Akhirnya hari yang ditunggu itu datang juga. Kamis 15 April lalu untuk pertama kalinya Google Glass dijual ke publik. Setelah penasaran menunggu selama dua tahun, kaca mata canggih berkemampuan smartphone tersebut minggu ini bisa didapatkan konsumen Amerika walaupun harganya masih selangit sekitar 17 juta perak. Celakanya, penjualan secara online itu hanya berlangsung sehari. So, rasa penasaran konsumen masih terus diulur-ulur layaknya layang-layang terbang jauh di awan.
social media
“Vickynisasi branding” adalah sebuah “genre baru” dalam dunia personal branding dan pencitraan. Saya membagi milestones pendekatan pencitraan dari masa ke masa ke dalam tiga genre. Pertama, tatkala media seperti radio atau televisi belum marak kita mengenal apa yang disebut “authentic branding” (pencitraan otentik), yaitu pencitraan yang terbangun oleh kualitas personal yang agung, capaian luar biasa, atau karakter yang mulia dari sosok yang dicitrakan.
Kedua, ketika media berbayar seperti koran, radio, dan televisi marak, arah pendekatan pencitraan bergeser menjadi apa yang saya sebut “lipstick branding”, yaitu pencitraan yang terbangun melalui rekayasa (kalau meminjam istilah Vicky Prasetyo disebut “lipstikisasi” kali ya) dari si sosok yang dicitrakan. Sebetulnya si sosok buruk, tapi di layar kaca menjadi kinclong kinyis-kinyis. Sejatinya si sosok bengis bak mafia, tapi di bilbor-bilbor jalan protokol menjadi sosok merakyat penuh empati. Sesungguhnya si sosok adalah koruptor, tapi di halaman-halaman koran menjadi sosok alim penuh kearifan.
Seharian, hari Sabtu kemarin (13/4) saya menthengin akun Twitter @SBYudhoyono, pagi hingga detik-detik menjelang rampungnya tulisan ini malam hari. Tentu saja ini akun spesial, karena resmi milik pak presiden. Di akun tersebut tertulis: “Akun Resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dikelola oleh Staf Khusus Presiden Republik Indonesia. Twit dari Presiden ditandai *SBY*”.
Ada satu hal yang saya tunggu dari akun ini, yaitu sepatah twit dari si empunya akun. Namun celaka tiga belas, sampai kata-kata terakhir kolom ini ditulis, tak sepatah twit pun saya temukan. Yang saya dapati justru jumlah follower yang melesat bak meteor hingga mencapai ratusan ribu orang dalam ukuran jam. Ya, memang buzz mengenai bakal “go twitter”-nya pak SBY beberapa hari ini membahana di setiap sudut jagad Twitterland.
Introvertly Offline, Extrovertly Online, disingkat #IOEO adalah istilah yang saya berikan untuk menyebut “mahluk baru” yang kini begitu marak bermunculan di tengah revolusi media sosial. Saya meramalkan #IOEO ini akan menjadi semacam wabah yang menular begitu ganas di ranah dunia yang kian narsis ini.
Sesuai namanya, #IOEO adalah sosok seseorang yang introvert (pendiam, tertutup, pemalu, low profile, penyendiri, kurang pede berada di depan orang banyak) ketika berada di dunia nyata (offline); tapi ternyata kemudian memiliki sifat ekstrovert (banyak cakap, ramah, periang, terbuka, high profile, over confident, gokil, suka usil, dsb.) di ranah dunia maya (online).
Temen-temen,
Saya dapat sebuah model mengenai: “The 6 Stages of Social Business Transformation” dari Altimeter, ditulis pakar media sosial Charlene Li danBrian Solis. Menarik sekali untuk temen-temen yang menekuni dunia media sosial. Silahkan unggah di link ini: 6 Steps of Social Business Transformation
Keep learning, keep sharing 🙂
Selama ini kita mengenal istilah “orang kaya baru” disingkat OKB. Kini, saya punya “mahluk baru” lain di era Consumer 3000. Mahluk baru tersebut saya beri nama “orang beken baru”, disingkat: OBB.
OKB adalah orang yang sebetulnya belum kaya-kaya amat, tapi sudah merasa kaya. Akibatnya lagak-gayanya sudah kayak orang kaya, bahkan melebihi orang kaya yang beneran.
