Akhir pekan ini selama beberapa hari saya “masuk gua” di sebuah hotel di tepian kota Bogor. “Masuk gua” adalah istilah yang sering saya gunakan untuk menyebut “laku nyepi” dalam rangka menulis buku yang sudah masuk deadline untuk diterbitkan dalam waktu dekat. Biasanya kalau sudah masuk gua: HP mati, urusan macam-macam di Jakarta di-kill off, dan otak di-delete untuk urusan lain selain konten buku. Layaknya dikarantina, saya betul-betul lenyap dari hiruk-pikuk Jakarta.
Sebelum masuk gua, biasanya seluruh bahan dan referensi telah disiapkan dan sudah dibaca. Sehingga di dalam gua tidak ada lagi ritual membaca referensi, otak betul-betul dipakai untuk berolah ide dan data. Inilah ritual unik yang saya lakukan setiap kali ada di dalam gua: posisi duduk bersila layaknya sedang bersemedi, tangan nempel di tuts-tuts laptop, buku dan dokumen referensi tercecer di sekeliling siap dilahap, sesekali seperti orang gendheng pandangan menerawang ke langit-langit ruangan, ya itu tanda-tanda saya sedang mengeluarkan jurus “menangkap ide tulisan”.
Ilmu Hayati
Buku yang saya tulis kali ini istimewa karena menggabungkan topik spiritualitas, aplikasi teknologi tercangih di dunia yaitu ilmu hayati (life science), dan nasionalisme. Rencana judulnya adalah: “Life Science for Life”. Saya katakan rencana judul, karena last minute judul yang direncanakan di awal, tiba-tiba bisa berubah jika dalam perjalanan penulisan saya ketemu ide judul lain yang lebih sexy. Buku ini mengenai Biofarma, sebuah perusahaan life science yang moncer di kancah dunia (produknya kini dipasarkan di sekitar 130 negara), namun justru di negaranya sendiri tidak begitu dikenal.
Pak Iskandar, Dirut Biofarma dan narasumber utama buku ini, punya visi luar biasa yang langka dimiliki oleh anak negeri. Pendapat Pak Is membuat saya terhenyak. Kata beliau, Indonesia akan menjadi negara besar bukan karena kekuatan teknologi otomotif (upss, mobnas nggak pernah kejadian), bukan karena teknologi informatika secanggih Android, bukan pula karena teknologi ruang angkasa seperti yang dikembangkan NASA. “Negeri ini bakal besar karena life science,” paparnya.
Kenapa bisa begitu? Ya, karena Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (berupa spesies tumbuhan/hewan, gen, maupun ekosistem) terbesar dan terhebat di dunia. Keanekaragaman hayati yang demikian kaya dan tak ada duanya di dunia ini bisa disulap menjadi faktor kunci keunggulan bersaing (competitive advantages) luar biasa bagi Indonesia. Senjata pamungkasnya cuma satu, yaitu ilmu hayati.
Mega Biodiversity
Terus-terang saya tercenung menelusuri data-data mengenai betapa kayanya keanekaragaman hayati kita. Coba saja simak beberapa angka berikut. Dengan sekitar 17.000 jumlah pulau dan 2/3 dari seluruh wilayah merupakan perairan, negeri ini memiliki sekitar 10% dari total spesies tanaman di dunia. Kita memiliki 12% spesies mamalia dunia, termasuk mamalia langka seperti orangutan, harimau Sumatera, hingga komodo. Bahkan Indonesia memiliki 17% dari segala macam spesies burung yang ada di dunia. Tak hanya itu, Indonesia juga berada di peringkat pertama sebagai the world’s center of agroindustry yang memiliki tanaman budidaya (plant cultivar) dan unggas (domesticated livestock) terbesar di dunia.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki sekitar 5,8 juta km persegi wilayah laut dengan spesies ikannya mencapai 37% dari total spesies ikan dunia. Kita juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, merupakan peringkat kedua negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Dari garis pantai sepanjang itu, 2/3 di antaranya dilindungi oleh batu karang yang mencapai 15% dari total batu karang yang dimiliki dunia. Praktis semua jenis batu karang di dunia ada di Indonesia. Tak heran jika Indonesia merupakan negara dengan jumlah spesies karang terbesar di dunia. Dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa tak heran jika negeri ini disebut: “the mega biodiversity country”
Kelompok Tani Mizumi
Nah, kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa tersebut akan betul-betul menjadi kekuatan daya saing bangsa hanya jika mampu diolah menjadi produk kompetitif dunia dengan memanfaatkan ilmu hayati. Dalam perspektif Pak Is, produk yang diolah dengan pendekatan ilmu hayati akan menjamin sustainability karena ramah lingkungan (tak merusak lingkungan), ramah sosial (mendukung pemberdayaan ekonomi lokal), dan ramah budaya (melestarikan budaya dan kearifan lokal). Jadi tidak seperti produksi mobil yang menimbulkan polusi/degradasi lingkungan atau produksi obat farmasi yang justru menciptakan penyakit baru seperti kanker.
