Asian Games 2018 adalah momentum eras untuk membangun Nation Branding Indonesia… Bagaimana strateginya? Berikut ini eBooknya, silahkan download di sini:
Sport Marketing
Hari ini adalah penutupan Asian Games. Sebagai bangsa kita bangga karena telah sukses menyelenggarakan event akbar empat tahunan ini. Kita juga bungah karena prestasi atlet kita mencuat mengharumkan nama bangsa.
Tak hanya itu, Asian Games 2018 betul-betul menjadi pemersatu bangsa ketika kita sejenak melupakan perbedaan kubu politik, suku, agama, golongan, demi kemenangan dan kejayaan Indonesia tercinta.
Baca juga ebook 43 halaman dan donlot: Asian Games 2018 & Nation Branding
Namun, setelah menutup “pesta kemenangan” hari ini apakah kemudian semuanya berakhir begitu saja?
Tidak! Justru di sinilah pekerjaan besar harus dimulai. Asian Games haruslah kita jadikan momentum, bahkan batu loncatan, untuk membangun nation brand Indonesia.
Apa itu nation brand? Intinya adalah adalah citra dan reputasi (national image & reputation) yang ditangkap oleh masyarakat internasional terhadap suatu negara.
Citra dan reputasi negara ini bisa dilihat dari enam kualitas yaitu: Export (citra produk nasional yang kompetitif), Governance (citra pemerintahan yang bersih dan kompeten), Tourism (ketertarikan wisman berkunjung), Investment (ketertarikan investor untuk menanam modal), Culture (kekayaan budaya), dan People (SDM yang unggul dan ramah).
Singkatnya, nation branding bertujuan untuk menarik TTI (trader, tourist, investor) dengan menciptakan citra dan reputasi di enam kualitas di atas. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mendongkrak nation brand Indonesia setelah Asian Games berakhir?
#1. Kampanye Nation Branding
Dalam waktu yang tidak lama setelah Asian Games berakhir, Indonesia harus meluncurkan kampanye nation brand sebagai upaya me-leverage kesuksesan dalam mendapatkan eksposur global yang luar biasa.
INASGOC mengonfirmasi bahwa ada sekitar 11 ribu media lokal maupun global meliput Asian Games 2018. Ini merupakan eksposur luar biasa yang hanya bisa kita perolah melalui event akbar (sport mega-event) seperti Asian Games, Olimpiade, atau Piala Dunia. Momentum inilah yang harus kita perpanjang dengan meluncurkan kampanye nation branding untuk menarik TTI datang ke Tanah Air.
Kita harus banyak belajar dari negara tetangga Australia. Australia me-leverage habis-habisan posisinya sebagai tuan rumah Olimpiade Sidney tahun 2000. Event akbar ini kemudian diikuti dengan berbagai kampanye nation branding: “Life a Different Light” (2004-2006); lanjut “A Uniquely Australian Invitation” (2006-2008); kemudian “Come Walkabout” (2008-2009); dan terakhir “There’s Nothing Like Australia” (2010-sekarang).
#2. Diplomasi Global
Afrika Selatan memanfaatkan event Piala Dunia 2012 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia telah menjadi kekuatan ekonomi baru dunia dan negara termaju di benua Afrika (Africa’s most developed economy).
Cina memanfaatkan Olimpiade Beijing 2008 untuk menunjukkan bahwa dengan laju pembangunannya yang supercepat, Cina bakal menyalip Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Inilah yang disebut diplomasi global melalui event olah raga.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Melalui Asian Games Indonesia juga bisa memosisikan diri sebagai kekuatan ekonomi baru (emerging nation) yang sedang berjuang keras menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia. Dengan populasi terbesar keempat, Indonesia juga sedang bertransformasi menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
#3. Visi Olahraga 2032
Dengan bekal kesuksesan menyelenggarakan Asian Games Indonesia harus berani think big dengan menetapkan visi menjadi tuan rumah Olimpiade 2032.
Olimpiade 2020 bakal diadakan di Tokyo, 2024 di Paris, dan 2028 di Los Angeles. Untuk Olimpiade 2032, kini sudah ada beberapa negara yang tertarik untuk bidding yaitu Jerman, Australia, dan India. IOC bakal menetapkan pemenangnya pada tahun 2025, jadi masih ada waktu tujuh tahun untuk berbenah diri.
Perlu diingat sejak tahun 2000an, negara-negara maju baru BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) berlomba-lomba untuk menjadi tuan rumah sport mega-event seperti Olimpiade dan Piala Dunia sebagai bentuk diplomasi global untuk mengangkat nation brand mereka masuk dalam “club of elite” negara-negara maju.
Kalau betul Indonesia bisa mewujudkan visi ini, maka nation brand Indonesia akan naik kelas sejajar dengan negara-negara maju dunia. Karena perlu diingat, negara yang mampu menyelenggarakan event-event olahraga besar tersebut hanyalah negara-negara maju.
Sumber foto: Okezone.com
Artikel ini dimuat di Jawa Pos edisi Senin, 3 September 2018, hal. 1.
Sejak tahun 2000-an muncul sebuah tren baru dimana negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) berlomba-lomba untuk menjadi tuan rumah event olahraga besar (sport mega-event) seperti Olimpiade atau Piala Dunia.