Misalnya, punya kartu kredit nggak cukup satu, tapi lima atau bahkan sepuluh. Ditaruh berjejal-jejal di dompet agar waktu membayar di mal kartu kreditnya kelihatan semua. Misalnya lagi, punya smartphone nggak cukup satu. Bisa dua, bisa tiga: satu untuk nelpon, satu untuk BBM-an, satu lagi untuk berburu apps.
OBB setali tiga uang. Mereka sebetulnya belum beken-beken amat. Tapi lagak-gayanya sudah kayak orang beken, bahkan melebihi artis dan selebriti kondang. Jaim (“jaga image”) abis. Pokoknya sok beken abiiiissss!!!
Di era “revolusi media sosial”, dimana Twitter, Facebook, atau Youtube memungkinkan seseorang begitu gampang menjadi beken, wabah OBB menjalar begitu cepat layaknya wabah kolera. Di era “revolusi narsis”, dimana siapapun kini punya kesempatan untuk menjadi pusat perhatian dan sorotan khalayak, wabah OBB meluas begitu cepat layaknya wabah flu burung. Ingat, “connected customers create a narcissistic world”.
Dulu, untuk menjadi orang beken jalan yang ditempuh begitu panjang-berliku. SBY misalya, untuk bisa beken seperti sekarang harus berpuluh tahun merintis karir di kemiliteran, mendirikan Partai Demokrat, berjuang memenangkan pemilu, hingga kemudian menjadi presiden. Agnes Monica untuk bisa beken seperti sekarang harus merintis sejak dini menjadi penyanyi anak-anak, bertransformasi menjadi penyanyi remaja, hingga akhirnya menyandang sebutan sebagai diva pop. Atau, Anas Urbaningrum untuk bisa beken seperti sekarang harus merintis karir politik sejak mahasiswa di HMI, nyemplung di partai Demokrat hingga menduduki posisi puncak, dan akhirnya tersandung kasus Hambalang dan keluar pameo: “Gantung Anas di Monas” yang meroketkan popularitas.
Kini, untuk menjadi beken gampangnya minta ampun. Cukup punya 1000 follower di Twitter, kita sudah memproklamirkan diri sebagai orang beken. Cukup punya teman 1000 orang di Facebook, kita sudah memproklamirkan diri sebagai orang beken. Cukup pasang video di Youtube dilihat 1000 orang, kita sudah memproklamirkan diri sebagai orang beken.
Makanya di ranah Twitter, Facebok, atau Youtube kini penuh berjejal orang-orang yang menganggap dirinya beken. Dan mereka memutar otak melakukan personal branding, social media marketing, Twitter marketing, atau apapun namanya, untuk menjadi kian beken dan menjadi yang terbeken di antara orang-orang beken lain. Di tengah perlombaan orang beken tersebut narsis menjadi panglima: “narsis becomes way of life”
Seperti layaknya artis dan seleb kondang, para OBB ini jaim minta ampun. Pas ia sarapan di warteg kolong gang, twit tiarap, diam seribu basa. Tapi giliran ia nongkrong di Starbucks atau Sevel, twit seperti mitraliur memuntahkan peluru memberondong musuh. Ditel-ditel ia ceritakan: mulai dari Iced Caramel Macchiato yang dipesan, cewek yang jadi teman ngobrol, gadget yang dibawa, di samping tentu, “jepret-jepret-jepret” foto narsis untuk update status.
Pas nonton plus joget dangdut di hajatan sunatan tetangga twit berhenti berkoar. Tapi giliran nonton Java Jazz di JIExpo Kemayoran twit tak hentinya berkoar-koar. Panggung yang dikunjungi, artis yang ditonton, lagu-lagu yang dimainkan, merchandise yang dibeli, semuanya diobral ke followers. Tentu saja tak ketinggalan, “jepret-jepret-jepret” foto narsis untuk update status.
Tiap kali ada OBB yang obral narsis seperti ini, dalam hati saya selalu bergumam: “Terus gue harus bilang WOW gitu!?!”