Awalnya saya silau dan pesimis, karena begitu mendengar life science atau biotechnology bayangan saya ilmu ini begitu canggih di menara gading dan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan super besar. Namun begitu saya ditunjukkan hasil ilmu hayati tepat guna yang dikembangkan Bio Farma bersama Kelompok Tani Mizumi Koi Farm di desa Sukamulya Sukabumi wawasan saya terkuak lebar. Rupanya ilmu hayati tepat guna juga bisa diterapkan oleh para petani lulusan SD untuk menghasilkan produk-produk yang diminati konsumen global.
Kebetulan beberapa bulan lalu saya datang ke desa Sukamulya, menyaksikan secara langsung bagaimana penerapan ilmu hayati untuk budidaya ikan koi yang dilakukan kelompok tani Mizumi. Dengan semangat kewirausahaan yang luar biasa, Pak Asep Munanwar sang ketua kelompak, memimpin puluhan rekan sedesanya menerapkan ilmu hayati yang praktis dengan bimbingan dari Bio Farma. Caranya dengan menggunakan teknik pemurnian (purification) dan pemuliaan (breeding) benih untuk menghasilkan komoditas koi unggul. Dengan kolaborasi ini kini desa Sukamulya tersulap menjadi sentra budidaya ikan koi unggul yang memiliki jangkauan pasar tak hanya nasional tapi juga global.
Kemandirian Indonesia
Dengan success story kelompok tani Mizumi mengaplikasikan ilmu hayati tepat guna, saya kemudian berpikir, harusnya kelompok-kelompok tani di ribuan desa di tanah air juga bisa melakukannya. Kalau desa Sukamulya berspesialisasi pada budidaya ikan koi, maka desa-desa lain bisa berspesialisasi di produk-produk unggulan lain sesuai potensi keanekaragaman hayati yang mereka miliki. Desa-desa di Kepulauan Halmahera misalnya, bisa berspesialisasi di produk perikanan. Desa-desa di Aceh berspesialisasi di kopi Gayo yang tenar di seantero dunia. Desa-desa di Sulawesi Utara fokus di kelapa. Desa-desa di NTT fokus di peternakan sapi. Demikian seterusnya. Kalau hal ini terwujud, maka ide “one village, one product” bisa digulirkan di seluruh penjuru tanah air.
Eksperimen Bio Farma dengan Kelompok Tani Mizumi adalah kasus sederhana yang seharusnya bisa menjadi model bagi terwujudkan kemandirian ekonomi nasional yang kini didengung-dengungkan pemerintahan Jokowi. Di dalam model tersebut terdapat sebuah kombinasi yang sangat cantik dari tiga elemen kunci. Pertama key asset, berupa modal kekayaan keanekaragaman hayati yang begitu besar. Kedua key enabler, berupa aplikasi ilmu hayati tepat guna untuk mengubah keanekaragaman hayati menjadi produk kompetitif di pasar global. Ketiga key player, berupa wirausahawan desa yang mampu mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Kalau saya singkat menjadi sebuah rumus, maka bunyinya kira-kira begini: [Keanekaragaman Hayati] + [Ilmu Hayati Tepat Guna] + [Kewirausahaan Desa] = [Kemandirian Indonesia].
Di tengah kian terpuruknya rupiah saat ini, rumus ini mendesak untuk kita realisasikan.