Akhir tahun 2012 lalu iseng-iseng saya cari ruko untuk keperluan investasi seorang kerabat. Saya temukan lokasi pas di Mal of Indonesia (MOI). Si empunya ruko mematok harga pas Rp.3,5M. Saya coba tanya-tanya ke bank yang mendanai pembelian ruko tersebut berapa sesungguhnya harga pasar dari ruko tersebut. Kaget juga dengan informasi yang diberikan pihak bank, karena persis setahun, Desember 2011 ruko tersebut dilepas dengan harga Rp.1,7M. Itu berarti harga naik sekitar dua kali lipat dalam setahun.
Consumer 3000
Long weekend adalah momen yang super istimewa bagi warga kelas menengah Jakarta (dan tentu juga kota-kota besar lain di seantero Nusantara). Tak heran jika mulai Kamis siang (28/3) kemarin kehebohan mulai terasa. Di mana-mana jalanan Jakarta macet minta ampun. Macet parah mencapai puncak memasuki waktu Magrib dan kian menjadi-jadi hingga tengah malam. Penyebabnya dua hal. Pertama, rombongan keluarga-keluarga yang bersiap liburan ke luar kota baik melalui jalur darat, laut, maupun udara. Kedua, kaum profesional yang berburu tempat hiburan mulai dari mal, kafe, hingga kawasan wisata seperti Ancol atau Kemang.
Selama ini kita mengenal istilah “orang kaya baru” disingkat OKB. Kini, saya punya “mahluk baru” lain di era Consumer 3000. Mahluk baru tersebut saya beri nama “orang beken baru”, disingkat: OBB.
OKB adalah orang yang sebetulnya belum kaya-kaya amat, tapi sudah merasa kaya. Akibatnya lagak-gayanya sudah kayak orang kaya, bahkan melebihi orang kaya yang beneran.
Misalnya, punya kartu kredit nggak cukup satu, tapi lima atau bahkan sepuluh. Ditaruh berjejal-jejal di dompet agar waktu membayar di mal kartu kreditnya kelihatan semua. Misalnya lagi, punya smartphone nggak cukup satu. Bisa dua, bisa tiga: satu untuk nelpon, satu untuk BBM-an, satu lagi untuk berburu apps.
OBB setali tiga uang. Mereka sebetulnya belum beken-beken amat. Tapi lagak-gayanya sudah kayak orang beken, bahkan melebihi artis dan selebriti kondang. Jaim (“jaga image”) abis. Pokoknya sok beken abiiiissss!!!
Di era “revolusi media sosial”, dimana Twitter, Facebook, atau Youtube memungkinkan seseorang begitu gampang menjadi beken, wabah OBB menjalar begitu cepat layaknya wabah kolera. Di era “revolusi narsis”, dimana siapapun kini punya kesempatan untuk menjadi pusat perhatian dan sorotan khalayak, wabah OBB meluas begitu cepat layaknya wabah flu burung. Ingat, “connected customers create a narcissistic world”.
Dulu, untuk menjadi orang beken jalan yang ditempuh begitu panjang-berliku. SBY misalya, untuk bisa beken seperti sekarang harus berpuluh tahun merintis karir di kemiliteran, mendirikan Partai Demokrat, berjuang memenangkan pemilu, hingga kemudian menjadi presiden. Agnes Monica untuk bisa beken seperti sekarang harus merintis sejak dini menjadi penyanyi anak-anak, bertransformasi menjadi penyanyi remaja, hingga akhirnya menyandang sebutan sebagai diva pop. Atau, Anas Urbaningrum untuk bisa beken seperti sekarang harus merintis karir politik sejak mahasiswa di HMI, nyemplung di partai Demokrat hingga menduduki posisi puncak, dan akhirnya tersandung kasus Hambalang dan keluar pameo: “Gantung Anas di Monas” yang meroketkan popularitas.
