Konsep “crowd” atau customer community seperti saya tulis dalam buku saya CROWD “Marketing Becomes Horizontal” sesungguhnya sudah ada sejak lama. Ini bukanlah konsep baru, namun konsep “crowd” ini menjadi baru dan fresh kembali menyusul lahirnya “enabler” yang memungkinkan konsumen bisa berkomunitas, curhat, berinteraksi, dan melakukan engagement secara intim, yaitu dengan ditemukannya: web 2.0 tools
Di tahun 1970-an n 1980-an, pelanggan-pelanggan Apple Machintos dan Harley Davidson sudah membentuk “crowd”, cuma memang sebatas offline, belum berkembang secara online karena teknologinya belum memungkinkan. Di samping itu, pada waktu itu belum dikenal web 2.0 tools seperti wiki, RSS, blog, atau social networking sehingga interaksi di antara anggota komunitas tak bisa seintensif dan seintim sekarang.
Jadi, konsep “crowd” ini seperti “bangkit dari kuburnya” berkat adanya enabler yang dipicu oleh perkembangan baru internet (disebut internet generasi 2.0) pasca dotcom crash tahun 2000. Internet generasi 2.0 ini mulai menggeliat dan menemukan critical mass-nya sekitar tahun 2005 sejak Tim O’Riley merumuskannya menjadi jargon yang kini dikenal luas sebagai web 2.0.
Jadi semua berproses dan berevolusi menjadi seperti sekarang, Nantinya pasti web 2.0 ini akan berevolusi lebih lanjut menjadi 3.0 atau 4.0 yang sekali lagi akan menghasilkan “creative destruction” terhadap dunia marketing. Dengan perubahan itu saya yakin format “crowd” yang terbentuk pun akan berevolusi menuju sebuah interaksi konsumen yang kian-kian intim.
Inilah yang namanya “teknologi untuk kemanusiaan”, dan “teknologi yang memanusiakan”.
Kenapa? Karena perkembangan teknologi memungkinkan manusia (baca: konsumen) menjadi “manusia seutuhnya”. Yaitu: manusia dengan candanya, dengan sedihnya, dengan suntuknya, dengan cemburunya, dengan tertawanya, dengan tangisnya, dengan keluh-kesahnya, dan tentu saja… dengan harta karun paling berharga, yaitu CINTA.
Karena CINTA, manusia membentuk crowd…