Menjelang datang pergantian tahun, banyak teman-teman saya membuat resolusi Tahun Baru. Bunyi resolusinya hebat-hebat. Ada yang pengin berhenti menjadi karyawan dan beralih kuadran menjadi entrepreneur. Ada yang ingin mencapai kebebasan finansial. Yang ambisius pengin mendirikan 5 startups sekaligus. Ada yang ingin menulis buku. Yang jomblo pengin mendapatkan pacar. Yang sudah punya pacar pengin menikah. Yang gendut pengin mengurangi drastis berat badan. Dan masih banyak lagi.
Kebanyakan resolusi tersebut bombastis dan seringkali berlebihan. Tak heran jika riset yang dilakukan Richard Wiseman pada tahun 2007 menemukan bahwa 88% dari mereka yang memiliki resolusi Tahun Baru gagal mewujudkannya. Ya, karena umumnya semangat membara saat di penghujung tahun, namun begitu sampai saat untuk action mewujudkannya, tenaga menjadi loyo. Besar pasak daripada tiang.
Bicara resolusi dulu saya juga sama, memiliki resolusi hebat-hebat begitu datang malam pergantian tahun. Pengin punya mobil. Pengin punya rumah. Pengin karir melejit. Pengin mengambil doktor. Pengin punya perusahaan sendiri. Resolusi-resolusi itu hebat-hebat sehingga menjadi penyemangat yang luar biasa bagi saya untuk terus maju di tahun yang baru. Namun belakangan resolusi saya berubah. Selama lima tahun terakhir isi resolusi saya tak pernah beranjak dari dua hal: simple life dan giving.
Simple Life
Resolusi pertama adalah hidup sesimpel mungkin. Hidup gaya orang tua saya dulu di kampung: hidup super sederhana, tidak neko-neko, tidak berlebihan, bersahaja, apa adanya. Yang paling gampang simple life adalah consume less: makan-minum tak berlebihan (minum air putih, makan slow food yang murah tapi sehat), berbelanja tak berlebihan, kepemilikan tak berlebihan. Betul kata Azim Jamal dalam The Power of Giving, “When you reduce your consumption, you can reduce your stress, the pressure in your life, and even your fears.”
Simple life adalah fokus menjalani yang betul-betul penting, dan mengenyahkan beragam hal yang nggak penting. Kini saya mencoba fokus pada kegiatan yang betul-betul saya sukai dan cintai (terutama bekerja, membaca-menulis, dan mendengarkan jazz). Mengurangi multi-tasking. Mengurangi chit-chat nggak perlu di grup WA, Twitter, atau Facebook. Mengurangi perhatian pada kegaduhan sosial/politik yang datang bertubi-tubi (dari kasus Nikita Mirzani hingga “Papa Minta Saham”). Mengurangi hura-hura (seperti membakar kembang api di malam Tahun Baru). Dan yang paling sulit, mengurangi marah dan suntuk. Be mindful.
Simple life adalah juga mengerem keinginan. Dulu saya punya 1001 keinginan dan ambisi, sehingga bingung dan penuh stress untuk mewujudkannya. Kini, saya hanya punya satu-dua ambisi sehingga fokus dan sepenuh hati mewujudkannya. Kita harus jujur dan berdamai dengan diri sendiri. Sumeleh, kata orang Jawa. Dengan sedikit ambisi, saya makin banyak waktu berkontemplasi, berkoneksi (fully–connected) dengan apa yang sedang saya lakukan, dan ujung-ujungnya fokus berkreasi. Stop cluttering your life, get contemplating… and creating!!!
Giving
Resolusi kedua adalah giving, yaitu sebuah mindset untuk tidak lagi fokus pada diri sendiri (self–focused), tapi pada orang-orang di luar kita (other–focused). Dulu resolusi saya hebat-hebat (pengin sekolah tinggi, pengin menjadi penulis hebat, pengin menjadi konsultan hebat, pengin kaya raya, dst-dst), tapi itu semua untuk diri saya. Setelah usia saya menginjak 40 sekitar lima tahun lalu semuanya berubah. Apa-apa yang untuk diri saya menjadi tak berarti lagi. Saat itu saya mengatakan: “I’m finished. It’s the time to give.”
Benar kata Mark Twain, “The two most important days in your life are the day you are BORN and the day you find out WHY”. Ada dua hari terpenting dalam hidup kita. Pertama saat kita lahir, itu sebabnya kita merayakannya tiap tahun. Lalu apa yang kedua? Hari pernikahan? Hari kematian? Bukan. Yang kedua adalah hari dimana kita menemukan jawab kenapa kita hidup. Di usia 40 saya menemukan jawab, kenapa saya hidup: untuk berarti bagi orang lain. Itulah turning point hidup saya. Life begins at 40.
Itu sebabnya sejak lima tahun lalu giving menjadi resolusi hidup saya tiap tahun. Jangan bayangkan saya pengin menjadi giver hebat macam Mark Zuckerberg yang menyedekahkan Rp 600 triliun kekayaannya; atau Mother Teresa yang begitu heroik membantu kaum papa di Kalkuta. Saya hanyalah simple giver yang membantu dengan sederhana, sejauh yang saya mampu. Tidak ambisius, yang penting ikhlas.
Percaya saya, ketika kita menjalani simple life, maka pasti kita akan merasa berlebih. Dan ketika kita merasa berlebih, maka banyak bagian yang bisa kita berikan kepada orang lain. Simple life leads to abundance.
Memberi yang sederhana bisa macam-macam bentuknya. Memberi duit pasti terbatas, karena saya tidak kaya-kaya amat. Memberi pengetahuan mungkin lumayan karena saya punya sedikit pengetahuan dan pengalaman di bidang manajemen, marketing, dan branding. Memberi pengetahuan bisa diwujudkan dalam bentuk ceramah/seminar dan tulisan kolom/buku. Sejak lima tahun lalu saya mencoba menulis dengan lebih jujur. Artinya, saya menulis demi kebaikan orang lain, bukan semata untuk diri saya.
Memberi juga bisa berwujud waktu, tenaga, dan pikiran. Itu sebabnya saya dan teman-teman yang peduli mendirikan Komunitas Memberi tiga tahun lalu untuk membantu UKM naik kelas. Bersama-sama kami mengajari para pelaku UKM branding, servis, manajemen keuangan sederhana, manajemen SDM, dsb agar mereka bisa menjalankan usahanya dengan lebih baik. Bersama teman-teman, saya juga merintis Indonesia Brand Forum untuk membangun kesadaran membangun brand lokal Indonesia.
Never-Ending
Di depan saya katakan bahwa resolusi saya tiap tahun tak beranjak dari dua hal: simple life dan giving. Ya, karena untuk mewujudkan keduanya sulitnya minta ampun. Butuh refleksi diri, butuh kebesaran hati, butuh keikhlasan, butuh latihan. Semakin dijalani, semakin banyak PR yang harus dikerjakan.
Tiap kali datang detik-detik menjelang pergantian tahun, di tengah gemuruh orang-orang membakar kembang api, saya selalu bertanya: apa yang sudah saya berikan untuk orang lain? Dan tiap kali menjawab pertanyaan itu, saya jadi malu. Karena selama setahun ke belakang saya hitung-hitung, rupanya tak banyak yang bisa saya berikan. Giving is a never-ending journey. Memberi adalah perjalanan tanpa akhir di sepanjang sisa hidup kita.
Sumber foto: www.happynewyears2016.net