, bahwa kita para marketers bisa memanfaatkan meme sebagai alat dan teknik pemasaran yang ampuh. Dengan kejelian dan kreatifitas, marketers bisa memanfaatkannya untuk membangun awareness, menciptakan connection dengan konsumen, atau bahkan membangun keterlibatan dan engagement dengan mereka. Seperti halnya kasus Line dan Mastin, potensi buzz dan viral meme yang luar biasa menjadikannya alat pemasaran yang “low budget, high impact” dan mampu meroketkan brand Anda dalam waktu super singkat.
Dalam kasus di atas, Mastin menjadi “korban” atau obyek serangan bully yang dilakukan oleh netizen dengan menggunakan media meme. Namun kenapa tidak marketers justru secara proaktif dan cerdas memanfaatkan dan merekayasa meme yang sedang hot dibicarakan di media sosial untuk kepentingan pemasaran. Saat meme AADC sedang hot-hotnya, beberapa brand seperti Heineken, Indomie, dan XL dengan sigap memanfaatkannya dengan membuat meme AADC versi mereka untuk numpang ketenaran.
Ketika gelombang meme video Harlem Shake melanda ranah maya beberapa bulan lalu, brand hebat seperti Google, Facebook, Pepsi dan McDonalds membuat meme video Harlem Shake versi mereka untuk menciptakan emotional connection baik dengan karyawan maupun konsumen. Pendekatan meme marketing dengan “menunggangi” meme yang sedang hot ini sering disebut dengan “memejacking”.
Marketers bahkan bisa menciptakan meme yang dirancang sedemikian rupa agar riuh dibicarakan di dunia maya dan memicu gelombang viral. Ini nggak gampang, beberapa syarat harus dipenuhi agar meme bikinan marketers ini bisa betul-betul heboh dibicarakan. Pertama, meme harus memenuhi tiga elemen dasar: fun-humor, memorable, dan shareable. Kedua, meme tersebut harus otentik (authentic) tanpa dibebani unsur jualan (soft-hard sell). Dan yang terakhir, meme tersebut harus tetap relevan dan mengoneksikan brand dengan konsumen.
Momentum
Umumnya gelombang viral meme berlangsung dalam kurun waktu singkat bisa hanya beberapa hari atau minggu. Karena itu, memanfaatkan momentum merupakan kunci sukses dalam setiap meme marketing. Begitu gelombang viral meme terbentuk, maka dengan cepat brand Anda harus masuk memanfaatkannya. Anda tidak boleh terlambat sedikitpun, karena kalau Anda masuk bukan pada saat meme sedang hot-hot nya dibicarakan, maka Anda akan kehilangan kesempetan untuk dibicarakan. Dan tak cuma itu, brand Anda justru dicemooh oleh netizen karena dianggap telmi alias telat mikir atau jadul alias ketinggalan jaman.
Selain tepat momentum, meme marketing yang Anda jalankan haruslah relevan dengan target audiens yang dibidik. Dalam memilih meme yang akan “ditunggangi”, Anda harus yakin bahwa meme tersebut relevan dengan minat, identitas, dan dunia target audiens Anda. Pokoknya audiens Anda harus sampai bilang: “Ini gue banget”. Meme video Harlem Shake atau Gangnam Style misalnya relevan ditunggangi oleh brand dengan target audiens mass market. Tapi mungkin tidak sesuai untuk target audiens yang lebih eksklusif dan mengangkat prestise produk.
Meme marketing memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi bisa menjadi berkah, tapi di sisi lain juga bisa musibah. Karena itu ketika memutuskan mengusung meme marketing, maka Anda harus berani take risk. Dalam kasus Line dan Mastin, meme menjadi berkah karena secara umum pengarunya positif bagi pembentukan brand equity mereka. Namun dalam kasus klinik Tong Fang saya kira pengaruhnya lebih banyak musibah ketimbang berkah. Karena itu Anda harus hati-hati. Ingat, netizen lebih suka mempergunjingkan sisi jelek dari brand ketimbang sisi baiknya.
Ketika memanfaatkan meme marketing maka kata kuncinya hanya satu: fun. Tak peduli produk dan layanan yang Anda tawarkan, gaya komunikasi Anda haruslah cool, banyak humor, gokil, dan full of fun. Persis seperti dibilang Cheryl Conner, seorang blogger: “The greatest aspect of meme marketing is that it allows any company to create something memorable in a spirit of fun.” So, apakah Anda jualan shampo, gadget, atau pesawat terbang, pendekatan meme marketing yang Anda usung haruslah tetap dilandasi spirit of fun. Mau nggak mau Anda harus menjadi fun brand.
Sumber gambar: http://bit.ly/1GRnvAN dan http://bit.ly/1xgayO1