Yang saya sebut “disrupted brand” adalah brand-brand (umumnya incumbent brand) yang telah menjadi korban disrupsi oleh brand-brand lain (umumnya new, digital brand) sehingga value proposition dari brand tersebut tidak relevan lagi atau kalah ampuh dibanding brand yang mendisrupsinya.
Nokia adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain seperti Apple dan Samsung. Blue Bird adalah disrupted brand yang didisrupsi Grab atau Uber. Matahari dan Ramayana adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain-pemain e-commerce seperti Zalora atau Berrybenka. Disc Tarra adalah disrupted brand yang didisrupsi oleh pemain digital seperti iTunes atau Rhapsody. GM atau Ford adalah disrupted brand yang didisrupsi pemain baru seperti Tesla (mobil listrik) atau Google (mobil otonom).
Di mata konsumen, disrupted brand dianggap sebagai “the loser brand” karena value hebat yang mereka deliver selama bertahun-tahun (bahkan puluhan tahun) sebelumnya, kini dikalahkan oleh value yang jauh lebih habat yang dihasilkan oleh pemain-pemain digital baru. Namanya juga “the loser”, secara image dan persepsi mereka berada di posisi yang nggak mengenakkan.
Di mata konsumen, disrupted brand secara umum dianggap sebagai brand yang “declining”, “menua”, “ketinggalan jaman”, “blunder”, “irrelevant”, “lelet berubah”, “nggak cool”, dan segudang atribut negatif lain. Itulah “stempel” yang diberikan konsumen kepada mereka. Padahal belum tentu mereka begitu. Masih banyak disrupted brand yang perkasa dan bahkan masih menguasai pasar. Kalau ngomong aura, maka disrupted brand ini berada di posisi “aura negatif”.
Karena aura dan sentimennya negatif, maka sehebat apapun disrupted brand mencapai prestasi, konsumen tetap nyinyir dan memandang sebelah mata. Artinya, di mata konsumen kredibilitas mereka sudah jatuh.
Liability, Bukan Asset
Salah satu elemen ekuitas merek (brand equity) dalam teori branding adalah apa yang disebut brand association. Yaitu asosiasi atau persepsi yang ditangkap di benak konsumen. Lux memiliki brand association yang kuat sebagai “sabun kecantikan”. Sementara Lifebouy memilki brand association yang kuat sebagai “sabun kesehatan”. Toyota Kijang dan Avanza memiliki brand asosiasi yang kuat sebagai “mobil keluarga Indonesia”.
Nah celakanya, dalam konteks disrupted brand, brand association yang kuat itu bukannya hal-hal yang positif tapi negatif seperti: declining, irrelevant, ketinggalan jaman, lelet berubah, dan lain-lain. Jadi “stempel” jelek dari disrupted brand di atas membentuk brand association mereka yang kurang menguntungkan. Kalau sudah begini maka brand association yang mereka dapatkan bukannya menjadi asset, tapi justu sebaliknya liability.
Karena berada di posisi yang tidak menguntungkan, maka disrupted brand harus cepat move on. Mereka harus shifting quadrant untuk mendapatkan posisi baru yang lebih baik dan berasosiasi positif. Caranya gimana? Caranya adalah melakukan repositioning dan rebranding.
Karena itu di era gonjang-ganjing disrupsi saat ini, saya meramalkan bakal kian banyak brand-brand besar yang melakukan repositioning dan rebranding agar mereka tetap relevan dan bisa survive menghadapi dunia yang baru (“the new normal”). Tanpa langkah strategis ini, pelan tapi pasti, brand mereka akan habis ditelan jaman.
Move On Strategy
Lalu strategi apa saja yang harus dilakukan oleh disrupted brand untuk bisa move on? Secara umum ada tiga opsi yang bisa mereka ambil: aliansi, transformasi, merusak diri sendiri (self-disruption).
Aliansi, yaitu menggandeng disruptor brand agar dampak buruk “stempel” sebagai disrupted brand yang sudah terlanjur melekat bisa dinetralisir dan dikurangi. Ini adalah cara paling mudah dan paling aman untuk menyelamatkan kapal yang mau karam. Strategi ini dilakukan oleh Blue Bird yang menggandeng Go-jek, sang disruptor, dengan meluncurkan layanan baru: Go Blue Bird. Dengan merangkul disruptor, maka asosiasi positif dari disruptor brand akan berimbas baik ke disrupted brand.
Transformasi, yaitu melakukan perubahan besar-besaran untuk menjadi digital company (dico). Artinya disruptor brand melakukan transformasi mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh si disruptor. Matahari melakukan strategi ini dengan meluncurkan ritel versi online yaitu Mataharimall.com. Telkom melakukan strategi yang sama dengan melakukan transformasi besar-besaran untuk menjadi dico dengan menarget area-area bisnis baru yaitu TIMES: telecommunication, information, media, edutainment, dan services.
Self-disruption, yaitu cara yang paling ekstrim dan paling berisiko, dengan cara mendisrupsi diri sendiri. Prinsip dari strategi ini adalah: “daripada didisrupsi pemain lain, lebih baik didisrupsi oleh diri sendiri”. Contoh paling inspiratif dari strategi ini adalah Netflix. Perjalanan bisnis Netflix sangat heroik karena berulangkali ia “merusak dirinya sendiri”. Di awali dengan bisnis penyewaan DVD (fisik), Netflix merusaknya dengan meluncurkan layanan DVD streaming, lalu kini ia merusaknya lagi dengan meluncurkan layanan content creation melalui Netflix Originals.
Kalau Anda adalah incumbent brand, berhati-hatilah, karena sewaktu-waktu disrupsi akan bergentayangan siap-siap memangsa Anda. Kalau memang disrupsi tak bisa dihindari maka lakukanlah aliansi, transformasi, atau disrupsi diri sendiri. Disrupted brand… no way!!!
Sumber gambar: innovativedisruption.com