Mana bisa pemerintahan dikelola seperti layaknya bisnis? Tentu saja tidak bisa. Kenapa? Karena misi, orientasi, dan tujuan dari pengelolaan sebuah organisasi pemerintahan tentu saja berbeda 180 derajat dengan organisasi bisnis. Organisasi bisnis kita tahu adalah profit-making entity di mana revenue, profit, dan cash flow menjadi tujuan terpenting. Sebaliknya, organisasi pemerintahan bukanlah organisasi pencari laba. Tugas dan tujuan dari sebuah organisasi pemerintahan adalah memakmurkan penduduk dan warganegara, ”menciptakan masyarakat adil dan makmur,” kata Pak Harto di jaman Orde Baru.
Lalu judul tulisan ini kok entrepreneurial government? Istilah apalagi ini. Sebelum lebih jauh masuk, saya ingin terlebih dahulu mencari tahu definisi dari kata ”entrepreneur” sendiri. Bagi saya, seorang entrepreneur memiliki tiga kualifikasi. Pertama, ia mampu secara jeli menangkap peluang yang muncul dari suatu keadaan tertentu. Kedua, ia mampu menterjemahkan peluang tersebut menjadi sebuah ide cerdas dan kemudian merealisasikan ide tersebut menjadi sebuah aktivitas penciptaan nilai (value-creating activities). Dan yang terakhir, seorang entrepreneur haruslah bisa jualan. Ia harus bisa memasarkan produk, layanan, ide, dan gagasan kepada stakeholder-nya dalam rangka value-creation di atas. Jadi keyword-nya adalah ”value creation”
Klop
Lalu bagaimana kalau kata ”entreprenerial” ditempelkan ke kata ”government”? Dari definisi di atas saya kira kok klop. Bahwa sebuah pemerintahan harus mampu secara jeli menangkap peluang yang muncul dari adanya perubahan yang ada di tingkat lokal maupun global, saya kira memang harus. Bahwa sebuah pemerintahan harus menterjemahkan peluang tersebut menjadi sebuah ide dan kemudian merealisasikan ide tersebut menjadi value-creating activities, saya kira juga harus. Lalu, bahwa sebuah pemerintahan harus bisa memasarkan dirinya kepada stakeholder-nya, juga semestinya harus begitu.
Jadi, kalau mengacu ke definisi di atas, entrepreneurial government tak lain adalah pemerintah yang jeli dan selalu berpikir keras untuk melihat dan memanfaatkan peluang yang muncul dalam rangka value-creation. Bedanya dengan entitas bisnis adalah bahwa kalau entitas bisnis value-creation activities ini adalah penciptaan laba, sementara kalau organisasi pemerintahan adalah penciptaan kemakmuran dan peningkatan kualitas hidup masyarakatnya: peningkatan pendapatan per kapita, standar kesehatan, pendidikan, dan seterusnya.
Mengenai value-creating activities ini, Michael Porter, seorang maha guru strategi, punya pendapat yang menarik. Menurutnya, semua upaya yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan haruslah diarahkan untuk membangun keunggulan bersaing negara. Lebih lanjut ia mengatakan, membangun keunggulan bersaing ini tak lain adalah upaya meningkatkan produktivitas (nilai output yang dihasilkan per unit input yang digunakan) yang pada gilirannya akan menaikkan kualitas dan standar hidup masyarakat dalam jangka panjang.
Value Creation
Dari argumen saya tersebut, menjadi jelas bahwa organisasi bisnis maupun pemerintahan sesungguhnya mengemban misi dan tujuan yang sama, yaitu value-creation. Hanya saja penterjemahan value-creation ini antara organisasi bisnis dan pemerintahan memang berbeda.
Pertanyaannya kemuadian, kalau organisasi bisnis mampu menghasilkan sebuah struktur dan sistem organisasi yang sangat efisien, responsif, dan adaptif, kenapa kebanyakan organisasi pemerintahan umumnya loyo untuk melakukannya? Kalau organisasi bisnis seperti Astra atau Wings Group mampu menciptakan budaya organisasi yang menghasilkan orang-orang yang customer-focused dan inovatif, kanapa kebanyakan organisasi pemerintahan justru membentuk orang-orang yang korup? Kalau organisasi bisnis mampu merancang dan mengimplementasi value-creating strategy dengan sangat cerdas dan piawai, kenapa kebanyakan organisasi pemerintahan justru dikelola tanpa arah dan strategi? Kalau organisasi bisnis mampu me-maintain sense of urgensi untuk selalu berubah dan bertransformasi, kenapa kebanyakan organisasi pemerintahan terus terbuai dalam tidur panjang?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas biasanya berupa alasan eskapis yang klise. ”Karena perusahaan kan organisasinya lebih sederhana!”; ”karena scope permasalahan yang dihadapi perusahaan kan tak sebanyak dan sekompleks organisasi pemerintahan—Ipoleksosbud!”; ”Karena stakeholder sebuah organisasi bisnis kan tak sebanyak dan seheterogen organisasi pemerintahan!” Demikian alasan yang sering di kemukakan banyak pemimpin organisasi pemerintahan.
Memang betul kompleksitas pengelolaan sebuah organisasi pemerintahan jauh lebih tinggi dibanding organisasi bisnis. Namun, saya kira hal ini tidak bisa secara membabi buta dijadikan alasan ketidakbecusan dan mismanagement dari kebanyakan organisasi pemerintahan. Saya berkeyakinan, sebuah organisasi pemerintahan harusnya bisa seefisien GE atau Apple.
Singapura adalah sedikit entrepreneurial government yang mampu melakukannya dengan baik. Lee Kuan Yew, sang entrepreneurial leader, membangun Singapura selama 25 tahun untuk menjadikan negara liliput ini menjadi kekuatan ekonomi yang siknifikan di dunia. Saya takjub pada pendekatan yang digunakannya dalam mengembangkan strategi pembangunan. Ia menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang diterapkan untuk perusahaan mulai dari segmentasi, positioning, diferensiasi, branding, dan sebagainya.
Sudah waktunya para bupati di seluruh tanah air menjadi entrepreneurial leader seperti halnya Lee Kuan Yew. Sebagai seorang entrepreneur mereka haruslah jeli membidik target market; fokus mengalokasi sumber daya; tepat menetapkan positioning, dan piawai membangun diferensiasi. Thanks god, kini mulai ada sosok CEO-CEO pemerintah yang semangatnya entrepreneur seperti Ahok, Ridwan Kamil, Azwar Anas, atau Bu Risma. Kalau bupati-bupati kita sudah menjadi entrepreneurial leader, saya hanya punya satu mimpi. Suatu hari kabupaten macam Wonogiri atau Tulungagung memiliki organisasi, budaya organisasi, dan strategi setangguh GE atau Apple. Semoga.