“If you’re not the customer; you’re the product being sold.”
Itu adalah mantra yang melandasi bekerjanya ekonomi baru yang kini populer dikenal sebagai “Surveillance Economy”. Yup, terminologi ini kian populer menyusul terkuaknya skandal Facebook-Cambridge Analytica bulan lalu.
Intinya, kalau Anda mendapatkan layanan hebat seperti layanan jejaring sosial Facebook atau mesin pencarian Google secara gratis, maka Anda harus was-was. Karena Anda tidak membayar sepeserpun maka Anda bukanlah konsumen. Dan karena Anda bukan konsumen, besar kemungkinan Anda adalah “produk” yang dijual oleh Facebook maupun Google.
Dan memang demikianlah adanya, data mengenai perilaku kita (pencarian kata di Google, percakapan kita di Facebook, transaksi kita di situs ecommerce, lokasi kita di Waze, foto keseharian kita layar CCTV, atau kebiasaan kita yang direkam oleh weareable device Apple-Nike) adalah “tambang emas” paling berharga di jaman now.
“Barang Dagangan”
The Big Four (Google, Amazon, Facebook, Apple) kini memiliki nilai pasar luar biasa besar yaitu sekitar $2700 miliar atau tiga kali GDP Indonesia. Dan nilai pasar fantastis itu didapat bukan dari mengebor minyak atau mendulang emas, tapi dari menjual data pribadi kita.
Caranya gimana? Gampang. Kita diberi layanan gratis yang memudahkan hidup kita: layanan berjejaring sosial dengan Facebook, mencari lokasi dengan Google Map, menghindari titik-titik kemacetan dengan Waze, mendapatkan layanan ojek ekselen tapi murah dengan Gojek. Tapi jangan salah, layanan-layanan gratis ini layaknya “jebakan Batman” karena sekaligus menjadi mesin efektif untuk mengumpulkan data-data pribadi kita.
Setelah data-data tersebut terkumpul (karena datanya super besar disebut: “big data”), maka perusahaan seperti Google atau Facebook menganalisis dan mengolahnya menjadi “emas baru” dan dijual ke pemilik brand dan pemasang iklan.
Baca juga: Skandal Facebook dan Imperialisme 3.0
Untuk gampangnya, kita-kita para pemakai Facebook, Google, atau Waze telah menjadi “barang dagangan” yang diperjualbelikan ke pihak lain untuk menghasilkan bisnis bernilai triliunan dolar. Ingat sekali lagi bunyi mantranya: “If you’re not the customer; you’re the product being sold.”
Itulah nasib kita yang mendapatkan layanan gratisan. Persis seperti ungkapan pahit yang dikemukakan Prof. Von Shoshana Zuboff pengritik Surveillance Economy: “We exist to be harvested, harvested for behavioral data.” Kita eksis di Surveillance Economy layaknya “budak” yang diperah dan dipanen data-data perilaku kita.
“Kelinci Percobaan”
Secara sederhana Surveillance Economy didefinisikan sebagai sebuah bentuk ekonomi baru dimana para pelaku ekonomi (entrepreneurs) mencipta nilai dengan cara mengekstraksi, menganalisis, dan memonetisasi data konsumen.
Perusahaan seperti Google atau Facebook mengekstraksi dan menganalisis data pribadi kita dengan tujuan untuk membentuk dan mengarahkan perilaku sesuai tujuan komersial yang mereka kehendaki. Ujar Zuboff, “They are actually intervening us to modify our behaviour, to shape our behaviour, in order to determine what we will do next”.
Hal Varian, chief of economist Google mengidentifikasi Surveillance Economy memiliki empat ciri.
#1. Data extraction & analysis, yaitu melibatkan ekstraksi dan analisis terhadap data pribadi yang terkumpul secara real-time dan terus-menerus selama konsumen menggunakan layanan. Setiap kali kita melakukan update status di Facebook, maka saat itu juga kita memberikan data pribadi kita untuk diekstraksi dan dianalisis Facebook.
#2. New contractual forms, yaitu adanya bentuk kontrak baru yang menggunakan pemantauan dan otomasi komputer. Dengan teknologi digital, perjanjian penggunaan data antara pemberi layanan dan konsumen dilakukan secara seamless menggunakan komputer.
#3. Personalization & customization, yaitu memanfaatkan layanan-layanan yang memberikan manfaat personalization dan customization. Layanan Google misalnya sangat personalized, itu sebabnya jika kita mengetikkan kata kunci yang sama di mesin pencari Google, maka hasil yang diperoleh akan berbeda antara satu orang dibanding orang lain. Karena hasil pencarian di Google ditentukan oleh historical searches masing-masing kita sebelumnya.
#4. Continual experiments, yaitu konsumen menjadi obyek percobaan yang dilakukan secara terus-menerus. Tujuannya adalah tadi, untuk mempengaruhi, membentuk, dan mengarahkan perilaku mereka sesuai dengan tujuan komersial yang dikehendaki pemilik layanan. Jadi, sepanjang hidup kita bakal menjadi “kelinci percobaan” bagi Google atau Facebook.
Welcome to the Brand New World
Sekilas surveillance economy baik-baik saja dan tak begitu menjadi masalah bagi kita. Namun kita seperti tersambar petir bulan lalu saat skandal Facebook-Cambridge Analytica terkuak.
Skandal tersebut menyadarkan kita bahwa data pribadi kita bisa begitu mudah disalahgunakan berbagai pihak (baik pemilik layanan maupun pihak ketiga) untuk tujuan-tujuan yang tidak kita kehendaki. Dalam kasus Cambridge Analytica, mereka mengekstraksi dan menganalisis data pengguna Facebook untuk melakukan microtargeting yang berujung pada kemenangan Donald Trump atau keluarnya Inggris dari EU (Brexit).
Dengan algoritma tertentu, machine learning, atau artificial intelligence mereka bisa mengolah data pribadi kita untuk membentuk dan mengarahkan suatu perilaku tertentu bagi kepentingan bisnis dan politik mereka, yang mungkin tidak kita kehendaki. Ini tentu saja akan menjadi ancaman bagi kemanusiaan: privasi, kebebasan, dan demokrasi.
Skandal Facebook-Cambridge Analytica adalah “pucuk gunung es”, artinya akan diikuti kasus-kasus berikutnya secara massal. Kenapa? Karena semua big data giants seperti Google, Apple, Amazon, Uber, hingga AirBnB melakukannya. Karena model bisnis mereka bekerja berdasarkan “surveillance platform”.
Welcome to the jungle.
Welcome to the end of privacy.
Welcome to the Surveillance Economy.
Sumber foto: employernews.co.uk