Baca juga ebook 43 halaman: “Asian Games 2018 & Nation Branding”
Bukan kebetulan, karena negara-negara tersebut ingin dipersepsi negara lain sebagai negara maju baru (newly-industrialized countries). Mereka ingin dilihat masuk dalam “club of elites” sejajar dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.
“Brand Africa Dilemma”
Afrika Selatan misalnya, memanfaatkan event Piala Dunia 2012 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia telah menjadi kekuatan ekonomi baru dunia dan negara termaju di benua Afrika (Africa’s most developed economy).
Melalui event ini Afrika ingin keluar dari apa yang disebut “Brand Africa Dilemma” yaitu lepas dari citra negara-negara Afrika pada umumnya yang identik dengan kemiskinan, kelaparan, dan wabah penyakit.
Melalui Piala Dunia 2010 Afrika Selatan melakukan nation brand repositioning sebagai negara termaju di Afrika yang menjadi surga bagi tourist, trader, dan investor.
Super Power Baru
Begitu juga, Cina memanfaatkan Olimpiade 2008 di Beijing untuk membentuk pandangan dari masyarakat global sebagai “Cina Baru” dengan keajaiban ekonomi dan kemampuan penguasaan teknologinya. Kejayaan Cina ini tergambar pada Beijing National Stadium (“Bird’s Nest Stadium”) yang berbentuk menyerupai sarang burung.
Upaya ini dilakukan dalam satu paket karena dalam waktu hampir bersamaan Cina menjadi tuan rumah dua event besar yang lain yaitu Shanghai World Expo 2010 dan Asian Games Guangzhou 2010.
Melalui Olimpiade dan Asian Games Cina ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia sedang bertransformasi menjadi kekuatan baru ekonomi dunia menandingi Amerika Serikat. The new super power.
Diplomasi Global
Inilah yang disebut diplomasi global melalui olahraga. Alih-alih memperlihatkan kekuatan militer (jumlah kapal, tank, pesawat tempur, atau hulu ledak nuklir), dominasi ekonomi, atau penguasaan teknologi, mereka menggunakan event olahraga untuk menunjukkan keperkasaan. Mereka melakukan diplomasi global bukan dengan “hard power” tapi dengan “soft power”.
By-design mereka melakukan diplomasi global untuk mendongkrak nation brand. Ada sebuah alur pikir runut dan strategis yang mengaitkan posisi sebagai tuan rumah event olahraga akbar dengan transformasi ekonomi-politik bangsa.
Pertanyaannya, apakah Indonesia juga melakukan diplomasi yang sama saat menjadi tuan rumah Asian Games kali ini?
Inilah yang belum terlihat. Kita menjadi tuan rumah Asian Games mengalir begitu saja, belum ada sebuah strategi dan visi yang menjangkau jauh ke depan. We lack of vision.
Tapi itu tak perlu disesali. Sukses menyelenggarakan Asian Games dengan opening ceremony yang spektakuler saja sudah luar biasa. Namun memang itu saja tidak cukup.
Vision 2032
Kesuksesan membesut Asian Games 2018 adalah modal tak ternilai bagi pembentukan nation brand Indonesia. Modal inilah yang harus di-leverage ke horizon yang lebih jauh ke depan.
Bangsa ini harus berani berfikir mega dengan menetapkan visi menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. Dan seperti negara-negara BRICS di atas, kita harus menjadikan momentum tuan rumah Olimpiade 2032 untuk membawa Indonesia bertransformasi ekonomi-politik menjadi negara maju baru. Bangsa besar adalah bangsa yang berani bermimpi besar.
Visi ini bukanlah hal yang mengada-ada. Sudah banyak lembaga kajian global yang menempatkan Indonesia sebagai “the big five” ekonomi terbesar di dunia di tahun 2030-an.
Ingat, event olahraga akbar seperti Olimpiade dan Asian Games bukanlah sekedar event olahraga. Ia adalah juga pemercepat pembangunan infrastruktur, momentum memperbaiki citra/reputasi negara; menarik TTI; pemersatu bangsa; juga alat transformasi bangsa.
Karena itu, kita harus menempatkan tuan rumah Olimpiade 2032 sebagai katalis untuk melakukan dua hal: Pertama, ke dalam melakukan transformasi ekonomi-politik untuk naik kelas menjadi negara maju baru. Kedua, ke luar, membangun citra, reputasi, dan nation brand yang disegani di kancah dunia.
Asian Games adalah kesempatan setengah abad sekali untuk membangun nation brand Indonesia.
Ingat, globalisasi memaksa setiap negara untuk bersaing memperebutkan trader, tourist, dan investor (TTI) dari seluruh belahan dunia. Akibatnya, kini negara sudah disikapi sebagai sebuah brand yang harus dibangun value dan competitiveness-nya. Negara harus di-branding.
Anyway, apa itu nation branding? Gampangnya, apapun yang dilakukan sebuah negara untuk mendongkrak identitas, citra, dan reputasinya.
Tujuannya, kalau menurut Simon Anholt “bapak nation branding” ada enam elemen: Governance (citra pemerintahan yang bersih dan kompeten), Export (produk nasional yanghebat di pasar global), Tourism (ketertarikan wisman berkunjung), Investment & Immigration (ketertarikan investor dan talents untuk datang), Culture & Heritage (kekayaan budaya yang adi luhung), dan People (SDM yang unggul dan ramah).
