Di tahun 2021 kita akan menghadapi perubahan peta industri besar, barangkali terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia.
COVID-19 telah meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian, industri, dan bisnis yang memaksa kita memasuki dunia yang sama sekali baru: A WHOLE NEW WORLD.
Di tahun 2021 kita akan menghadapi pergeseran industri maha dahsyat dan ekstrim, karena itu saya menyebutnya: INDUSTRY MEGASHIFTS.
Bagaimana peta pergeserannya?
Secara sederhana saya kelompokkan ke dalam 3 bagian besar yaitu pergeseran di tingkat MEGA (“Changes), MACRO (“Competition”) dan MICRO (“Customer). Minggu lalu saya sudah menguraikan pergeseran industri yang pertama yaitu di level MEGA dan MACRO. Kali ini saya akan menguraIkan level yang terakhir yaitu: MICRO.

III. MICRO: THE 4 NEW VALUE PROPOSITIONS
Pergeseran di tingkat Mikro mencakup perubahan-perubahan besar yang menghasilkan perubahan perilaku konsumen di next normal. Ada empat perubahan besar di sisi konsumen ini yaitu: pertama, munculnya gaya hidup baru stay @ home lifestyle. Kedua fenomena back to the bottom of pyramid dimana kebutuhan konsumen kembali ke kebutuhan dasar. Ketiga, go virtual. Dan terakhir munculnya apa yang saya sebut empathic society.
#1. Stay @ Home Lifestyle
Penyebaran virus COVID-19 yang masih terus melonjak selama 9 bulan terakhir menciptakan gaya hidup baru yang kami sebut: Stay @ Home Lifestyle.
Gaya hidup baru ini terbentuk karena di era pandemi semua semua aktivitas masyarakat terpaksa harus dilakukan di rumah. Mulai dari bekerja, berbelanja, belajar, menikmati hiburan, berobat, bahkan beribadah. Survei dari Kantar, hampir 80% masyarakat Indonesia menghabiskan waktu di rumah selama masa karantina.
Tak tak menentunya kapan krisis pandemi ini berakhir, gaya hidup baru ini akan semakin permanen bahkan setelah vaksin diproduksi dan didistribusikan. Contohnya untuk belanja online, WFH, home entertainment, hingga sekolah online.
Stay @ Home Lifestyle akan memicu terciptanya apa yang kami sebut Stay @ Home Economy dimana begitu banyak industri yang berguguran (high-touch industries) namun di sisi lain tak sedikit industri yang justru menikmati pertumbuhan dahsyat (low-touch industries).
Krisis COVID-19 membawa manusia seperti kembali ke zaman purba dimana hidupnya hanya di “gua”, yaitu rumah mereka. Welcome stay @ home economy.
#2. Back to the Bottom of the Pyramid
Kami di Inventure menyebut masa sebelum Maret 2020 saat WHO menetapkan COVID-19 sebagai bencana pandemi sebagai era “Leisure Economy” dimana kebutuhan konsumen bergerak cepat menuju puncak piramida Maslow yaitu Self Esteem dan Self Actualization.
Pasca Maret 2020, secara mendadak umat manusia dipaksa memasuki era “Pandemic Economy” dimana kebutuhan konsumen berbalik arah dari awalnya “go to the top”, menaiki piramida Maslow menjadi “back to the bottom” menuju dasar piramida.
Dengan merebaknya virus, kebutuhan-kebutuhan Self Esteem dan Self Actualization menjadi tidak prioritas lagi. Konsumen kembali ke kebutuhandasar yaitu Safety (health), Security (free of fear, employment), dan Physiological Needs (food, cloth, shelter).
Consumer Megashit ini menghasilkan preferensikonsumen yang menuntut marketers melakukan perubahan value proposition yang mendasar.
#3. Go Virtual
Di tengah pandemi industri-industri yang by-default bersifat “high-touch” seperti pariwisata, MICE, bisnis pertunjukkan, hingga sport pada berguguran.
Di tengah berbagai aktivitas di industri-industri ini tidak bisa dilakukan secara fisik, maka medium digital menjadi solusi sementara, yang tak tertutup kemungkinan akan menjadi solusi selamanya.
Maka tak terhindarkan lagi konsumen beramai-ramai “Go Virtual”, baralih dari medium “space” ke medium “screen”. Maka di masa pandemi istilah virtual hinggapun kian populer: virtual meeting, virtual concert, virtual exhibition, virtual prayer.
Menariknya, aktivitas virtual ini kian lama memiliki value bagi konsumen. Survei dari Nielsen misalnya, menunjukkan bahwa konsumen rela membayar tiket untuk menyaksikan konser secara personal.
#4. The Birth of Empathic Society
Krisis COVID-19 merupakan bencana kemanusiaan yang paling dahsyat abad ini dengan korban nyawa manusia yang begitu besar.
Umat manusia di seluruh dunia terketuk hatinya menyaksikan ratusan ribu korban meninggal di seluruh dunia. Begitu banyak orang yang cemas, takut, dan mengalami kesulitan hidup.
Hikmahnya, COVID-19 telah menciptakan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. COVID-19 melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan yang melahirkan tujuan bersama (common goal) untuk melawannya. Tak heran jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di Tanah Air dan di seluruh dunia.
Berbagai gerakan kepedulian dan aksi solidaritas dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat secara genuine untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang terdampak. Rasa simpati yang luar biasa diberikan kepada para nakes yang telah berjuang menyelamatkan para korban dengan risiko nyawa.
COVID-19 telah menciptakan masyarakat baru yang empatik, penuh cinta, dan welas asih terhadap sesamanya. Sesuatu yang langka ketika wabah belum mendera.