Kini, untuk menjadi beken gampangnya minta ampun. Cukup punya 1000 follower di Twitter, kita sudah memproklamirkan diri sebagai orang beken. Cukup punya teman 1000 orang di Facebook, kita sudah memproklamirkan diri sebagai orang beken. Cukup pasang video di Youtube dilihat 1000 orang, kita sudah memproklamirkan diri sebagai orang beken.
Makanya di ranah Twitter, Facebok, atau Youtube kini penuh berjejal orang-orang yang menganggap dirinya beken. Dan mereka memutar otak melakukan personal branding, social media marketing, Twitter marketing, atau apapun namanya, untuk menjadi kian beken dan menjadi yang terbeken di antara orang-orang beken lain. Di tengah perlombaan orang beken tersebut narsis menjadi panglima: “narsis becomes way of life”
Seperti layaknya artis dan seleb kondang, para OBB ini jaim minta ampun. Pas ia sarapan di warteg kolong gang, twit tiarap, diam seribu basa. Tapi giliran ia nongkrong di Starbucks atau Sevel, twit seperti mitraliur memuntahkan peluru memberondong musuh. Ditel-ditel ia ceritakan: mulai dari Iced Caramel Macchiato yang dipesan, cewek yang jadi teman ngobrol, gadget yang dibawa, di samping tentu, “jepret-jepret-jepret” foto narsis untuk update status.
Pas nonton plus joget dangdut di hajatan sunatan tetangga twit berhenti berkoar. Tapi giliran nonton Java Jazz di JIExpo Kemayoran twit tak hentinya berkoar-koar. Panggung yang dikunjungi, artis yang ditonton, lagu-lagu yang dimainkan, merchandise yang dibeli, semuanya diobral ke followers. Tentu saja tak ketinggalan, “jepret-jepret-jepret” foto narsis untuk update status.
Tiap kali ada OBB yang obral narsis seperti ini, dalam hati saya selalu bergumam: “Terus gue harus bilang WOW gitu!?!”
Di Twitter dan Facebook, OBB adalah sosok yang baik hati dan tidak sombong. Pokonya mirip sosok “Boy” dalam film “Catatan Si Boy” jaman saya muda dulu. Di Twitter atau Facebook mereka harus tampil all-out sehingga pantas dipuja dan dikagumi oleh followers. Tipenya ada dua. Pertama, ada yang selalu bertutur halus, bijak, suka menasehati, banyak ilmu, menginspirasi, suka mengutip puisi-puisi cinta Khalil Gibran atau Taufik Ismail. Kedua, ada yang slengekan, nyentrik, jahil, usil, sok akrab. Walaupun selintas berbeda, sesungguhnya tujuan mereka sama: membangun citra berkilau yang pantas dikagumi dan digilai followers.
Sosok OBB paling gampang terlihat dari foto profil di Twitter atau Facebook. OBB paling suka gonta-ganti foto profil dan setiap foto tersebut selalu tampil prima. Tak peduli wajah berantakan, dipermak kanan-kiri pakai Photoshop, tampilan wajah pun berubah menjadi kinclong. Jerawat dihilangkan, hidung sedikit dimancungkan, jidat diratakan. Atau kalau wajah sudah terlalu berantakan dan tak tertolong lagi, berbagai efek Photoshop atau Instagram siap memanipulasi: dikaburkan, efek siluet, efek black & white, efek glow, dsb.
OBB juga paling gila sapaan, retweet, atau mention dari para followers atau teman. Sejam saja nggak mendapat sapaan atau mention dari followers atau teman, rasanya dunia mau kiamat. Ya karena itu berarti dia tidak menjadi sorotan, dia tidak sedang menjadi pusat perhatian, ia tidak sedang menjadi bintang.