Lalu apa saja strategi yang bisa kita lakukan untuk mem-branding Indonesia dengan memanfaatkan Asian Games? Berikut lima di antaranya:
#1. Managing Massive Media Exposure
INASCOC sudah mengonfirmasi bahwa Asian Games 2018 diliput oleh sekitar 11 ribu media lokal maupun global. Tak heran jika selama dua minggu penyelenggaraannya Indonesia menjadi sorotan masyarakat dunia.
Berita sedap maupun tak sedap mengenai Indonesia akan ter-blow up ke seluruh dunia yang ujung-ujungnya membentuk citra Indonesia di mata dunia.
Ingat, yang ter-blow up itu tak hanya berita-berita mengenai beragam pertandingan yang digelar, tapi juga berita apapun yang sedang terjadi di tanah air.
Alhamdulillah, hingga hari ini penyelenggaraan Asian Games berjalan lancar, apalagi gelaran opening ceremony yang begitu memukau.
Namun di sela-sela itu, berita-berita tak sedap juga muncul menjadi santapan media global seperti: penanganan Kali Item, pengamanan Asian Games yang berlebihan, gempa Lombok, hingga yang terakhir penetapan tersangka Mensos karena kasus korupsi.
Agar citra kita baik, selama dua minggu ini kita harus menjaga agar berita-berita yang keluar bisa membangun citra positif bagi Indonesia.
#2. Bring Indonesia Culture to the World
Opening ceremony minggu lalu sungguh memukau tak hanya bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi juga seluruh warga dunia. Media-media ternama dunia seperti diorkestrasi memuji gelaran tersebut sebagai yang terbaik sepanjang sejarah Asian Games.
Tak hanya itu, opening ceremony tersebut mampu membawa kebinekaan budaya Indonesia ke panggung dunia. Di situ dipergelarkan 19 tarian dari Sabang sampai Merauke mulai dari Ratoh Jaroe Aceh yang kolosal, Lenong Betawi, Jaipongan, hingga tari Yospan Papua.
Identitas Indonesia begitu kental terwakili oleh kekayaan budaya Nusantara tersebut.
#3. Global Diplomacy through Sport Event
Afrika Selatan adalah contoh negara yang begitu smart memanfaatkan event Piala Dunia 2012 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa negara ini menjadi kekuatan ekonomi baru dunia sekaligus memosisikan diri sebagai sebagai negara termaju di benua Afrika (Africa’s most developed economy).
Afrika Selatan juga menggunakan momentum tuan rumah Piala Dunia untuk menghapus bersih citra buruk Afrika Selatan sebagai negara yang melegalkan praktek apartheid.
Inilah yang disebut diplomasi global melalui event olah raga.
Apakah Indonesia juga bisa melakukannya? Kenapa tidak. Indonesia adalah negara maju baru (emerging nation) yang sedang berjuang keras menjadi kekuatan ekonomi kelima terbesar di dunia. Indonesia juga sedang berkerja keras menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Ambisi dan visi ini harus kita tunjukkan ke dunia salah satunya melalui event akbar seperti Asian Games.
#3. Cobranding: Indonesia + Asian Games
Indonesia adalah brand. Asian Games juga brand. Ketika keduanya bersatu, maka terbentuklah cobranding collaboration. Asian Games memanfaatkan brand Indonesia; sebaliknya Indonesia memanfaatkan brand Asian Games.
Ambil contoh kasus Cina saat gelaran Olimpiade 2008. Cina habis-habisan memanfaatkan dan mendompleng brand Olimpiade untuk mendongkrak citra dan reputasi Cina yang ekonominya sedang bergerak cepat menyamai Amerika Serikat sebagai negara adidaya.
Lalu, bagaimana dengan di Asian Games 2018 kali ini?
Terus terang, awalnya saya menduga Indonesia lah yang bakal mendompleng kehebatan brand Asian Games. Namun melihat opening ceremony yang memukau, saya jadi berubah pikiran: justru Asian Games yang mendompleng kehebatan brand Indonesia.
Namun secara umum saya kira sinergi antar dua brand ini berlangsung secara komplementer. Namanya sinergi, 1 +1 bukannya 2, tapi 3 atau bahkan 5.
#5. Post Event: Nation Branding Campaign
Jangan sampai momentum Asian Games ini menguap begitu saja, saat eventnya berakhir. Kita harus terus me-leverage dengan cara terus mengampanyekan nation brand dengan kegiatan-kegitan lanjutannya (post-event campaign).
Dalam hal ini kita harus mencontoh Australia. Setelah sukses menyelenggarakan Olimpiade 2000 di Sidney, Australia tak tinggal diam. Ia memfollow-up dengan melakukan kampanye pariwisata besar-besaran lewat peluncuran branding baru “Brand Australia: Life in a Different Light” pada tahun 2004.
Australia memanfaatkan momentum Olimpiade Sidney untuk melakukan repositioning dengan membentuk citra baru sebagai destinasi wisata bergengsi di dunia.
