Mallism atau kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “malisme” adalah istilah rekaan saya mengenai sebuah kepercayaan di kalangan kaum urban dalam memanjakan keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) mereka di tempat keramat nan eksotik bernama mal. Istilah ini diilhami dari kata “animisme” (animism) dan “dinamisme” (dynamism) yang begitu saya hafal saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar di kampung.
Kenapa saya hafal? Karena pertanyaan, “Apa beda animisme dan dinamisme?” selalu saja keluar di setiap ujian mata pelajaran sejarah. Dan setiap kali pertanyaan itu keluar, saya selalu tepat menjawabnya. Anda penasaran ingin tahu jawaban itu? Setiap kali ujian multiple choice, jawaban cespleng inilah yang selalu saya pilih: “Animisme percaya pada roh-roh, sedang dinamisme percaya pada kekuatan gaib.”
Pada waktu SD dulu, guru sejarah saya mengajarkan bahwa di dalam animisme-dinamisme selalu ada kepercayaan yang diyakini pemeluknya, misalnya kepercayaan akan roh dan mahluk gaib. Di dalam animisme-dinamisme juga ada pemujaan, misalnya pemujaan kepada pohon keramat atau batu besar. Di dalam animisme-dinamisme juga selalu ada ritual–ritual, misalnya upacara persembahan berhala atau ritual pemberian sesaji.