Tulisan ini bukan salah judul. Memang, di Indonesia kalau kita bicara “makanan merakyat” tentunya bukan Big Mac, tapi nasi pecel, rujak Cingur, atau bakso Malang. Kalau kita bicara “warung merakyat” tentunya warung Tegal, warung Padang, atau warung nasi kucing di Yogya-Solo; bukan McDonald’s. So, apa relevansinya judul tersebut? Ada apa dengan McD?
Setidaknya ini pengamatan saya terhadap gerai fast food ternama dari negeri Paman Sam yang sudah berada di sini persis 20 tahun tersebut. Saya melihat tren, di satu sisi McD terlihat semakin mendekatkan diri dengan masyarakat luas berbagai kalangan tak hanya kalangan atas (seperti saat gerai ini masuk ke Indonesia), tapi juga ke kalangan menengah (yes Consumer 3000) dan bahkan kalangan bawah. Harus diingat di negeri asalnya sono, McD memang adalah warung merakyat yang menjangkau semua kalangan masyarakat baik atas, tengah, maupun bawah.
Di sisi lain, masyarakat kita mulai bergeser pola pikirnya, tidak melihat brand-brand dari negara maju (McD, Coca-Cola, Starbucks, Sony, Mercedes Benz) sebagai sesuatu yang “wah” lagi seperti dulu. Brand-brand itu sudah menjadi “household brand” yang menjadi keseharian kita; sesuatu yang biasa dan tak lagi menjadi alat untuk mendongkrak image. Saya kira Coca-Cola adalah salah satu contoh brand yang sebelumnya telah berhasil “merakyatkan diri” di Indonesia.
Saya masih ingat pada saat McD pertama kali masuk Yogya saat saya masih kuliah di UGM sekitar 15 tahun lalu, mau masuk McD saja nggak pede alias minder. Ya karena saya masih terpana melihat brand hebat yang datang dari negara super power hebat. Tapi kini, McD di Malioboro Mall sudah menjadi “tempat umum” yang disambangi semua kalangan atas maupun bawah.
Proses “merakyatnya” McD ini saya amati makin intensif 2-3 tahun terakhir seiring dengan makin banyaknya jumlah konsumen kelas menengah kita (saya sering menyebutnya middle class consumer atau Consumer 3000) yang menjadi core customer McD, khususnya di perkotaan (Jakarta dan kota-kota besar provinsi). Mereka adalah konsumen yang memiliki daya beli cukup lumayan (pengeluaran di atas $2/hari) dengan sekitar 100 juta mulut. Pasar dengan daya serap yang sangat besar inilah yang memuluskan McD dalam menjalankan strategi “merakyat”-nya.
Apa saja indikasi dari semakin merakyatnya McD ini? Coba kita amati sinyal-sinyal berikut.
Downgrading
Kalau Anda telusur McD selama sepuluh tahun terakhir, kalau teliti sedikit Anda akan mendapati bahwa harga McD makin terjangkau oleh semua kalangan. Awalnya penurunan harga diciptakan dengan membuat paket-paket bundling yang value for money. Tapi karena seringnya paket itu diciptakan akhirnya menjadi paket reguler dengan harga yang terjangkau. Intinya, McD semakin memperkokoh diri menjadi value-for-money brand di Indonesia, bukan brand yang ada di menara gading.
Menariknya tren ke arah harga yang semakin terjangkau ini tak hanya dimonopoli McD, tapi secara konsisten juga dilakukan gerai-gerai waralaba global lain seperti KFC, Burger King, atau Wendy’s. Bahkan tak hanya itu, gerai-gerai yang dulunya konsisten memposisikan diri di atas seperti Pizza Hut pun ikutan tergerus menurunkan diri agar lebih terjangkau oleh konsumen yang lebih luas.
Mass Luxury
Tak hanya secara sistematis membuat harganya makin terjangkau, McD dan teman-temannya pun semakin meluaskan segmen pasarnya ke seluruh lapisan masyarakat. Di samping menjadikan harganya semakin terjangkau, dalam strategi komunikasinya McD juga membangun persepsi sebagai brand yang down-to-earth dan dekat dengan semua kalangan, tak terbatas kalangan atas. Sengaja atau tak sengaja, McD mengarahkan diri menuju mass luxury brand dengan jangkauan pasar yang lebih luas.
Pilihan strategi yang diambil McD bisa ada dua. Pertama, dengan mengerek brand-nya setinggi langit dan mengenakan harga premium (lihat Starbuck). Kedua, menjadikan McD sebagai mass brand, menjangkau segmen konsumen seluas mungkin, dan mematok harga yang terjangkau semua kalangan. Selama beberapa tahun terakhir saya melihat pergeseran strategi McD dari pilihan pertama ke pilihan kedua.
Deepening Usage
Dulu kita datang ke McD sekali seminggu bareng dengan seluruh anggota keluarga: habis jalan-jalan di mal capek dan lapar, lalu makan di McD. Namun kini, perilaku itu secara sistematis akan diubah McD. Kalau dulu kita sekali seminggu ke McD, maka kini kalau bisa saat makan pagi di McD, makan siang di McD, makan malam juga di McD. Bahkan untuk para ABG dan anak kuliahan yang butuh lembur mengerjakan tugas, bisa nglembur di McCafe sampai pagi. Atau kalau malas malam-malam ke gerai McD, kita bisa menggunakan layanan delivery-nya.
Jadi McD mencoba mendidik kita untuk meningkatkan usage, dari sekali seminggu menjadi 3 kali sehari, sehingga ia betul-betul menjadi household brand yang menjadi keseharian kita. Strategi untuk “deepening usage” tersebut terakhir terlihat saat McD meluncurkan program sarapan pagi dari jam 6-11 dengan menu praktis yang memang cocok untuk kondisi makan pagi.
Halo… Apa Kabar Nasi Pecel?
Saya menulis artikel ini bukan karena takjub pada strategi cerdas yang dijalankan McD (mungkin perlu diketahui pembaca, saya menulis artikel ini bukan janjian dengan orang PR-nya McD apalagi dibayar mereka). Saya menulis artikel ini dalam tone yang pilu. Kenapa? Karena kalau brand-brand global (dengan kekuatan resources mereka yang luar biasa) mampu menghipnotis dan membentuk budaya konsumsi kita seperti yang dilakukan McD, lalu mau kemana Nasi Pecel, Rujak Cingur, atau Warung Tegal.
Yang paling saya takutkan adalah ketika McD, KFC atau Pizza Hut menjadi “mainstream” makanan yang kita konsumsi tiga kali sehari sementara sebaliknya nasi pecel atau Warung Tegal justru kita sambangi sekali setahun untuk “nostalgia”. Jabang bayi, mudah-mudahan kenyataan pahit ini tak dialami anak-cucu kita. Message-nya, kita harus bisa building brand nasi pecel, Rujak Cingur, dan warung Tegal seperti yang begitu cerdas dilakukan oleh McD. Saya tak rela kalau makanan yang menjadi kesukaan saya sejak kecil seperti nasi pecel kemudian menjadi “museum”. Sedih!!!