Seperti halnya Australia, kita harus melakukan post event campaign di bidang trading, tourism, dan investment (TTI) agar momentum Asian Games menguap begitu saja. Apalagi bulan November nanti kita masih punya event yang tak kalah bergengsinya, World Bank-IMF Annual Meeting.
Dua hari menjelang pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta koran paling bergengsi di dunia The New York Times membuat tulisan dengan judul nyinyir: “How to Spruce Up for Asian Games? Cover a Polluted River”. Bagaimana ‘mempercantik’ Asian Games? Menutupi Kali Item. Begitu kira-kira terjemahan bebasnya.
The New York Times tak sendirian, The Guardian, Washington Post, hingga CNN melakukan hal yang sama.
Terakhir sekitar 20 jam sebelum opening ceremony BBC News membuat judul tulisan yang tak kalah sangar: “Asian Games: Indonesia Police Kill Dozens in Criminal Crackdown.”
Dengan mengutip temuan Amnesty International, BBC menulis, polisi Indonesia menembak mati puluhan kriminal dalam beberapa bulan terakhir untuk mengamankan Asian Games.
Tulisan-tulisan miring media berpengaruh dunia itu tentu bukannya tanpa risiko. Tulisan tersebut tentu berpotensi membentuk citra buruk tak hanya bagi penyelenggaraan Asian Games tapi juga bagi nation brand Indonesia, sekarang dan beberapa tahun ke depan.
Dalam dua minggu ke depan Indonesia bakal menjadi sorotan seluruh dunia karena menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Karena menjadi sorotan dunia, maka bagi Indonesia menjadi host Asian Games layaknya pedang bermata dua.
Di satu sisi merupakan opportunity karena bisa mendongkrak nation brand Indonesia. Tapi di sisi lain, seperti tercermin dari pemberitaan media berpengaruh di atas, bisa justru backfired menjadikan citra Indonesia jatuh ketika kita belepotan menggelar event akbar ini.
Karena itu kendala apapun yang kita hadapi hingga menjelang penyelenggaraan saat ini (LRT Kelapa Gading-Rawamangun yang tidak jadi dioperasikan, kasus Kali Item, kemacetan Jakarta, hingga Jakarta yang masih terbengkelai karena banyaknya pembangunan infrastruktur) kita harus “total football” menyukseskannya.
Tak ada kata tidak, Asian Games Jakarta-Palembang harus sukses. Persis seperti kata Elvis Presley “now or never”: Sukses menjalankan Asian Games atau kita kehilangan momen tak bernilai ini dan menyesal seumur hidup.
Asian Games merupakan momentum luar biasa untuk pembentukan nation branding Indonesia karena tiga alasan.
Global Visibility
Dalam dua minggu ke depan Indonesia akan disorot oleh seluruh warga dunia, tak hanya dari sisi kemampuan menyelenggarakan Asian Games, tapi juga masyarakatnya, kebudayaannya, keberagamannya, keindahan alamnya, kekayaan kulinernya, ekonominya, infrastrukturnya, apapun.
Perlu diingat bahwa branding value terbesar dari penyelenggaraan event akbar (mega sport event) seperti Asian Games terletak pada media exposure yang amat luas.
Ambil contoh Rusia yang baru saja sukses menggelar Piala Dunia bulan lalu menuai global media exposure yang luar biasa karena ditonton oleh sekitar 3,4 miliar atau hampir separo penduduk dunia.
Nation Brand Identity
Asian Games juga bisa menjadi alat untuk membentuk identitas bangsa (nation brand identity) di mata warga dunia. Asian Games bisa menjadi medium untuk memperkenalkan karakter bangsa: sejarahnya, nasionalisme, keberagaman budayaannya, keramahtamahannya, keindahan alamnya, atau kemajuan pembangunannya.
Opening ceremony yang spektakuler tadi malam misalnya, bisa menjadi jendela untuk menunjukkan “brand story of the nation” ke audiens global.
Namun sebaliknya, jika selama Asian Games berlangsung pemberitaaan media dipenuhi hal-hal miring seperti di atas, maka bukan brand identity kuat yang kita dapat, tapi justru sebaliknya, citra buruk yang merugikan.
Rebranding & Repositioning
Asian Games juga bisa menjadi momentum untuk melakukan rebranding dan mengubah positioning bangsa ke arah yang lebih baik.
Afrika Selatan adalah kasus negara yang dengan cerdas memanfaatkan mega event olahraga untuk melakukan rebranding/repositioning saat ia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010.
Dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia secara ekonomi Afrika Selatan mengokohkan posisinya sebagai negara termaju di benua Afrika (Africa’s most developed economy). Sementara secara politik event tersebut mampu menghapus tuntas citra buruk Afrika Selatan sebagai negara yang melegalkan praktek apartheid.
Seperti Afrika Selatan Indonesia bisa memanfaatkan Asian Games untuk membentuk citra baru negara: secara sosial-politik sebagai negara yang tetap teduh di tengah kebinekaan; secara ekonomi sebagai emerging country yang akan menjadi kekuatan ekonomi baru dunia; dan terakhir negara eksotis dengan kekayaan budaya dan keindahan alamnya yang luar biasa.