Anda OBB? Tak usah malu, tak usah takut, tak usah sungkan-sungkan. Anda punya teman. Ya, karena perasaan saya juga mulai kejangkitan wabah OBB, uppss! Ssssst… jangan bilang-bilang!!! 😀 😀 😀
Artis yang paling saya tunggu-tunggu di Java Jazz tahun ini adalah Dave Grusin, Ya, karena ini adalah kali pertama musisi jazz legendaris ini tampil di Java Jazz. Yang belum tahu, Dave (kini berusia 79 tahun) adalah pianis, komposer, produser gaek pendiri GRP record, label yang begitu berpengaruh di jagad jazz tahun 1980-an. Saking spesialnya, Peter Gontha, pendiri Java Jazz, menyempatkan diri menyambut secara khusus sebelum sang maestro tampil Jumat malam (1/3) lalu.
Saat Dave menyapa penonton di awal penampilannya, ia mengungkapkan keheranannya bahwa Indonesia memiliki event jazz yang demikian besar. “Saya kaget luar biasa, begitu banyak musisi jazz dan penonton di sini,” ujarnya. Dave takjub, ternyata ada festival jazz begitu sukses, diselenggarakan oleh negara yang selama ini tak diperhitungkan. Mendengar kekagetan Dave tersebut saya pun bergumam, “Baru tahu dia…”
Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS) yang didukung oleh Inventure dan majalah SWA akan menggelar event: Indonesia Middle-Class Consumer Forum (IMC Forum) 2013: New Consumers, Big Opportunities, di Hotel Gran Melia Jl. Rasuna Said, Jakarta, Rabu, 27 Februari, 2013, pk.13-17. Seminar ini akan ditutup dengan penyerahan penghargaan: Indonesia Middle-Class Brand Champion 2013 kepada merek-merek di 54 kategori produk dari bank hingga FMCG, dari gadget sampai penerbangan.
Dalam forum ini juga akan dipresentasikan executive summary dari: Indonesia Middle-Class Consumer Report 2013, sebuah laporan hasil survei konsumen kelas menengah yang dilakukan di 9 kota utama Indonesia. Laporan berjudul: Uncovering the Aspirations, Values, and Behaviors ini merupakan hasil survei paling mendalam dan paling komprehensif mengenai konsumen kelas menengah di Indonesia.
Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS) yang didukung oleh Inventure dan majalah SWA akan menggelar event: Indonesia Middle-Class Consumer Forum (IMC Forum) 2013: New Consumers, Big Opportunities, di Hotel Gran Melia Jl. Rasuna Said, Jakarta, Rabu, 27 Februari, 2013, pk.13-17. Seminar ini akan ditutup dengan penyerahan penghargaan: Indonesia Middle-Class Brand Champion 2013 kepada merek-merek di 54 kategori produk dari bank hingga FMCG, dari gadget sampai penerbangan.
Dalam forum ini juga akan dipresentasikan executive summary dari: Indonesia Middle-Class Consumer Report 2013, sebuah laporan hasil survei konsumen kelas menengah yang dilakukan di 9 kota utama Indonesia. Laporan berjudul: Uncovering the Aspirations, Values, and Behaviors ini merupakan hasil survei paling mendalam dan paling komprehensif mengenai konsumen kelas menengah di Indonesia.
Temen-temen, karena rupanya banyak banget temen-temen yang berminat, saya punya 5 tiket lagi untuk mengikuti event luar biasa ini. Temen-temen yang berminat ikutan, silahkan mention via Twitter saya @yuswohady atau respon melalui blog saya ini. Cepetan ya… soalnya event-nya tinggal besok.
CU @ Grand Melia… 🙂
Hari Jumat lalu (11/1) saya ketemu dan ngobrol gayeng dengan mbak Petty Fatimah, pemimpin redaksi majalah Femina di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta. Banyak hal kita obrolkan, namun yang menarik adalah ngobrolin bagaimana Femina bertransformasi dan membangun strategi untuk merespons dua biggest challenges yang dihadapinya.
