Mengapa lockdown, apapun bentuk variasinya, tidak menjadi opsi penanganan wabah Covid-19?
Sudah banyak argumentasi dikemukakan untuk menolak opsi lockdown di tengah korban terinfeksi/meninggal yang terus melonjak. Namun saya mencoba melihatnya dari perspektif yang lain yaitu psikologi kognitif (cognitive psychology) dan ekonomi perilaku (behavioral economics).
Keputusan presiden dan orang-orang kepercayaan yang mengelilingi dan memengaruhi keputusannya mengandung apa yang disebut bias kognitif (cognitive bias).
Bias kognitif adalah kesalahan sistematis dalam berpikir yang pada gilirannya menimbulkan kesalahan memberikan pertimbangan dan keblunderan dalam mengambil keputusan.
Singkatnya, blunder penalaran yang berakibat pada blunder dalam mengambil pertimbangan, dan pada akhirnya menimbulkan blunder dalam mengambil keputusan.
Setidaknya ada tiga bias kognitif yang mengiringi keputusan presiden untuk tidak melakukan lockdown.
Bias “Katak Direbus”
Bias pertama adalah creeping normality atau kita mungkin lebih mengenalnya dengan cerita klasik “katak direbus“.
Kalau kita meletakkan katak ke dalam panci berisi air dan kemudian memanaskannya pelan-pelan, maka kodok tersebut tak akan sadar hingga akhirnya mati oleh air yang mendidih. Kenyataannya memang tidak begitu, namun cerita “kodok direbus” itu pas menggambarkan bias creep normality.
Intinya, perubahan besar seperti musibah dahsyat virus Covid-19 cenderung kita terima jika dampaknya terasa kecil, pelan-pelan, dan inkremental. Sebaliknya kita cenderung menolaknya jika dampaknya seketika, ekstrim, dan dahsyat. Walaupun, seperti dialami si kodok, keduanya menghasilkan dampak akhir yang sama-sama dahsyatnya.
Baca juga: Stay @ Home Economy
Dalam kasus wabah Covid-19, kita semua sadar bahwa pada akhirnya, dampak dahsyat yang bakal kita alami akan sama atau bahkan lebih buruk dari apa yang sudah terjadi Cina, Italia, Spanyol, atau Amerika Serikat.
Namun kita tak mau menanggung dampak dahsyat itu sekarang. Kita lebih suka mengulur-ulur waktu agar mimpi buruk yang terjadi di Cina atau Italia itu bisa kita tunda sampai 3 atau 6 bulan ke depan. Itu sebabnya kita memutuskan tidak melakukan lockdown.
Tapi keputusan ini blunder. Penanganan wabah seperti Covid-19 yang penyebarannya bersifat eksponensial adalah masalah kecepatan. Keterlambatan melokalisir penyebaran secara nasional melalui lockdown akan menuai risiko buruk yang jauh lebih dahsyat.
Risiko dahsyat inilah yang menimpa Amerika Serikat saat ini. Beberapa hari lalu Bill Gates berteriak memaksa Pemerintah Trump untuk melakukan total shutdown secara nasional selama 6-10 minggu untuk menghentikan penyebaran wabah yang bergerak eksponensial.
Namun nasi sudah menjadi bubur, virus sudah terlanjur menggila, karena selama 3 minggu terakhir Trump mengulur-ulur waktu dan menyepelekannya.
Dalam argumentasi menolak opsi lockdown, pemerintah Jokowi selalu mengemukakan dampak terburuk dari lockdown berupa ekonomi yang morat-marit (masyarakat terbawah tak bisa menyambung hidup, rush barang dan finansial, resesi, kelangkaan barang dan lumpuh logistik, pengangguran massal, hingga ketidak siapan jaminan sosial).
Argumentasi ini memberikan pembenaran bagi pemerintah bahwa kita tak mau menanggung risiko menyakitkan itu sekarang, kita lebih memilih mengulur waktu sambil wait and see. Namun seperti terjadi di AS, nasi sudah menjadi terlambat, kita masih terus buying time, saat wabah kian menghebat.
Saat ini kita semua seperti layaknya katak yang direbus pelan-pelan, hingga beberapa minggu ke depan katak itu sudah matang.
Bias Kenormalan
Blunder mengambil keputusan karena bias “kodok direbus” semakin ambyar karena adanya bias kedua yaitu “bias kenormalan” (normalcy bias). Ini adalah bias umum yang menjangkiti pemerintah di berbagai negara setiap kali menghadapi bencana besar, yang pada gilirannya berujung pada keputusan-keputusan yang blunder.
Bias kenormalan adalah tendensi umum kita yang selalu meyakini bahwa sebuah perubahan besar seperti bencana Covid-19 akan berjalan normal seperti sebelumnya. Karena itu kita menggampangkan keadaan dengan mengatakan “semuanya akan baik-baik saja seperti sediakala”.