Sumber foto: Republika.co.id
Piala Dunia 2018 di Rusia tak hanya menjadi peluang luar biasa bagi para official sponsors yang telah mengeluarkan bujet miliaran bahkan triliunan rupiah untuk membangun brand dan meraup omset, tapi juga dimanfaatkan dengan cerdas oleh brand-brand yang bukan sponsor resmi.
Caranya gimana? Caranya dengan ambush marketing, yaitu melakukan kampanye pemasaran yang memanfaatkan asosiasi dan impresi yang terkait dengan event Piala Dunia. Tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum FIFA yang menjadi “pemilik” event empat tahun sekali itu.
European Sponsorship Association (ESA) mendefinisikan ambush marketing sebagai berikut:
“A strategy where brands have developed and run creative marketing campaigns using the opportunity to push the boundaries and sometimes give the impression that they are an event sponsor, when they are not.”
Kata kunci dari definisi tersebut adalah “creative marketing campaign”, artinya strategi ambush marketing mengandalkan kreativitas dari marketer dalam “menunggangi” event Piala Dunia walaupun mereka bukanlah sponsor resmi.
Download the ebook: bit.ly/brandingworldcup2018
Powerful-nya ambush marketing tercermin dari hasil survei yang dilakukan terhadap Piala Dunia 2014 lalu di Brasil. Enam dari duabelas brand yang memuncaki volume “buzzing” di media sosial ternyata bukanlah brand yang menjadi sponsor resmi.
Brand tersebut termasuk Nike yang mampu menghasilkan 232.000 social mentions, dibandingkan Adidas (yang merupakan sponsor resmi) yang hanya mampu menghasilkan 129.000.
Do & Don’t
Pertanyaannya, bagaimana agar ambush marketing yang dilakukan marketers tidak melanggar ketentuan-ketentuan sponsorship FIFA? Berikut ini adalah apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat menjalankan ambush marketing.
Perlu diingat, kalau sebuah brand bukan sponsor resmi, maka ia tidak boleh menggunakan logo, trademark, dan kata-kata “Piala Dunia”, “Piala Dunia 2018”, “Piala Dunia Rusia 2018” dan berbagai kombinasinya.
Tapi tentu saja boleh dong kalau marketers menggunakan kata “sepakbola” atau “Rusia” di dalam kampanye iklannya. Jadi untuk memanfaatkan momentum Piala Dunia selama sebulan ini, marketers bisa membuat iklan versi sepakbola tanpa sedikitpun menggunakan logo, trademark, atau kombinasi kata “Piala Dunia Rusia 2018”.
Baca juga: Piala Dunia Zaman Now
Menurut ketentuan FIFA, memang brand tidak boleh melakukan sales promotion dengan hadiah memberikan tiket kepada konsumen untuk menonton Piala Dunia di Rusia. Tapi tentu boleh dong melakukan sales promotion dengan memberikan hadiah berlibur selama seminggu ke kota Moscow atau St. Petersburg selama penyelenggaraan Piala Dunia.
Itulah “guerrilla strategies” yang bisa dilakukan tanpa sedikitpun melanggar ketentuan FIFA. Kuncinya adalah menciptakan asosiasi atau impresi yang nge-link dengan event Piala Dunia.
Contoh-contoh berikut memberikan gambaran bagaimana ambush marketing dijalankan.
The Winner
Ambush marketing dijalankan dengan sangat kreatif di ajang Piala Dunia 2014 Brasil oleh Beats by Dre. Produsen headphone anak perusahaan Apple ini mencuri momen Piala Dunia 2014 dengan mengunggah video 5 menit di YouTube yang menampilkan Neymar dan Suarez tanpa sedikitpun menggunakan atribut dan trademark Piala Dunia. (lihat videonya di sini: “The Game before the Game”)
Video human interest yang menampilkan Neymar sedang menelpon interlokal ayahnya di kampung tersebut menciptakan engagement yang luar biasa dari para pecinta bola sejagad. Iklan ini menghasilkan 26 juta views di YouTube, peningkatan penjualan online 130% dan PR value sekitar US$ 50 juta.
The Loser
Kalau Beats menuai sukses, maka sebaliknya Paddy Power, perusahaan taruhan asal Irlandia justru melakukan blunder. Di gelaran Piala Eropa 2012, Paddy Power mengontrak Nicklas Bendtner pemain Denmark, untuk memperlihatkan logo Paddy Power di celana dalamnya saat melakukan selebrasi selepas mencetak gol. (lihat videonya di sini: “Paddy Power Lucky Pants”)
Tentu saja ambush marketing ini melanggar ketentuan FIFA dan karena itu Bendtner dan Paddy Power akhirnya terkena denda 80 ribu poundsterling oleh UEFA. Namun berkahnya, kejadian ini memicu kontroversi yang meroketkan brand awareness Paddy Power.
The Smart
UberEats dan McDelivery menyentil kegagalan Italia masuk di laga Piala Dunia 2018 dengan meluncurkan iklan yang menampilkan legenda Italia Andrea Pirlo. Ini adalah iklan ambush yang sangat cerdas.
Dalam iklan bertema #TeamForPirlo itu Pirlo membutuhkan bantuan dari bintang-bintang lain seperti Cafu dan Luiz Hernandes untuk menentukan tim mana yang layak menjadi juara, ketika Italia tak ikut berlaga. (lihat videonya di sini: #teamforpirlo).