Di Twitter dan Facebook, OBB adalah sosok yang baik hati dan tidak sombong. Pokonya mirip sosok “Boy” dalam film “Catatan Si Boy” jaman saya muda dulu. Di Twitter atau Facebook mereka harus tampil all-out sehingga pantas dipuja dan dikagumi oleh followers. Tipenya ada dua. Pertama, ada yang selalu bertutur halus, bijak, suka menasehati, banyak ilmu, menginspirasi, suka mengutip puisi-puisi cinta Khalil Gibran atau Taufik Ismail. Kedua, ada yang slengekan, nyentrik, jahil, usil, sok akrab. Walaupun selintas berbeda, sesungguhnya tujuan mereka sama: membangun citra berkilau yang pantas dikagumi dan digilai followers.
Sosok OBB paling gampang terlihat dari foto profil di Twitter atau Facebook. OBB paling suka gonta-ganti foto profil dan setiap foto tersebut selalu tampil prima. Tak peduli wajah berantakan, dipermak kanan-kiri pakai Photoshop, tampilan wajah pun berubah menjadi kinclong. Jerawat dihilangkan, hidung sedikit dimancungkan, jidat diratakan. Atau kalau wajah sudah terlalu berantakan dan tak tertolong lagi, berbagai efek Photoshop atau Instagram siap memanipulasi: dikaburkan, efek siluet, efek black & white, efek glow, dsb.
OBB juga paling gila sapaan, retweet, atau mention dari para followers atau teman. Sejam saja nggak mendapat sapaan atau mention dari followers atau teman, rasanya dunia mau kiamat. Ya karena itu berarti dia tidak menjadi sorotan, dia tidak sedang menjadi pusat perhatian, ia tidak sedang menjadi bintang.
Anda OBB? Tak usah malu, tak usah takut, tak usah sungkan-sungkan. Anda punya teman. Ya, karena perasaan saya juga mulai kejangkitan wabah OBB, uppss! Ssssst… jangan bilang-bilang!!! 😀 😀 😀
Temen-temen, untuk “pemanasan” Obrolan Langsat #Obsat nanti malam (18/2) mengenai “Digital Tsunami: The Media Company Challenges“, ada baiknya saya kultwit materi yang mau kita obrolkan, agar kita punya gambaran mengenai apa yang mau kita obrolkan dan nggak nglantur ke sana kemari. Berikut kultwitnya, monggo disarap:
1.Revolusi teknologi digital (saya sebut #tsunamiDigital) telah menggerogoti pilar2 industri media khsususnya cetak
2.Korban terakhir adl Newsweek yg Jan 2013 lalu mghentikan edisi cetak n scr penuh mjd online stlh 80th beroperasi.
3. #TsunamiDigital menuntut media cetak melakukan “creative destruction” utk tetap survive. Change or Die!
4.Media cetak hrs mengubah model bisnis dr “single platform” ke “multi platform” utk bs survive
5. Mindset media cetak hrs berubah dr “menjual berita” mjd “pengelola komunitas konsumen”
6. Mrk hrs bertransformasi dr “media company” mjd “community company”.
6. Slma ini media cetak memiliki advantage krn memiliki basis konsumen/pembaca yang sgt besar
7.Basis pembaca ini yang hrs dikonversi mjd komunitas konsumen yg bs dimonetisasi
8.Media cetak bisa memiliki banyak komunitas (tak cukup hanya 1) mengacu pd common interest yg ada pd pembaca mrk
9.Komunitas pembaca ini hrs difasilitasi agar berkembang sesuai common interest anggota komunitas tsb
10.Jd midset media cetak hrs berubah dr “news producer” mjd “community facilitator”
11.Karena itu “Chief Editor” di media cetak sdh waktunya diubah mjd “Chief Community Officer” (CCO)
12.Seorang CCO tak cukup hy piawai meramu berita tp jg mjd “facilitator” bagi setiap member komunitas
13. CCO hrs seorang connector bagi member, networker bagi partner, listener yg empatik, dan conversation-builder
14. Perubahan ini menuntut media cetak tak sekedar “menjual space iklan” kpd advertiser, tp mjd “konsultan komunikasi”
15.Maksudnya, stlah py komunitas solid, maka mrk hrs bs menemukan ide2 program komunikasi utk ditwrkan ke para advertiser
16.Ide2 program itu ditawarkan kpd advertiser sbg “solusi komunikasi terintegrasi” yg memiliki nilai monetisasi tinggi
17.Jadi pendekatan jualannya berubah dr pasif “menunggu warung” mjd proaktif “jemput bola” ke pr advertiser
18.Klo sdh bgini, maka CRM dan database komunitas mjd “nyawa” bagi media krn menentukan kualitas solusi yg diberikan
19.Transformasi dr “media company” mjd “community company” menuntut prubahan mindset dan paradima
20.Krn itu perubahan terbesar n paling sulit adl perubahan budaya: “culture transformation” dr awak media.
