Ada satu pelajaran yang harus dimengerti dan harus dipraktikan oleh para wakil rakyat (yang kemarin memberikan voting Pilkada tak langsung) dari sosok seorang marketer. Kualitas personal paripurna (ultimate) dari seorang marketer adalah kemampuannya mendengarkan suara-suara halus keinginan konsumen. Di dalam dunia marketing itu disebut, customer voice. Kualitas ini begitu penting sehingga saya berani mengatakan bahwa, “listening to the voice of customer is marketer’s reason for being.”
Kehebatan paripurna seorang marketer bukanlah ditentukan oleh kemampuannya dalam jualan dan menawarkan produk. Bagi saya kehebatan paripurna seorang marketer adalah kemampuannya dalam mendengarkan keinginan dan harapan konsumen, dan kemudian menerjemahkannya menjadi kebijakan, strategi, dan program yang pas untuk memenuhi keinginan dan harapan tersebut. Di dalam dunia marketing kebijakan, strategi, dan program terbaik adalah yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan konsumen. Kebijakan, strategi, dan program marketing secanggih dan sehebat apapun akan gugur ketika ia menyimpang dan mencederai konsumen.
Begitupun, kegagalan terbesar seorang marketer adalah ketika ia sudah bebal terhadap suara hati konsumen dan abai terhadapa aspirasi mereka. Kegagalan terbesar seorang marketer adalah ketika ia sudah menjadi “psikopat” yang tak lagi memiliki kepekaan dalam membaca kegelisahan dan keluh-kesah konsumen.
Untuk itulah riset konsumen (baik formal maupun informal) menjadi demikian penting dalam dunia marketing untuk mendengar dan menangkap desir-desir suara halus konsumen. Riset konsumen belakangan begitu populer dan menjadi buzzword luar biasa saat Jokowi naik ke panggung politik Pilkada DKI Jakarta dengan istilah Jawa yang cool yaitu: blusukan.
Wakil Rakyat = Marketer
Wakil rakyat haruslah punya karakter dasar seorang marketer. Seperti halnya marketer, seorang wakil rakyat haruslah selalu mendengarkan customer voice dari konstituen yang diwakilinya, yaitu rakyat. Mereka harus mampu mendengarkan keinginan dan harapan konsumen, dan kemudian menerjemahkannya menjadi kebijakan (dalam bentuk perundang-undangan) yang sesuai dengan keinginan dan harapan mereka.
Seperti halnya marketer, wakil rakyat haruslah menempatkan peran “mendengarkan suara-suara lirih konstituen” sebagai reason for being. Itu artinya, jikalau mereka sudah tak mampu lagi memerankan fungsi itu, maka secara otomatis keberadaannya patut dipertanyakan. Kalau itu terjadi, meminjam istilah Annas Urbaningrum saat divonis di pengadilan korupsi kemarin, sudah waktunya para wakil rakyat itu melakukan “sumpah kutukan” (hehehe…).
Nah, dalam konteks wakil rakyat yang harus memainkan karakter marketer, saya menjadi sedih melihat drama pengesahan UU Pilkada Jumat (26/9) dinihari. Yang saya saksikan di ruang sidang yang amat mulia di gedung DPR itu bukanlah sosok-sosok negarawan yang empati terhadap suara-suara rakyat, tapi “psikopat-psikopat” yang bebal dan abai terhadap keinginan dan harapan konstituen yang mereka wakili. Mereka berjuang mengatur strategi untuk kepentingan diri dan kelompak mereka dan dengan vulgar mencederai kepentingan dan kemauan rakyat.
Kenapa saya sebut mereka psikopat? Karena mereka sudah tak memiliki sedikitpun kepekaan mendegar customer voice. Karena mereka tak punya empati pada kegelisahan dan kegalauan rakyat. Bahkan mereka telah abai terhadap kemauan dan kepentingan rakyat. Mereka tega memperkosa kepentingan rakyat, diplintar-plintir sedemikian rupa agar mengabdi kepentingan pribadi dan golongan mereka.
Sudah sebulan terakhir ini sesungguhnya sinyal-sinyal aspirasi rakyat ini diteriakkan berbagai kalangan masyarakat mulai dari cendekiawan, akademisi, para gubernur dan walikota, LSM, mahasiswa, bahkan rakyat kecil dalam bentuk demo-demo di jalan. Ini namanya tak hanya customer voice, tapi sudah customer scream. Namun tetap saja teriakan-teriakan lantang rakyat tersebut nyaris tak terdengar oleh mereka. Telinga mereka tuli. Hati mereka tak peka. Mereka menjadi psikopat.
Politik = Building Brand
Apa jadinya jika para wakil rakyat abai terhadap customer voice? Ketika wakil rakyat mencederai kepercaaan yang diberikan rakyat dengan mengabaikan aspirasi dan keinginan mereka, maka cedera pula hubungan keduanya. Rakyat menjadi tak punya trust lagi pada si wakil rakyat. Dalam dunia marketing, trust adalah “roh” bagi pembentukan brand (brand building) produk di mata konsumen. Ketika trust sirna, maka sebuah produk tak akan dibeli oleh konsumen.
Dalam kehidupan bernegara, prinsip dasar marketing ini pun berlaku. Ketika trust si wakil rakyat sudah tak ada lagi di mata rakyat yang diwakilinya, maka mereka tak akan “dibeli” alias dipilih lagi di Pemilu mendatang. Sebaliknya, jika mereka bisa menjaga dan merawat trust tersebut, maka besar kemungkinan mereka akan dipilih lagi. Karena itu seperti halnya marketer, seorang wakil rakyat haruslah melakukan brand building dengan cara senantiasa merawat trust dari rakyat.
Duka masih menyelimuti hati saya menyusul disahkannya UU Pilkada tak langsung dua hari lalu. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Seperti halnya Annas, saya hanya bisa mengusulkan para wakil rakyat yang telah menggolkan UU tersebut menggelar “sumpah kutukan”. Agar mereka introspeksi dan cepat insyaf, untuk mengembalikan hak rakyat dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang mereka mau. Mari jangan isi DPR/DPRD kita dengan psikopat-psikopat yang mengabaikan suara rakyat.