Di tengah hot-nya bursa calon menteri dalam kabinet baru, minggu ini Jokowi mengeluarkan pernyataan menarik, yaitu menteri nantinya haruslah jago marketing. Tujuannya, agar bisa memperkenalkan produk-produk Indonesia di luar negeri. “Contohnya, produk industri kreatif, apa yang kita nggak punya? seni pertunjukan tari, musik, video, film punya semuanya. Game, animasi, produk industri kreatif yang ada di kampung, bordir, tenun, perak, emas, ada semuanya,” jelasnya.
Lebih lanjut Jokowi mengatakan, “produk wisata kita dari ujung timur sampai barat, nggak ada yang ngalahin di dunia. Produknya ada, sekarang apa yang kita perlukan saat ini, memasarkan, memarketingi produk itu.. menteri yang berkaitan dengan itu harus mengerti soal marketing.” Jokowi sekaligus menegaskan, nantinya menteri marketer handal itu akan ditempatkan di kursi tertentu seperti Kementerian Pariwisata, Perdagangan, dan Koperasi UKM.
Pertanyaannya, apa itu menteri marketer? Saya punya beberapa kriteria seorang menteri dikatakan sebagai marketer hebat. Berikut ini beberapa diantaranya.
#1. Create Opportunity
Seorang menteri adalah seorang marketer kalau ia jeli melihat peluang dan kemudian mengambil peluang itu untuk diwujudkan melalui program-program yang inovatif, tak sekedar business as usual apalagi mengekor menteri sebelumnya. Untuk bisa tajam mengendus peluang ia harus banyak melihat, mendengar, dan bertemu dengan konsumennya; menyelami kebutuhan dan perilakunya; dan kemudian menemukan ide-ide program dan inisiatif untuk mengakuisisi, meretensi, dan membikin si konsumen loyal.
Karena itu saya berani mengatakan, mutlak bagi seorang menteri untuk selalu blusukan menyambangi konsumen di lapangan, tak cukup duduk manis di kantor dan sibuk dengan meeting-meeting. Tanpa terjun ke lapangan, mustahil ia punya sense yang tajam mengenai kebutuhan dan perilaku konsumen. Dengan nyebur dan bergumul langsung dengan konsumen, maka kita akan mendapatkan insight-insight berharga untuk menggarapnya.
Pertanyaannya, siapa konsumen di sini? Kalau ia Menteri Pariwisata misalnya, maka konsumennya ada dua. Pertama, para wisatawan domestik maupun mancanegara yang harus digaet (diakuisisi, diretensi, dan dibikin loyal). Kedua, para pelaku dan stakeholder pariwisata (hotel, maskapai penerbangan, agensi travel, pengelola destinasi wisata, pelaku industri kreatif, dsb) yang harus dikembangkan daya saingnya sehingga produk dan layanan pariwisata yang mereka tawarkan memiliki daya saing lokal maupun global.
#2. Sell Idea
Setelah blusukan menggumuli konsumen dan menemukan peluang, maka si menteri harus bisa menciptakan ide-ide produk dan program yang cerdas dan kemudian menjualnya ke konsumen yang ditarget. Ia harus mampu mengemas ide produk dan program demikian atraktif sehingga mampu menarik minat si konsumen. Untuk bisa menjual ide produk dan program maka tak bisa tidak si menteri harus membangun hubungan (relationship) dengan konsumen dan memiliki jejaring (network) pasar yang solid dan massif, baik di dalam maupun di luar negeri.
Untuk gampangnya ambil contoh Menteri Koordinator Penanaman Modal. Sebagai seorang marketer ia harus mampu mengemas potensi-potensi investasi secara atraktif dan kemudian piawai menawarkan dan memasarkannya ke para investor. Untuk bisa melakukannya maka ia harus tahu persis apa kebutuhan dan perilaku dari para investor dan mampu memenuhi kebutuhan itu dan memuaskannya. Tak cukup hanya itu, ia juga harus memiliki network kalangan investor di dalam maupun di luar negeri.
#3. Build Brand
Agar produk memiliki nilai jual yang tinggi di pasar maka si menteri arus mampu mengembangkan program-program kreatif untuk menciptakan nilai tambah yang tinggi kepada produk tersebut. Proses membangun nilai tambah produk inilah yang disebut “brand-building”. Ingat, building brand adalah tugas terpenting seorang marketer, bahkan saya berani mengatakan, “mission of a marketer is building brand. It’s his reason for being”.
Ambil contoh Menteri Koperasi dan UKM. Sebagai marketer ia haruslah mampu menciptakan progrm-program kreatif untuk mendorong pelaku koperasi dan UKM menghasilkan produk-produk yang memiliki brand kuat dan berdaya saing tinggi di pasar. Hebatnya Starbucks adalah ketika ia mampu menjual kopi yang kalau tidak di apa-apakan hanya laku Rp. 3.000, tapi ketika disuntikkan nilai tambah alias telah telah mengalami proses brand building kini berharga Rp. 30.000.
Nah, seorang menteri haruslah seorang brand builder. Tak ada gunanya ia jago menjual tapi sebatas menjual kopi seharga Rp. 3000, bukannya seperti Starbucks seharga Rp. 30.000. Indonesia akan menjadi negara besar jika jutaan koperasi dan UKM yang kita miliki didorong untuk menciptakan produk yang memiliki brand kita seperti halnya Starbucks. Kalau sampai jutaan koperasi dan UKM tersebut mampu menyulap kopi, cokelat, buah-buahan, sayur-sayuran, beragam kuliner Nusantara, hingga aneka kerajinan di berbagai daerah menjadi produk bernilai tinggi dan memiliki brand kuat seperti halnya Starbucks, wow alangkah majunya negeri ini.
#3. Action, Acion, Action
Seorang menteri blusukan, mendapatkan insight-insight berharga dari konsumen, dan menghasilkan ide-ide produk dan program yang luar biasa tak akan ada gunanya kalau tidak di eksekusi secara kongkrit. Inilah ujian terakhir dari seorang marketer: mengeksekusi, mengambil risiko atas kegagalan yang mungkin terjadi, dan memecahkan seluruh persoalan yang muncul selama eksekusi. Di sinilah keberanian dan nyali sekaligus persistensi dan daya tahan seorang menteri marketer diuji.
Karena itu saya mengatakan menteri marketer adalah seorang executor, risk taker, sekaligus problem solver. Menteri marketer bukanlah sosok yang jago pidato dan meeting-meeting koordinasi melulu, tapi tak becus mengimplementasi program-program dan memecahkan semua persoalan di lapangan. Ia haruslah terampil memobilisasi sumber daya dan piawai menggerakan dan memotivasi seluruh stakeholders-nya untuk mewujudkan visi dan program yang ia canangkan.
Semoga janji Jokowi menempatkan menteri-menteri marketertak hanya sebatas pepesan kosong.