Wabah Covid-19 telah memaksa perubahan yang harusnya berlangsung dalam 5 tahun menjadi hanya dalam waktu 2-3 bulan.
Itu sebabnya konsumen struggling menjalaninya. Awalnya sama sekali tidak bisa berenang, kemudian diceburkan, dan karena tak boleh tenggelam, maka mati-matian berusaha, dan akhirnya lulus bisa berenang.
Tentu saja awalnya sarat dengan penolakan (denial) yang kemudian diikuti dengan resistensi (resistence). Tapi karena dipaksa akhirnya mencoba, bereksperimen, dan bereksplorasi (exploration). Dan akhirnya terbentuk komitmen (commitment) untuk melakukan perubahan perilaku dan membentuk kebiasaan baru.
Proses denial-resistence-exploration-commitment tersebut dimampatkan dari 5 tahun menjadi hanya 2-3 bulan. Bagaimana bisa? Karena konsumen “dipaksa berenang” sehingga kebiasaan-kebiasaan baru konsumen muncul dalam ukuran beberapa minggu atau bulan, bukan bertahun-tahun.
Berikut ini adalah 30 prediksi saya mengenai perubahan perilaku konsumen selama dan pasca Covid-19 menuju KENORMALAN BARU. Karena keterbatasan tempat, dalam tulisan ini saya sampaikan hanya menguraikan 9 prediksi, untuk prediksi sisanya akan saya sampaikan dalam webinar hari Senin (20/4) jam 15.00.
Webinarnya bisa dilihat di sini: Covid-19 Webinar Series
Mari kita lihat prediksinya satu-persatu.
#1. Online Shopping: WIDENING & DEEPENING
Selama ini belanja online (online shopping) masih terbatas pada produk-produk seperti pakaian, consumer electronics, atau memesan tiket pesawat atau hotal. Dengan adanya wabah, belanja online akan melonjak baik dari sisi keluasan (“wide“) maupun dari sisi kedalaman (“deep“).
Dari sisi “wide” belanja online akan meluas ke kategori-kategori lain terutama grocery dan kebutuhan-kebutuhan esensial/rutin sehari-hari. Selama ini kebutuhan sehari-hari untuk skala kecil berbelanja ke pasar tradisional dan minimarket. Sementara untuk belanja besar tiap bulan di lakukan di supermarket/hypermarket. Maka pasca Covid-19 pelan tapi pasti akan bergeser ke online shopping.
Tak hanya keluasan, belanja online juga akan mengalami deepening dimana volume pembelanjaannya untuk setiap kategori juga akan semakin bertambah. Tentu saja konsumen tetap menggunakan omnichannel (digital-fisikal) dalam berbelanja, tapi dengan maraknya contact–free lifestyle maka pendulum perilaku konsumen akan semakin mengayun ke pembelanjaan online.
#2. Food Delivery: From INDULGENCE to UTILITY
Selama ini konsumen memesan makanan/minuman secara online hanya untuk jenis-jenis makanan dalam rangka “indulgence” seperti: boba tea, latte, snack, pizza, burger, atau ayam geprek.
Maksudnya kita mengonsumsi makanan/minuman dalam rangka mencoba sesuatu yang baru, mendapatkan kenikmatan (enjoyment), kesenangan (pleasure), pengalaman (experience), perayaan (celebration), atau menemani kesendirian/kebersamaan.
Dengan berlanjutnya social distancing dalam waktu yang lama, maka layanan online food delivery akan bergeser dari indulgence ke utility. Artinya, mengarah ke pemesanan makanan untuk kebutuhan rutin sehari-hari.
Ketika frekuensi pemesanan kian meningkat bahkan menjadi rutinitas harian atau mingguan, maka model bisnis berlangganan (subscription) yang cost-effective akan mulai banyak diadopsi dan menjadi rule of the game baru di industri ini.
#3. CONTACT-FREE Lifestyle
Social distancing akan permanen setelah krisis Covid-19 dan kemudian membentuk kenormalan baru. Konsumen akan membeli, menerima barang, mengonsumsi, menikmati layanan, atau menikmati pengalaman dengan cara yang berbeda dengan selama ini, yaitu mereka sesedikit mungkin melakukan kontak dengan orang lain.
Hal ini membentuk gaya hidup baru yang saya sebut: contact-free lifestyle.
Ketika contact-free lifestyle sudah betul-betul menjadi keseharian, maka aktivitas berbelanja sebagian besar akan dilakukan secara online dengan pengiriman barang yang secara ketat mengikuti protokol contact-free.
