Minggu lalu saya dan tim di Inventure menyelesaikan program pilot yang akan menjadi cikal bakal pembentukan para marketer hebat di PLN. Nama programnya Key Account Marketing (KAM) yang diinisiasi sejak sekitar enam bulan lalu. KAM adalah semacam “tim Kopassus” yang akan diterjunkan untuk menggarap pelanggan korporasi dan industri besar (big atau key account).
Seperti di bidang lain, di dunia marketing-sales berlaku hukum Pareto dimana 20% konsumen (secara jumlah) menghasilkan 80% omset atau profit perusahaan. Begitupun di PLN, 20% pelanggannya merupakan perusahaan-perusahaan besar berbagai industri (manufakur, kawasan industri, mal, bandara, dll.) yang memiliki kontribusi omset/profit yang sangat siknifikan.
Mereka adalah pelanggan-pelanggan yang tak hanya mengonsumsi listrik sangat besar tiap bulannya, tapi juga sangat demanding. Banyak dari mereka menempatkan keandalan pasokan listrik dan pelayanan/solusi sebagai pertimbangan utama dalam memilih vendor, bahkan mengalahkan faktor harga. Terkait dengan kedip tegangan (voltage dip) misalnya, mereka menuntut batas kedip tertentu, karena kalau tidak, mesin-mesin presisi mereka akan rusak.
Nah, jenis pelanggan demanding semacam ini tak mungkin dilayani dengan layanan standar. Ia harus dilayani dengan layanan customized dan premium yang betul-betul memberikan total solution. Layanan spesial inilah yang harus diberikan oleh tim KAM tadi.
Jadi harus dilakukan pembedaan layanan. 20% pelanggan yang memberikan kontribusi omset/profit terbesar harus diberi layanan premium (total solution), sementara 80% pelanggan berkontribusi kecil cukup dilayani standar.
Pertanyaannya, kenapa PLN harus repot-repot membentuk pasukan elit marketer untuk menggarap pasar KAM, kan PLN monopoli? Nah inilah yang nggak banyak kita tahu.
Era Kompetisi
Siapa bilang PLN monopoli. Kini PLN mendapatkan ancaman pesaing dari independent power producer (IPP) dan perusahaan-perusahaan yang membangun layanan listrik sendiri (captive power) secara mandiri.
Adanya captive power ini dimungkinkan dengan adanya deregulasi layanan listrik segmen korporat atau industri melalui Undang-Undang No. 30 Th 2009 Tentang Ketenagalistrikan. UU ini memberikan kesempatan bagi swasta untuk menyediakan pasokan listrik sendiri. Akibatnya, kompetisi pasar listrik kini menjadi terbuka dan sangat kompetitif.
Di segmen industri ini, kompetisi juga kian dirasakan dari perusahaan energi lain seperti Perusahaan Gas Negara (PGN). Beberapa tahun terakhir PGN agresif memasok kebutuhan energi industri nasional melalui pengembangan jaringan gas yang kian massif di seluruh pelosok tanah air.
Secara garis besar, pelanggan PLN bisa dibagi menjadi dua yaitu segmen konsumer yaitu rumah tangga dan segmen pelanggan korporat. Sebagai perusahaan plat merah di Tanah Air, PLN memiliki tugas utama untuk memenuhi pelayanan publik (public service obligation) dengan memastikan penyediaan listrik rumah tangga. Segmen rumah tangga ini memiliki jumlah pelanggan yang sangat besar, tetapi tidak bisa diandalkan menjadi profit driver.
Di segmen rumah tangga memang PLN menjadi pemain tunggal. Namun di segmen korporat, persaingannya kini mulai berdarah-darah. Nah, di tengah era persaingan inilah pembentukan KAM menjadi krusial agar pasar PLN tidak digerogoti satu-persatu oleh pesaing-pesaing baru yang lebih agresif, agile, dan entrepreneurial.
KAM juga menjadi penting karena, tak seperti dulu, kini di berbagai area operasi PLN mengalami kelebihan pasok listrik. “Kalau kelebihan listrik itu tidak bisa dijual, maka operasi kami sangat tidak efisien karena argo biaya produksinya jalan terus,” ujar Pak Muhamad Ali, Direktur Human Capital Management yang menjadi penggagas program KAM.
Perubahan Budaya
Melalui KAM setiap insan marketer PLN harus memiliki spirit entrepreneurial, berjiwa penjual, dan berkarakter pelayanan agar bisa menggarap pelanggan korporat yang sangat kritis dan demanding. Jadi esensi program KAM sesungguhnya adalah melakukan transformasi dan perubahan budaya (corporate DNA) dari budaya monopoli menjadi budaya kompetisi. Dari “monopoly-driven culture” menjadi “market-driven culture”.
Dari mentalitas “jaga gawang” alias pasif didatangi pelanggan, menjadi mentalitas “jemput bola” atau proaktif merespons setiap kebutuhan pelanggan. Karena itu salah satu program KAM adalah melakukan probing atau customer intelligence, dimana setiap key account managers diwajibkan menemu-kenali kebutuhan pelanggan dan kemudian menjadikannya sebagai dasar untuk men-deliver total solution.
Seperti dikatakan Pak Ali, pembentukan tim KAM ini bertujuan agar PLN betul-betul bisa memberikan total solution ke setiap kelanggan korporat kakap. Quick win-nya adalah agar para pelanggan korporat yang sudah terlanjur membangun listrik sendiri mulai “kembali ke jalan yang benar” dengan menyerahkan kembali pengelolaan listriknya kepada PLN.
Logikanya, pelanggan-pelanggan besar tersebut core business dan core expertise-nya bukanlah di bidang listrik. Sehingga kalau mereka mengelola sendiri penyediaan listriknya ujung-ujungnya akan lebih mahal dan tidak efisien dibanding jika dikelola oleh PLN. “Untuk urusan listrik, serahkan kepada ahlinya,” ujar Pak Ali.
Melakukan perubahan budaya di perusahaan raksasa dengan jumlah karyawan lebih dari 40 ribu orang tentu saja tidak gampang. Pak Ali berharap program KAM ini merupakan awalan bagus untuk menggulirkan transformasi menyeluruh di tubuh PLN dalam menghadapi era kompetisi.
Transformasi budaya mirip dengan mengayuh sepeda. Awalnya berat, tapi seiring makin cepatnya laju sepeda, kayuhannya menjadi kian ringan. Begitu momentum perubahan budaya mencapai titik critical mass-nya maka bisa dipastikan pelonjakkan kinerja PLN bakal tak terbendung lagi.
Sumber foto: op2mizeenergy.com