Pilkada DKI putaran pertama telah lewat. Bagi saya yang menekuni bidang marketing, kemenangan Jokowi-Ahok menyimpan sebuah pelajaran berharga yang bisa kita pakai untuk berkaca. Sejak ajang pemilihan kepala negara, legislatif, dan daerah tersulap menjadi sebuah industri yang bergelimang rupiah, marketing capres/caleg/cagub-bup kepada para stakeholders-nya dimaknai secara sempit sebagai proses pencitraan (image building).
Celakanya, proses pencitraan sendiri di dunia politik telah mengalami pemerkosaan dan pembusukan. Begitu mendengar “pencitraan” maka yang keluar di benak adalah pemolesan, pembedakan, atau penggincuan. Dari caleg koruptor di mata publik dipoles menjadi malaikat. Dari capres yang aktivitas bisnisnya menyengsarakan rakyat dibedaki tebal dengan aktivitas social responsibility yang meneduhkan. Dari cagub pemarah dan suka tersingung diberi gincu merah-merona menjadi sosok murah senyum dan penyabar. Dengan pencitraan, semua bisa diperoleh secara instan asal ada duit. Kalau sudah begitu lalu marketing disalahartikan sebagai pembohongan publik.