Bagi para suporter Italia tentu saja iklan ini merupakan sentilan menyakitkan sekaligus menggelitik. Dengan gaya iklan yang kocak, UberEats mampu “menunggangi” momen Piala Dunia tanpa sedikitpun menggunakan atribut Piala Dunia.
The Coolest
Yang paling cool adalah ambush marketing yang tanpa sengaja “dilakukan” oleh AirPod milik Apple. Saat gelaran Piala Dunia Rusia kali ini secara kebetulan banyak pemain top dunia seperti Neymar dan Jesse Lingard, yang tertangkap kamera media sedang mengenakan AirPod untuk mendengarkan musik saat mereka mendarat di bandara Moscow dan saat mereka pulang karena timnya kalah. Padahal sepeser pun mereka tidak dibayar Apple.
Barangkali inilah ambush marketing paling natural dan paling otentik di sepanjang gelaran Piala Dunia 2018. Semua serba kebetulan, tidak dirancang, dan tidak direkayasa (lihat artikel lengkapnya di sini: “AirPod is the Real Winner of World Cup 2018“).
Dan dalam marketing berlaku, promosi yang otentik selalu menghasilkan dampak branding beribu-ribu lipat lebih powerful. Ini namanya rezeki nomplok bagi Apple.
Kenapa HOT? Karena Piala Dunia adalah momen paling HOT untuk membangun merek dan mendongkrak penjualan. Bayangkan, event akbar berbiaya lebih dari Rp 160 triliun ini bakal ditonton tak kurang dari separuh penduduk bumi. Selama sebulan penyelenggaraannya, praktis semua orang ngomongin Piala Dunia. Dan so pasti, semua hal akan dikaitkan dengan Piala Dunia.
Saya mengistilahkannya: “World Cup of Things”
Tak heran jika brand berlomba-lomba mengeluarkan 1001 jurus untuk meluncurkan produk baru, mendekatkan diri dengan konsumen, mereposisi brand, mengaktivasi komunitas, hingga tentu melejitkan sales dari gelaran empat tahun sekali ini.
Download ebook: The Art of Branding World Cup 2018
Berikut adalah tujuh branding moves yang dilakukan oleh brand untuk memenangkan persaingan.
#1. It’s the HOT Time to Engage Community
Cara paling umum memanfaatkan gelaran Piala Dunia adalah dengan mengaktivasi komunitas konsumen dengan mengusung acara nonton bareng (nobar). Namun tak seperti sebelumnya, kini menggelar nobar tidak bisa sembarangan. FIFA mengawasi pelaksanaannya dengan melakukan sertifikasi tempat-tempat yang berhak menyelenggarakan nobar. Jadi brand harus hati-hati agar tidak kena semprit FIFA.
#2. Launch HOT Product
Vivo habis-habisan memanfaatkan Piala Dunia 2018 untuk membongkar dominasi Samsung dan Apple di pasar telepon cerdas. Salah satu HOT moves yang dilakukannya adalah memperkenalkan ponsel terbarunya yakni X21 UD yang dirancang khusus versi Piala Dunia 2018. Diluncurkan tiga minggu sebelum gelaran Piala Dunia produk tematik ini hadir dengan dua warna spesial piala dunia yakni Tibetian Blue dan Victory Red yang menjadi warna bendera Rusia sebagai tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia 2018.
#3. Riding the Wave thru HOT Repositioning
Puluhan tahun brand Pegadaian identik dengan konsumen kelas bawah (bottom of the pyramid) di pedesaan yang tua dan gagap teknologi. Persepsi ini tentu tak menguntungkan di tengah lahirnya generasi zaman now alias milenial dan munculnya fintech disruption.
Karena itu dengan cerdas Pegadaian memanfaatkan momentum akbar Piala Dunia untuk mengubah persepsi ini. Melalui TVC-nya sebelum dan setelah siaran langsung Piala Dunia, Pegadaian memproklamarkan “Pegadaian digital” dengan meluncurkan Pegadaian Digital Service (PDS) gadai tanpa bunga yang disasarkan untuk kaum milenial. A smart moves!
#4. Deepening Engagement with HOT Channel Partners
Brand juga bisa memanfaatkan Piala Dunia 2018 untuk mendekatkan diri dan memperdalam hubungan dengan para channel partners-nya. Itulah yang dilakukan Traveloka. Didukung oleh lebih dari 1,400 channel partner hotel, Traveloka menghadirkan acara nonton bareng Layar Bola Traveloka di lebih dari 100 kota di Indonesia.
#5. Stealing HOT Moment to Create Massive Exposure
Selama gelaran Piala Dunia praktis tak ada brand-brand lokal Indonesia yang melakukan kampanye branding di kota-kota penyelenggaraan Piala Dunia di Rusia. Ya, karena biayanya memang mahal sekali.
Kelangkaan ini dimanfaatkan secara cerdas oleh Kemenpar dengan melakukan branding Wonderful Indonesia di dua kota utama Rusia: Moscow dan St Petersberg. Media promosi yang digunakan cukup low budget high impact, yaitu digital billboard dan bus-bus yang dibalut foto destinasi-destinasi unggulan. Bus ini ngider di jalan-jalan utama kota Moscow disaksikan fans bola dari seluruh dunia.