Yang lebih ekstrim, nanti akan muncul beberapa hal yang pada saat ini aneh, namun pada saat terjadi kenormalan baru akan menjadi hal yang lumrah. Beberapa contoh di antaranya: jarak kursi di pesawat atau di bioskop akan lebih longgar (separuh dari kapasitas yang ada sekarang). Atau menonton konser musik secara virtual akan lebih diminati ketimbang fisik dengan adanya risiko penularan virus.
Olahraga-olahraga dengan kontak fisik intens seperti olahraga bela diri, gulat, atau tinju akan semakin dihindari atau mungkin akan bermigrasi ke format digital/virtual. Begitu pula aktivitas-aktivitas hiburan berkerumun seperti nonton konser musik semakin dihindari dan beralih ke format virtual.
#4. FLEXIBLE Working Hours: From “9-to-5” to “3-to-2”
Dalam buku Millennials Kill Everything (2019) saya mengatakan, ke depan milenial “membunuh” jam kerja “9-to-5”.
Rupanya Covid-19 membunuhnya lebih cepat. Saat ini semua karyawan dipaksa untuk menjalankan “work from home” (WFH). Sehingga mereka berkesempatan melakukan “eksperimen” untuk menjalankan pola kerja flexible working hour (FWH).
Awalnya memang denial (apalagi harus menggunakan platform digital remote working seperti Zoom atau Webex), namun setelah berjalan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, maka mereka mulai terbiasa, menikmatinya, dan ketagihan. Mereka makin produktif karena lebih banyak waktu berkumpul dengan keluarga
Di tengah risiko bisnis yang kian tinggi pasca wabah, operasi perusahaan semakin “asset–light” dengan memangkas sebanyak mungkin biaya overhead. Maka WFH dan FWH pun menemukan jalan untuk menjadi kenormalan baru.
Prediksi saya jam kerja “9-to-5” akan berubah menjadi “3-to-2” jam kerja 3 hari di kantor dan 2 hari di rumah dalam seminggu.
#5. “Work-Live-Play” Balance: WELL-BEING Revolution
Ketika flexible working hour (FWH) menjadi kenormalan baru, maka batas waktu antara bekerja (working), berkumpul dengan keluarga (living), dan menikmati hiburan (playing) menjadi kian kabur.
Selama ini (kenormalan lama) waktu karyawan banyak didominasi untuk working dan sedikit porsi waktu untuk living dan playing. Dengan FWH, maka mereka lebih leluasa mengatur waktunya dimana porsi living dan playing akan lebih besar dari sebelumnya.
Keseimbangan working-living-playing yang lebih baik ini pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kebahagian hidup. Welcome the well-being revolution.
#6. The Birth of ZOOM GENERATION
Kalau generasi milenial sering disebut sebagai “Instagram Generation” dan Gen-Z sebagai “Snapchat Generation” maka setelahnya, kita akan menyongsong lahirnya apa yang saya sebut “Zoom Generation“.
Kalau generasi milenial dan Gen-Z tumbuh di tengah keajaiban teknologi digital (internet, media sosial, tech startup), maka Generasi Zoom tumbuh di tengah dunia yang rapuh oleh ancaman pandemi dan risiko hidup yang tinggi.
Ancaman virus yang bisa setiap saat mengancam (Covid-19 maupun virus-virus setelahnya) mengharuskan mereka selalu mengambil jarak fisik saat bergaul dan bersosialisasi. Maka “contact-free lifestyle” dan “social-distancing lifestyle” sudah menjadi keseharian mereka
Ketika social distancing menjadi kenormalan baru, maka Zoom tiba-tiba berubah menjadi kebutuhan pokok sehari-hari (“the new Google”) untuk berkomunikasi, berekspresi, bersosialisasi, belajar, bekerja, bahkan beribadah.
#7. The Emerging VIRSOCIAL
Saya menyebutnya VirSocial (“virtual social“) activities, yaitu aktivitas bersama-sama baik nongkrong, olahraga, senam, meditasi dan yoga, hingga nge-game. Aktivitas sosial selama ini wajib dilakukan secara ketemu fisik, karena di situlah kenikmatan pengalamannya.
Namun di tengah bahaya wabah yang mengintai setiap saat, konsumen dipaksa “menikmati” pengalaman virtual untuk aktivitas-aktivitas bersama mereka. Beberapa minggu terakhir marak aktivitas “nongkrong” temen-teman sekantor, sekampung, sekomunitas, hingga sesama alumni SD hingga kuliah, yang dilakukan via Zoom. Ini adalah kebiasaan baru yang sebelumnya tak dikenal.
