Kearifan lokal (local wisdom) rupanya bisa menjadi senjata ampuh merek lokal dalam menghadapi serangan agresif merek global. Resep ampuh inilah yang digunakan Martha Tilaar Group (MTG) untuk menghadapi raksasa kosmetik global sekaligus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Beberapa hari lalu saya ngobrol santai dengan pak Sam Pranata, Direktur Marketing MTG di sebuah kafe di Kuningan. Kata pak Sam, di lingkungan MTG strategi ini biasa disebut “East Meet West”, yaitu mengambil yang terbaik dari dunia Timur yaitu kekayaan hayati dan kearifan lokal; dan mengambil yang terbaik dari dunia Barat yaitu teknologi dan manajemen.
Consumer 3000
Hari Jumat lalu (11/1) saya ketemu dan ngobrol gayeng dengan mbak Petty Fatimah, pemimpin redaksi majalah Femina di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta. Banyak hal kita obrolkan, namun yang menarik adalah ngobrolin bagaimana Femina bertransformasi dan membangun strategi untuk merespons dua biggest challenges yang dihadapinya.
Pertama adalah serangan bertubi-tubi dari pesaing global yang sejak beberapa tahun terakhir tiba-tiba begitu agresif menyerbu Tanah Air. Seperti kita tahu, 5-10 tahun terakhir majalah-majalah wanita global seperti koor tiba-tiba berebutan masuk ke Indonesia dengan menawarkan konten bernuansa global woman lifestyle. Kedua, serangan “tsunami digital” yang secara disruptive menyapu seluruh print media tanpa pandang bulu. Terakhir kita mendengar kabar mengejutkan, Newsweek yang sudah beredar 80 tahun akhirnya keok juga.
Consumer 3000 (#c3000) adalah sebutan saya untuk konsumen kelas menengah Indonesia, sementara entrepreneur 3000 (#e3000) adalah sebutan saya untuk wirausahawan kita yang berasal dari kalangan kelas menengah. Kenapa entrepreneur 3000? Ya, karena pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa di Indonesia (jumlahnya mencapai 8-9 juta kelas menengah baru per tahun) berpotensi memicu gelombang tumbuhnya wirausaha yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, kelas menengah merupakan sumber potensial bagi terbentuknya kelompok wirausahawan (pool of entrepreneurs) yang sangat strategis bagi perekonomian Indonesia. Pertama, karena kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang berpengetahuan (kowledgeable) dan punya potensi inovasi dan kreativitas amat tinggi (Richard Florida menyebutnya “creative class”). Kedua, mereka memiliki kemampuan pemupukan modal yang baik karena memiliki cukup duit menganggur (discretionary income). Ketiga, mereka juga kelompok masyarakat yang paling melek teknologi, terutama ICT (information & telecommunication technology).
Dulu waktu saya masih tinggal di kampung, tahun baru adalah hal biasa. Pergantian tahun lewat begitu saja tanpa kembang api memecah-mecah langit, tanpa perayaan glamor di mal-mal, tanpa selebrasi di kafe-kafe atau hotel-hotel berbintang, tanpa konser musik semalaman, tanpa ada “hitung mundur” yang mendebarkan.
Dulu pergantian tahun meluncur mulus dengan kekhusukan, kesederhanaan, dan refleksi penuh makna. Kini tahun baru begitu bersinar, begitu penuh dengan perayaan, begitu penuh dengan glamor dan kehedonisan. Dulu penuh kekhidmatan, kini penuh dengan hingar-bingar. Dulu penuh kepolosan, kini penuh dengan kosmetik.
Wajar saja, karena dulu waktu di kampung saya masih pusing tujuh keliling bergumul dengan urusan perut. Kini, ketika urusan perut sudah terlewati, kebutuhan dan tuntutan kita akan tahun baru menjadi kian sophisticated. Tahun baru yang dulu kita lewati dengan begitu enteng dan sederhana sekarang menjadi begitu kompleks dan neko-neko.
Bagaimana kita semua kini merayakan tahun baru? Saya akan mencoba memberikan laporan pandangan mata langsung dari TeeKaaaPeeee…!!!
Saya menyebutnya “early AM market”. Idenya dari judul lagu jazz fusion favorit saya di tahun 1980-an “Early AM Attitude” besutan duo musisi jazz kondang Dave Grusin dan Lee Ritenour. AM sendiri singkatan dari “ante meridiem” yaitu rentang waktu antara jam 12 malam hingga jam 12 siang. Jadi “early AM” adalah rentang waktu di sekitar pukul 12 tengah malam hingga 3 dini hari.