#6. Acquire HOT First Customers
Selaku pemegang lisensi ekslusif internet broadcaster Piala Dunia 2018 Klix meluncurkan web portal Klixtv.com dan aplikasi mobile Klix TV untuk menonton pertandingan tersebut melalui live streaming. Klix memanfaatkan momentum Piala Dunia untuk menggaet first dan early customers. Kita tahu, utk layanan baru, menggaet kosumen awal adalah challenge terberat sebuah brand. Strategi yang sama dilakukan oleh MAXstream layanan video on demand besutan Telkomsel.
#7. And of Course… HOT Ambush Marketing
Event seheboh Piala Dunia selalu menjadi langganan brand untuk melakukan ambush marketing, yaitu memanfaatkan momen Piala Dunia ini untuk melakukan promosi walaupun brand tersebut bukanlah official sponsor dari Piala Dunia.
Ambush marketing memang berisiko: kalau taat aturan tak menjadi masalah; namun kalau melanggar, dampaknya bagi reputasi brand bisa fatal. Di Piala Dunia 2018 kali ini brand-brand seperti: Three, Ikea, Carlsberg, atau Domino Pizza sukses membesut ambush marketing. Sebaliknya, Burger King, Lufthansa, dan Mastercard blunder melakukannya.
Di Indonesia sendiri gimana? Coba lihat di perempatan Kuningan Jakarta, Sosro melakukan ambush marketing secara cantik dengan memasang billboard bertema sepak bola tanpa menggunakan atribut dan logo Piala Dunia.
Ebook bisa didownload di link: bit.ly/brandingworldcup2018
Kenapa Piala Dunai Rusia 2018 saya sebut: Piala Dunia zaman now? Karena Piala Dunia kali ini beda dengan Piala Dunia sebelumnya. Ya, karena Piala Dunia kali ini lebih milenial, lebih digital, dan lebih kekinian.
Download ebook-nya: The Art of Branding World Cup 2018
Ambil contoh, nonton bola kini tak hanya di depan TV di rumah, tapi melalui streaming dan mobile. Nobar sebelumnya harus kumpul di kafe atau mal, kini nobar bisa dilakukan secara “online” dimana nontonnya di HP dan perang supporter dilakukan via chit-chat-nya di Twitter. Begitupun, dulu taruhan bola dilakukan di warung-warung kopi atau kafe-kafe, kini mulai seru dilakukan di situs-situs taruhan (online betting).
Berikut adalah 10 tren perilaku fans sepakbola zaman now yang saya amati dari gelaran Piala Dunia 2018.
#1. World Cup of Things
Perhelatan piala dunia selalu menjadi demam dimana-mana di seluruh dunia. Di berbagai tempat seperti mal, kafe, kantor hingga tempat pencoblosan pilkada berlomba-lomba menampilkan ornamen bertema piala dunia. Begitu pula brand-brand melakukan promosi dengan menunggangi momen turnamen akbar empat tahunan ini. Semua serba Piala Dunia!!!
#2 Streaming Viewership: The New Normal
Di era serba digital sekarang, nonton bola pun semakin personal dan mulai beralih ke online streaming. Dengan mobilitas konsumen yang semakin tinggi, nonton tak lagi harus ramai-ramai di depan TV. Berbagai layanan streaming menawarkan tontonan akbar ini seperti Telkomsel Maxstream atau Klix. Nonton dimanapun, kapanpun!!!
#3. Online Betting: “Adrenaline Pleasure”
Ada adagium mengatakan, tak lengkap nonton bola tanpa taruhan. Pun piala dunia, menjadi ladang yang menggiurkan bagi para petaruh dan bandar judi. Mengadaptasi era digital, bandar judi berevolusi menjadi online betting seperti SBO Bet atau M88 Bet, sehingga semakin memudahkan para petaruh. Tak melulu soal uang, motivasi taruhan biasanya lebih ke “seru-seruan” atau momen “deg-degan” melihat tim jagoan menang atau kalah.
#4. Online Gaming: The New Hype
Senada dengan judi bola, pola gamifikasi bola kini juga semakin digemari. Online gamification seperti Fantasy Football memungkinkan kita seolah-olah menjadi manajer sebuah tim. Kita bisa memilih pemain-pemain favorit yang nantinya akan mendapat poin berdasarkan pertandingan nyata. Demam permainan ini mulai ramai beberapa tahun lalu di pertandingan liga-liga Eropa, dan mencapai puncaknya saat Piala Dunia.
#5. World Cup Meme
Tiada bola tanpa drama, pun piala dunia. Momen-momen dramatik nan unik sepakbola kini hadir dalam bentuk meme-meme khas di social media. Momen gagal penaltinya Messi, atau “kenakalan” Sergio Ramos di lapangan menjadi santapan empuk netizen untuk dijadikan bahan “bully” dengan meme-meme yang lucu dan menghibur.
#6. Comment War: Social Media Battle
Sepakbola tak hanya soal pertandingan bola di lapangan, namun kini juga beralih ke social media. Para supporter di dunia maya ikut bertarung saling komen dan “mem-bully” tim lawannya di media sosial. Setiap pertandingan bola apalagi ketika big match, linimasa twitter (dan socmed lainnya) selalu riuh dengan perang komentar dan meme antar supporter. Social media is the real battle!!!