Pertama adalah serangan bertubi-tubi dari pesaing global yang sejak beberapa tahun terakhir tiba-tiba begitu agresif menyerbu Tanah Air. Seperti kita tahu, 5-10 tahun terakhir majalah-majalah wanita global seperti koor tiba-tiba berebutan masuk ke Indonesia dengan menawarkan konten bernuansa global woman lifestyle. Kedua, serangan “tsunami digital” yang secara disruptive menyapu seluruh print media tanpa pandang bulu. Terakhir kita mendengar kabar mengejutkan, Newsweek yang sudah beredar 80 tahun akhirnya keok juga.
Consumer 3000 (#c3000) adalah sebutan saya untuk konsumen kelas menengah Indonesia, sementara entrepreneur 3000 (#e3000) adalah sebutan saya untuk wirausahawan kita yang berasal dari kalangan kelas menengah. Kenapa entrepreneur 3000? Ya, karena pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa di Indonesia (jumlahnya mencapai 8-9 juta kelas menengah baru per tahun) berpotensi memicu gelombang tumbuhnya wirausaha yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya, kelas menengah merupakan sumber potensial bagi terbentuknya kelompok wirausahawan (pool of entrepreneurs) yang sangat strategis bagi perekonomian Indonesia. Pertama, karena kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang berpengetahuan (kowledgeable) dan punya potensi inovasi dan kreativitas amat tinggi (Richard Florida menyebutnya “creative class”). Kedua, mereka memiliki kemampuan pemupukan modal yang baik karena memiliki cukup duit menganggur (discretionary income). Ketiga, mereka juga kelompok masyarakat yang paling melek teknologi, terutama ICT (information & telecommunication technology).
Dulu waktu saya masih tinggal di kampung, tahun baru adalah hal biasa. Pergantian tahun lewat begitu saja tanpa kembang api memecah-mecah langit, tanpa perayaan glamor di mal-mal, tanpa selebrasi di kafe-kafe atau hotel-hotel berbintang, tanpa konser musik semalaman, tanpa ada “hitung mundur” yang mendebarkan.
Dulu pergantian tahun meluncur mulus dengan kekhusukan, kesederhanaan, dan refleksi penuh makna. Kini tahun baru begitu bersinar, begitu penuh dengan perayaan, begitu penuh dengan glamor dan kehedonisan. Dulu penuh kekhidmatan, kini penuh dengan hingar-bingar. Dulu penuh kepolosan, kini penuh dengan kosmetik.
Wajar saja, karena dulu waktu di kampung saya masih pusing tujuh keliling bergumul dengan urusan perut. Kini, ketika urusan perut sudah terlewati, kebutuhan dan tuntutan kita akan tahun baru menjadi kian sophisticated. Tahun baru yang dulu kita lewati dengan begitu enteng dan sederhana sekarang menjadi begitu kompleks dan neko-neko.
Bagaimana kita semua kini merayakan tahun baru? Saya akan mencoba memberikan laporan pandangan mata langsung dari TeeKaaaPeeee…!!!
Saya menyebutnya “early AM market”. Idenya dari judul lagu jazz fusion favorit saya di tahun 1980-an “Early AM Attitude” besutan duo musisi jazz kondang Dave Grusin dan Lee Ritenour. AM sendiri singkatan dari “ante meridiem” yaitu rentang waktu antara jam 12 malam hingga jam 12 siang. Jadi “early AM” adalah rentang waktu di sekitar pukul 12 tengah malam hingga 3 dini hari.
Saya menamainya “early AM market” untuk menyebut peluang pasar luar biasa yang muncul di rentang waktu tengah malam hingga dini hari. Peluang pasar ini mendadak-sontak marak luar biasa tiga tahun terakhir seiring dengan tumbuh pesatnya konsumen kelas menengah (“Consumer 3000”) di Indonesia. Maraknya pasar baru inilah yang membuat pemain seperti 7-Eleven (“Sevel”) mencapai sukses luar biasa, layanan Indomaret 24 jam begitu mencorong, atau McCafe begitu digandrungi anak muda.