Saya menamainya “early AM market” untuk menyebut peluang pasar luar biasa yang muncul di rentang waktu tengah malam hingga dini hari. Peluang pasar ini mendadak-sontak marak luar biasa tiga tahun terakhir seiring dengan tumbuh pesatnya konsumen kelas menengah (“Consumer 3000”) di Indonesia. Maraknya pasar baru inilah yang membuat pemain seperti 7-Eleven (“Sevel”) mencapai sukses luar biasa, layanan Indomaret 24 jam begitu mencorong, atau McCafe begitu digandrungi anak muda.
Hari jumat kemarin (30/11) saya punya kesempatan ngobrol dengan pak Redesmon Munir, Overseas Marketing Manager, Pertamina Pelumas di gedung Oil Center, Jl. Thamrin. Banyak hal kita obrolkan, tapi yang paling seru adalah cerita bagaimana Pertamina Pelumas masuk pasar luar negeri. Surprise juga, ternyata kini produk Pertamina Pelumas seperti Fastron, Mesran, atau Prima XP sudah merambah 23 negara dari Australia hingga Afrika Selatan; dari Pakistan hingga Swiss.
Ujar pak Redes, kiprah ekspansi Pertamina Pelumas ke pasar global bisa dibilang belum lama, sekitar 5 tahun terakhir. Awalnnya, Pertamina Pelumas menggandeng SK Lubricants dari Korsel melalui co-branding, ya karena waktu itu awam sama sekali tidak memiliki pengalaman dan jaringan di pasar luar negeri. Namun setelah menggali pelajaran dari si mitra selama sekitar 2 tahun akhirnya ia mulai pede untuk memasarkan produknya ke negara-negara sasaran lain. Fastron misalnya, kini sudah ada di beberapa supermarket di Jepang atau ada di bengkel-bengkel tertentu di Australia.
Di Indonesia saat ini kita sedang dilanda uforia mengenai kelas menengah. Banyak kalangan (presiden, menteri, politisi, pakar, mahasiswa) bicara mengenai kelas menengah Indonesia yang tumbuh luar biasa. Kemajuan apapun sekarang dikaitkan dengan kelas menengah: Starbucks dan 7-Eleven boom dikaitkan dengan kelas menengah; Indonesia menjadi negara terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030 dikaitkan dengan kelas menengah; jalanan macet dikaitkan dengan kelas menengah; termasuk narkoba dan korupsi marak dikaitkan dengan tumbuhnya kelas menengah.
Ada dua megatrend yang terjadi dalam perekonomian Indonesia yang membuat saya berbunga-bunga. Kebetulan kedua megatrend tersebut tonggaknya terjadi di tahun 2010. Pertama adalah revolusi kelas menengah yang dimulai sejak tahun 2010 seiring terlampauinya pendapatan perkapita kita USD3000 pertahun. Kedua adalah adanya fenomena bonus demografi (demographic bonus) yang terjadi karena membengkaknya jumlah penduduk produktif yang berpotensi menjadi engine of growth bagi perekonomian kita.
Saya sering menggambarkan Indonesia saat ini sebagai “gadis molek” yang dilirik oleh investor dan perusahaan manapun di seluruh dunia. Jumlah penduduk yang besar, pendapatan perkapita yang telah menembus angka ambang US$3000, dan basis konsumen kelas menengah (consumer 3000) yang siknifikan, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang atraktif bagi perusahaan-perusahaan global dari manapun di seluruh dunia.
Tak heran jika rating Indonesia oleh lembaga-lempaga pemeringkat bergengsi seperti S&P, Moody’s atau Fitch naik secara meyakinkan dalam setahun terakhir ke level investment grade. Kinerja ekonomi yang menyakinkan akan menjadikan Indonesia sebagai “save heaven country” yang akan mendorong investor asing (sektor keuangan maupun investasi asing langsung) mengalir deras ke tanah air.
Kondisi ini menjadi momentum luar biasa bagi merek-merek global untuk masuk dan semakin mengukuhkan dominasinya di pasar Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana merek-merek lokal bertahan dan membangun daya saing menghadapi gempuran merek-merek global tersebut?
4 Pilihan Strategi
Saya mencoba membuat sebuah model sederhana yang menggambarkan posisi dan langkah-langkah yang bisa ditempuh merek lokal dalam menghadapi merek global di pasar domestik Indonesia. Langkah tersebut digambarkan dalam bentuk sebuah matriks 2×2 seperti terlihat pada gambar.
