Beberapa minggu lalu saya bertemu dengan teman-teman dari Divisi CSR (Corporate Social Responsibility) Bank BCA, di bawah payung Program Bakti BCA dan para aktivis komunitas. Ada mas Sapto Rachmadi Kepala Divisi CSR BCA, mas @kemalgani, @handokoH, @dididiarsa, @hastjarjobw, @eritasantosa, dan lain-lain. Kita ngobrol santai mengenai program pemberdayaan desa untuk menjadikan desa sebagai pusat kegiatan ekonomi yang menarik sehingga warganya tidak kepincut pindah ke kota.
Kebetulan sejak beberapa tahun terakhir Divisi CSR BCA melakukan pendampingan di desa wisata Goa Pindul Gunung Kidul sehingga menjadi kasus menarik untuk kita obrolkan. Goa Pindul merupakan magnet bagi wisatawan karena goa ini memiliki dasar berupa sungai dan mengandung stalagtit terbesar keempat di dunia. Ekonomi desa ini bergairah sejak beberapa tahun terakhir karena pengembangan paket wisata susur gua (cavetubing) yang dikembangkan oleh warga desa. BCA mendampingi para entrepreneur desa untuk mengembangkan usaha operator cavetubing.
Entrepreneur Desa
Dalam diskusi tersebut kami mencapai kesimpulan bulat bahwa kunci keberhasilan pemberdayaan desa adalah peran aktif entrepreneur desa yang menjadi driver aktivitas ekonomi produktif di desa. Mereka memainkan peran sebagai leader yang menggerakkan masyarakat desa untuk mengembangkan aktivitas ekonomi mandiri di desa. “Kuncinya adalah SDM yang menjadi penggerak di desa,” ujar mas Sapto Rachmadi.
Banyak program CSR perusahaan besar lupa hal ini. Kebanyakan program mereka hanya memberikan bantuan modal, peralatan, infrastruktur, pelatihan, atau pendampingan tanpa memikirkan bagaimana keberlanjutannya. Setelah modal, peralatan, infrastruktur diadakan dan setelah pelatihan/pendampingan diberikan, umumnya kegiatan ekonomi produktif di desa berlangsung sebentar untuk kemudian lenyap dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.
Sebabnya itu tadi, tidak ada leader yang menggerakkan masyarakat desa untuk melakukan aktivitas ekonomi produktif. Program CSR perusahaan harusnya tak hanya sebatas menyediakan modal, peralatan, dan pelatihan. Tapi justru yang terpenting “menanam” entrepreneur yang berasal dari penduduk desa setempat dan berfungsi sebagai driver bagi penduduk desa untuk mengembangkan ekonomi produktif. Jadi village entrepreneurship adalah jantung dari segala upaya pemberdayaan ekonomi desa.
Biopreneur
Minggu depan, tepatnya Kamis 15 Oktober, saya dan Pak Iskandar, Dirut Bio Farma berencana meluncurkan sebuah buku berjudul Life Science for a Better Life. Salah satu poin penting yang kami majukan dalam buku tersebut adalah perlunya Indonesia “go to basic” untuk mengolah sumberdaya hayati menjadi bioproduk, bioindustri, dan bioekonomi. Kenapa begitu? Karena kita memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa baik tanah, tumbuhan, maupun hewan.
Kami katakan di dalam buku tersebut, Indonesia akan menjadi negara besar bukan karena industri otomotif, kimia, informatika, atau dirgantara, tapi industri berbasis hayati seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hingga energi terbarukan. Nah, selaras dengan kesimpulan diskusi di atas, pemain sentral di balik ide bioproduk, bioindustri, dan bioekonomi itu adalah para entrepreneur yang bergerak di sektor-sektor hayati. Istilah saya adalah biopreneur. Para biopreneur inilah yang nantinya mengubah kekayaan keanekaragaman hayati kita menjadi bioproduk yang memiliki daya saing kokoh di pasar lokal maupun global.
Harus diingat kita punya kekayaan hayati yang luar biasa. Bicara ternak, kita punya sapi Pasundan, sapi Bali, kambing Gembrong, atau domba Garut. Bicara buah kita punya manggis, durian, hingga salak pondoh. Bicara kopi, kita punya kopi Gayo, Toraja, Mandailing, Kintamani, atau kopi Wamena. Kalau kekayaan hayati itu bisa disulap menjadi produk bernilai tinggi oleh para biopreneurs, maka Indonesia akan menjadi raksasa bioproduk yang kokoh di pasar global.
Dengan punya keunggulan bioproduk maka, pertama, kita tak perlu lagi tergantung pada impor daging sapi, beras, kedelai, cabe, buah, atau garam. Kedua, bahkan kita bisa mengekspor bioproduk unggul mulai dari sapi, domba, beras, kedelai, kopi, atau buah ke pasar regional dan global. Bioproduk harusnya menjadi senjata ampuh untuk menarik devisa sekaligus memperkokoh benteng rupiah melawan mata uang kuat dunia.
Pemerataan + Kemandirian
Akan menjadi sangat indah, jika para biopreneur itu adanya di desa bukan di kota. Para biopreneur desa (yang umumnya adalah anggota kelompok-kelompok tani) bisa mengembangkan bioproduk yang menjadi potensi masing-masing desanya. Kalau ini bisa dilaksanakan secara massif di seluruh penjuru tanah air maka akan begitu banyak desa yang menghasilkan produk-produk unggulan yang memiliki daya saing kokoh di pasar. Kalau sudah begitu harusnya ide “One Village, One Bioproduct” bisa dikembangkan di Indonesia.
Ketika masyarakat bawah seperti petani, nelayan, atau peternak bisa mengembangkan produk unggulan desa, maka ini akan menjadi jembatan terwujudnya pemerataan pembangunan. Artinya, manfaat dari pengembangan bioproduk, bioindustri dan bioekonomi di Indonesia tak hanya dirasakan oleh pelaku ekonomi besar tapi juga menengah dan kecil. Saya justru melihat, kekuatan ekonomi Indonesia nantinya justru ditopang oleh kekuatan para biopreneurs di tingkat desa yang jumlahnya sangat besar. Ketika hal ini terwujud saya yakin Indonesia betul-betul akan menjadi negara besar yang mandiri dan disegani di dunia.
Kamis, 15 Oktober 2015, 08.39 – 12.00 wib, @ Kembang Goela, Jl. Sudirman Kav. 50, Jakarta. Pembicara: Iskandar, Prof. Dr. Bambang Purwantara (IPB), RM Karliansyah (KLH), Yuswohady (Moderator).