Aktivitas oleh raga seperti nge-gym, senam, zumba, hingga yoga/meditasi kini dilakukan dengan platform aplikasi virtual dimana instruktur dan masing-masing peserta melakukan aktivitasnya di rumah masing-masing. Untuk games, social gaming selama ini sudah lebih dulu berkembang namun dengan adanya wabah Covid-19, social gaming akan makin melejit pertumbuhannya.
Merespons hal ini beberapa startup sudah curi star menangkap peluang ini. Contohnya adalah DOOgether yang selama masa self-quarantine saat ini meluncurkan fitur baru yakni #dirumahaja olahraga by DOOgether dan DOOlive. Fitur memungkinkan konsumen berolahraga melalui berbagai video-on-demand (VOD) latihan olahraga dan live classes yang disediakan oleh berbagai studio lokal bermitra dengan DOOgether.
#8. HALAL (THOYYIBAN) Becomes Mainstream
Sejak Covid-19 merebak akhir tahun lalu, kita tidak tak akan pernah lupa dengan kota Wuhan terutama pasarnya yang menjadi awal mula penyebaran virus. Khusus di kalangan kaum muslim, bayangan muram pasar Wuhan adalah wujud dari penyiapan dan pengolahan makanan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip halal dan thoyyiban (higienis dan baik untuk tubuh manusia).
Karena itu blessing in disguise, bencana Covid-19 akan mengingkatkan kesadaran masyarakat muslim mengenai pentingnya halal dan thoyyiban dalam penyiapan dan pengolahan makanan yang dikonsumsi.
Dalam buku Marketing to the Middle Class Muslim (2014) saya menguraikan terjadinya revolusi pasar muslim di Indonesia, termasuk pasar makanan halal. Hal ini diikuti dengan pemberlakuan UU No. 33/2014 yang mewajibkan setiap produk makanan, minuman, obat-obatan harus memiliki sertifikasi halal sejak tahun lalu. Ditambah bencana wabah Covid-19 saat ini maka momentum kebangkitan industri halal di Indonesia bakal tak terbendung lagi.
#9. The Future of Travelling
Jangan mengira social distancing adalah sementara. Jalan menuju produksi massal vaksin penangkal Covid-19 masih panjang. Bisa setahun bahkan 2-3 tahun ke depan. Ketika vaksinnya belum ada, maka kita akan terus diliputi ketakutan ketika berada di luar rumah.
Itu sebabnya sektor turisme tak akan otomatis comeback begitu jumlah korban terinfeksi/meninggal menunjukkan angka yang menurun. Jalan menuju recovery masih akan panjang.
Pertanyaannya, bagaimana travelling ke depannya?
Dengan ancaman wabah Covid-19 masih terus mengintai maka para travellers tidak bisa bebas keluyuran di destinasi-destinasi wisata seperti sebelum-sebelumnya. Tentu saja mereka tetap berlibur tapi dalam situasi dan kondisi yang bisa dikontrol dan tak terpapar virus.
Staycation atau berlibur di dalam lingkungan hotel akan menjadi pilihan terbaik. Aktivitas travelling kian menjadi aktivitas individual bukan lagi berbentuk grup. Untuk keluarga, berlibur dengan kendaraan pribadi (bukan dengan transportasi umum seperti pesawat, cruise, atau kereta api), akan semakin populer.
Dan tentu, liburan ke luar negeri bakal tak semenarik seperti sekarang karena bayang-bayang ancaman terpapar virus. Di tengah kejenuhan banyak di rumah, turisme domestik akan berkembang lebih baik dan lebih cepat pulih. Mass tourism semakin dihindari, sebaliknya turisme minat khusus, unik, dan niche justru berkembang lebih pesat.
Pasca Covid-19 layanan akomodasi seperti AirBnB akan lebih diuntungkan dibanding hotel konvensional apalagi hotel yang bersifat massal dengan kamar dan populasi tamu yang besar. Compliance terhadap protokol Covid-19 akan menjadi alat branding yang ampuh bagi hotel untuk menarik tamu.
Dalam rangka compliance terhadap protokal Covid-19, maskapai penerbangan akan melakukan adaptasi dengan mengatur jarak kursi lebih lebar, tentu dengan kapasitas penumpang yang lebih sedikit.
Join the webinar: Covid-19 Webinar Series