Matriks ini tersusun dari dua parameter yang terwakili oleh sumbu vertikal dan horisontal. Parameter pertama (di sumbu vertikal) mencerminkan tingkat kepemilikan terhadap keunggulan lokal (local advantages). Local advantages ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti: pengetahuan mendalam terhadap pasar lokal; kompetensi lokal yang unik; pemahaman terhadap karakteristik budaya lokal; relasi bisnis yang unik dengan partner lokal; dan sebagainya. Di sini merek lokal dapat kita petakan menjadi dua jenis yaitu pemain dengan keunggulan lokal yang tinggi (high local advantage) dan rendah (low local advantage).
Parameter kedua (di sumbu horisontal) mencerminkan kemampuan merek lokal dalam mencapai kapasitas (di bidang manajemen, keuangan, teknologi, dll.) yang setara dengan perusahaan global (biasa disebut “global best practice”). Merek lokal yang sudah memiliki kapasitas global best practice tinggi, artinya mereka sudah memiliki modal dan teknologi yang menyamai merek global atau menjalankan praktek manajemen modern seperti menerapkan Balanced Socrecard, pengelolaan SDM berbasis kompetensi (competency-based HRM), atau mengadopsi modern brand management dalam pengelolaan produk.
Dengan mengacu matriks tersebut maka kita dapat memetakan empat jenis merek lokal berikut strategi generik yang harus mereka kembangkan dalam menghadapi merek global di pasar domestik. Coba kita lihat satu-persatu.
Die-Hard Flanker adalah merek lokal yang tidak memiliki local advantage maupun kemampuan mencapai global best practices yang kokoh. Merek lokal di posisi ini umumnya dikelola secara tradisional dan produknya tidak memiliki keunikan lokal. Karena itu mereka dihadapkan pada pilihan pelik untuk menyingkir (flank) dalam menghadapi merek global dan mencari niche market di mana ia masih bisa menguasainya. Jadi, merek lokal di posisi ini harus membangun keunggulan di pasar-pasar yang diabaikan oleh merek-merek global.
Local Challenger adalah merek lokal yang memiliki keunikan lokal tapi masih dikelola secara tradisional sehingga tidak mampu menyamai merek global dalam hal manajemen, teknologi, keuangan, dll. Pemain lokal seperti Martha Tilaar, Hotel Santika, Batik Keris, Viva, Pegadaian, Khong Guan, dll. ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah membangun keunggulan bersaing melalui keunggulan lokal yang dimilikinya. Martha Tilaar misalnya, membangun keunggulan lokal melawan raksasa kosmetik global dengan mengembangkan produk yang berbasis kekayaan alam dan budaya (local wisdom) Indonesia.
Global Chaser adalah pemain lokal yang by-default tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas manajemen, teknologi, dan keuangan sejajar dengan merek-merek global. Pemain-pemain lokal seperti Polygon, Polytron, Telkom, Pertamina Pelumas, Biofarma, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global. Global chasers seperti Biofarma, Polygon, atau Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika.
National Champion adalah pemain yang memiliki keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best practices. Pemain-pemain lokal seperti Garuda Indonesia, BRI, Sosro, BCA, Indomaret, Alfamart, Indofood, atau Garuda Food ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation. Garuda Indonesia misalnya, membangun local differentiation dengan menggunakan identitas Indonesia dalam strategi branding-nya. Garuda Indonesia juga mengembangkan “Indonesia experience” dalam inflight services-nya melalui sight, sound, scent, taste, touch yang bernuansa kekayaan budaya Indonesia.
Merek Anda masuk di posisi mana? So, kini Anda tahu apa yang harus dilakukan!
Bib.. bib..bib.. Twitter saya meraung-raung. Seorang teman @hudaFirm memberikan mention begini bunyinya: “Jakarta Dibanjiri 5 Konser di Akhir Pekan, Mana Pilihan Anda? http://de.tk/3gSj2 via @detikhot.” Saya coba klik link-nya sampailah saya ke laman Detikhot. Dan betul, rupanya minggu ini, seperti halnya minggu-minggu sebelumnya, kita kebanjiran artis asing manggung di Jakarta.
Di Tennis Indoor Senayan ada artis Kpop Wonder Girls yang sedang moncer. Di MEIS Ancol ada jumpa fans Personil JYJ Kim Jaejong yang imut. Di Gandaria City ada supergrup rock asal Paman Sam, Creed. Sementara di Mal Taman Anggrek, aktor Kpop Lee Seung Gi menggelar jumpa fans. Semuanya digelar bareng hari Sabtu-Minggu ini.