Surveinya mengatakan sekitar 70% orang mengalami bias kenormalan saat menghadapi bencana (Ripley, 2005). Dan ini adalah bias kognitif yang paling berbahaya karena kita cenderung meremehkannya sampai ke titik terburuk dimana korban meninggal sudah betul-betul di depan mata dan telah mencapai angka ribuan.
Orang yang dihinggapi bias kenormalan akan cenderung memandang rendah skenario terburuk dari sebuah bencana.
Bias kenormalan adalah sumber musabab kenapa pemerintah tidak mengambil opsi lockdown dan lebih memilih opsi social distancing yang lebih moderat. Ya, karena lockdown jelas menciptakan situasi yang mengejutkan, luar biasa, lebih menyakitkan, lebih dramatis, dan jauh dari kenormalan. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa “semuanya baik-baik saja” dengan selalu mengatakan bahwa kondisinya masih terkendali.
Blunder terbaru adalah keputusan pemerintah yang masih memperbolehkan masyarakat mudik lebaran di tengah wabah yang menghebat. Keputusan yang terkesan irasional ini diambil karena pemerintah tak ingin “kenormalan” yang sudah berlangsung puluhan tahun yaitu tradisi mudik menjadi terusik oleh wabah Covid-19. Melarang mudik akan berarti menciptakan kondisi extraordinary yang jauh dari kenormalan.
Itulah sebabnya bias kenormalan sering disebut kelumpuhan berpikir (“analysis paralysis“) karena untuk menjaga sesuatu berjalan normal seperti sediakala seseorang bisa kehilangan daya nalarnya dan menghasilkan keputusan yang irasional.
Kenapa pemerintah begitu takut melakukan lockdown adalah karena ia terhinggapi analysis paralysis ini.
Endowment Effect
Bias kognitif ketiga terkait pergulatan memilih 2 opsi: “ekonomi vs nyawa“.
Yaitu opsi pertama, menyelamatkan ekonomi dengan tidak menerapkan lockdown. Dan opsi kedua, menyelamatkan korban nyawa manusia dengan menerapkan lockdown.
Persaingan dua opsi ini sekilas terlihat irasional. Ya, karena dengan menggunakan logika akal sehat sederhana saja, siapapun akan memilih opsi yang kedua.
Namun tidak demikian yang terjadi pada pemerintah. Pemerintah justru memilih opsi pertama. Kenapa begitu? Alasannya ada dua.
Pertama, karena faktor bias normalitas di atas, yaitu belum bisa membayangkan seserius apa wabah ini bakal memakan korban nyawa manusia di kemudian hari, sehingga ia cenderung menggampangkannya.
Kedua, karena endowment effect. Endowment effect adalah keblunderan proses berpikir yang dikarenakan kita menilai terlalu tinggi apa-apa yang sudah kita miliki sehingga kita begitu berat melepasnya.
Pemerintah sangat berat mengambil opsi lockdown karena ia beranggapan prestasi kinerja ekonomi yang telah diukirnya selama lima tahun sebelumnya akan lenyap dalam sekejab begitu lockdown diberlakukan.
Pemerintah dihantui ketakutan bahwa prestasi selama lima tahun pertama pemerintahan (pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, inflasi terkendali, stabilitas moneter, dan terakhir bahkan kita sudah dimasukkan dalam jajaran kelompok negara maju), dalam ukuran hari akan musnah berkeping-keping jika lockdown diberlakukan.
Ini tentu saja akan menjadi aib tak termaafkan bagi keseluruhan kepemimpinan pemerintahan Jokowi sampai akhir periode kedua nanti.
Ekonomi vs Nyawa
Pergulatan memilih opsi “ekonomi vs nyawa” di awal-awal ketika wabah belum menggila memang “dimenangkan” opsi ekonomi (tidak lockdown). Namun seiring dengan kian banyaknya korban berjatuhan, pendulum pun kian mengayun ke arah opsi nyawa (terpaksa lockdown).
Namun celaka, kita terlalu banyak buying time, dan akhirnya semua sudah terlambat, wabah sudah terlanjur menjalar eksponensial dan menjangkiti semua provinsi secara merata.
Itulah substansi peringatan keras Bill Gates kepada pemerintahan Trump minggu lalu untuk melakukan total shutdown nasional. Namun celaka, semuanya sudah terlambat dan biaya yang harus dibayar demikian mahal berupa ribuan korban nyawa manusia.
Kalau kita mau refleksi diri sedikit, sesungguhnya teriakan Bill Gates untuk melakukan shutdown kepada pemerintahan Trump adalah juga teriakan kepada kita di tanah air.
Jangan sampai keblunderan nalar akibat bias kognitif terus menghantui pemerintah dan kita semua, karena keblunderan keputusan yang dihasilkannya akan menuai risiko yang amat besar dimana 270 juta nyawa rakyat Indonesia dipertaruhkan.