#7. Online Nobar
Tak hanya satu layar, nonton bola pun kini menjadi multi layar. Nonton bareng di kafe, sambil terus memantau komen-komen di social media. Mata tertuju di layar TV, namun jempol terus begerak memantau linimasa. Komen-komen dan “bully” di medsos terkadang lebih seru disimak daripada pertandingan asli di TV.
#8. World Cup Fashion Fever: Beyond Jersey
Sepakbola dan fesyen adalah dua hal yang selalu berdampingan. Tak lengkap rasanya nonton bola tanpa memakai jersey tim idola. Fashion sepakbola terus berkembang dari sekedar jersey, ke berbagai jenis fashion lainnya sesuai tren yang sedang happening. Kini muncul sarung bertema bola, batik bermotif bola hingga baju koko bola.
#9. Sport Backpackers
Bagi sebagian orang, bisa menonton tim jagoan di perhelatan Piala Dunia ibarat menunaikan ibadah haji. Momen yang terjadi 4 tahun sekali akan sayang jika terlewatkan. Banyak yang menabung dan mengambil cuti kerja (bahkan ada yang resign) demi bisa menyaksikan tim jagoan berlaga di piala dunia. Beberapa brand pun banyak melakukan promo baik menjual paket tur murah maupun kuis berhadiah nonton langsung piala dunia.
#10. Instant Fans… Wannabe Fans
Momen-momen turnamen bola seperti piala dunia atau piala eropa selalu menghadirkan fans-fans bola dadakan, utamanya kaum hawa. Yang biasanya tak paham bola, tiba-tiba hapal nama-nama pemain bintang atau mendadak punya baju bola tim jagoan. Belum eksis kalau tidak ikut ngetwit tentang piala dunia, bakal dianggap “kudet” kalau tidak posting foto memakai jersey bola.
Uraian lengkap mengenai tren perilaku fans dan strategi branding Piala Dunia 2018 bisa diunduh di ebook saya dengan link: bit.ly/brandingworldcup2018
“Bola mania”, sebutan saya untuk para penikmat dan penggila sepak bola (“soccer consumer”), adalah pasar yang sangat menggiurkan tak hanya bagi tim dan klub sepak bola, tapi juga bagi merek Anda. Merek apapun, mulai dari yang terkait dengan sepak bola (baju, sepatu, dan perlengkapan sepak bola); yang terkait secara tidak langsung (snack, kacang, minuman dalam kemasan, kamera, TV); hingga yang sama sekali tidak terkait (ponsel, mobil, laptop, bank, maskapai penerbangan).
Kinilah saatnya membangun brand sepak bola Indonesia. Kenapa saya bilang begitu? Karena lingkaran setan (vicious circle) keterpurukan sepak bola yang tak karuan ujung-pangkalnya kini terlihat mulai bisa diputus. Benang kusut persoalan sepak bola kita pun samar-samar mulai bisa diurai. Menariknya, yang mengurai problem akut sepak bola tanah air ini bukanlah PSSI, bukan LPI, bukan pula SBY apalagi DPR. Yang menyembuhkan sepak bola dari penyakit akut adalah kekuatan besar bernama: pasar. Saya percaya kekuatan pasar akan menjadi kekuatan pendobrak yang menjadikan sepak bola kita makin dewasa, berkualitas, konfiden, dan membanggakan.
Dari sudut pemasaran saya mengidentifikasi, ada tiga elemen pasar yang akan menjadikan sepak bola kita berjaya. Pertama adalah konsumen (customer) yaitu para penonton, para fans, para suporter fanatik, para holigan di satu sisi, dan perusahan sponsor dan pemasang iklan di sisi lain. Kedua adalah brand yaitu bisa pemain, klub sepak bola, liga/turnamen seperti LPI (Liga Premier Indonesia) dan ISL (Indonesia Super League), atau bisa juga organisasi pembina sepak bola seperti PSSI. Dan elemen ketiga adalah persaingan (competition) baik antar pemain, antar klub, antar liga/turnamen, atau bahkan antar organisasi pembinanya. Ingat, dalam mekanisme pasar, persaingan akan selalu membawa kebaikan, kedewasaan, dan kemajuan.
Ketiga elemen — customer, brand, competition — di atas akan menciptakan keajaiban jika ketiganya membentuk “lingkaran malaikat” (virtuous circle) bukan “lingkaran setan” (vicious circle), saling mendukung dan ber-chemistry satu sama lain. Penonton yang banyak dan perusahaan sponsor yang cukup akan mendukung eksistensi klub dan liga. Pemain, klub, dan liga yang berkompetisi secara sehat dan profesional akan mendongkrak kualitas dan kinerja mereka. Kualitas dan kinerja unggul pada gilirannya akan menarik penonton dan perusahaan sponsor lebih banyak lagi yang kemudian akan menjadikan sepak bola kita lebih maju lagi. Demikian, siklus itu terus berputar seperti luncuran bola salju; dan jika luncuran bola salju ini bergulir makin kencang maka kemajuan sepak bola nasional tak akan bisa terbendung lagi.
- 1
- 2