21.Bgmn pengalaman Femina, SWA, Jawa Pos, dan Kompas bertransformasi dari “media company” mjd “community company”?
22.Mari simak Obsat mlm ini brsma Petz09 (Femina), @kemalGani (SWA), @krismoerwanto (Jawa Pos), @etaslim (Kompas), @handoko_h
23.Mlm ini Obrolan Langsat #Obsat akan dimulai pk.19 di Jl.Langsat 3A, ayok dtg
Berawal dari tulisan “Local Challenger” dan “Chief Community Officer” mengenai strategi multi-platform Femina terpicu diskusi gayeng di ranah Twitter mengenai nasib media (khususnya cetak) di tengah ontran-ontran “tsunami digital”. Kebetulan masih fresh kejadian memilukan awal Januari 2013 lalu ketika Newsweek, raksasa media yang begitu perkasa selama 80 tahun, terpaksa harus menghentikan edisi cetak untuk secara full hanya terbit dalam edisi online. Orang-orang hebat dan otoritas di industri media terlibat dalam diskusi itu seperti @petz09 (Femina), @KemalGani (SWA), @krismoewanto (Jawa Pos), @etaslim (Kompas.com), @bangwinissimo (dulu Yahoo.com), @handoko.h (penulis buku “Brand Gardener”) Diskusi gayeng itu akhirnya berujung pada keinginan kopdar untuk membahas topik ini secara lebih intens.
Keinginan kopdar pun diwujudkan, saya mengontak mereka satu persatu, dan melalui diskusi di Twitter akhirnya disepakati kopdar “Obrolan Langsat” (Obsat), Indonesia Brand Forum (@IDbrandforum), sekaligus kumpul-kumpul komunitas “Lifetime Learner” (@LTlearnerID) dilaksanakan pada: Senin 18 Februari 2013, di Rumah Langsat, Jl. Langsat 1 No 3A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pk 19.00 WIB. Topiknya adalah: “Digital Tsunami: The Media Company Challenges”.
Karena obrolan ini merupakan forum horizontal, maka siapapun nanti diundang untuk berkontribusi membagikan perspektifnya. Namun untuk pancingan para “guru media” akan berbagi pengalaman mengenai strategi yang telah mereka jalankan untuk survive dan sukses di tengah revolusi digital, mereka adalah: Petty Fatimah (Femina), Krismoerwanto (Jawa Pos), Edy Taslim (Kompas.com), Kemal Gani (SWA), Handoko Hendroyono (penulis buku Brand Gardener). Saya Yuswohady, akan memandu obrolan santai tapi bernas ini.
Host dari obrolan ini adalah Rumah Langsat dengan “induk semang”-nya mas @didinu dan @Ndorokakung. Sambil ngobrol ngalor-ngidul kita akan “cakrukan” sambil menikmati sego kucing khas Mbayat, Klaten.
Indonesia Brand Forum blog -> http://www.indonesiabrandforum.com
Surving, surving… Searching, searching… Googling, Googling… eeh ketemu artikel jempolan. Terbit di McKinsey Quarterly paling gresss (edisi February, 2013), artikel ini menawarkan sebuah model mengenai enam skills yang harus dimiliki oleh setiap leader berkaitan dengan bagaimana si leader menyikapi “mainan baru” bernama: social media.
Melek media sosial (“Social media literacy”) bagi seorang leader, menurut artikel ini, nantinya akan menjadi sumber competitive advantages yang luar biasa. Penasaran? Silahkan klik link berikut, formatnya pdf sehingga enak dibaca dan disimpan. Selamat melumat ilmu yang berguna tiada tara ini… sharing is amazing!!!
Setiap minggu secara rutin saya membuat 2-3 kolom untuk berbagai media cetak maupun online. Rutinitas ini sudah saya jalani selama 15 tahun terakhir. Dulu, saat saya belum punya blog, aktivitas menulis di media cetak terasa “hambar”. Kenapa? Karena setiap kali selesai menulis dan diserahkan ke redaksi, saya tidak tahu tulisan itu juntrungannya ke mana.