Awalnya dari buku yang saya tulis Mei 2013 lalu, Beat the Giant. Buku ini merupakan refleksi keresahan saya terhadap tren kian mengkhawatirkannya dominasi merek-merek global di bumi Nusantara. Di situ saya ungkapkan bahwa setidaknya dalam lima tahun terakhir, merek-merek global begitu menggebu melakukan ekspansi ke pasar Indonesia seiring tumbuh pesatnya konsumen kelas menengah. Industri demi industri, kategori demi kategori, satu-persatu mulai dikuasai oleh pemain-pemain asing: otomotif, elektronik, telekomunikasi, perbankan, farmasi, FMCG, periklanan, dst-dst.
beat the giant
Temen-temen yuk ikutan PPM Book Talk membahas buku baru saya BEAT THE GIANT: Strategi Merek Indonesia Menandingi Merek Global dan Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Topiknya: “Strategy to be a Global Players to Face the Global Competition”, bagaimana strategi merek Indonesia mengungguli merek-merek global.
“Kemerdekaan Merek Indonesia” adalah istilah yang saya berikan untuk merujuk kondisi di mana merek lokal Indonesia berjaya di negerinya sendiri, menjadi “tuan rumah” di negerinya sendiri. Kondisi ini terwujud ketika sebagian besar rakyat Indonesia menggunakan merek-merek bangsa sendiri dan merek-merek bangsa sendiri itu sekaligus juga dimiliki bangsa sendiri.
Tak hanya memakai merek-merek bangsa sendiri mereka juga bangga dan passionate menggunakan merek bangsa sendiri.
Layaknya rakyat Jepang bangga menggunakan Sony atau Toyota di masa-masa awal kejayaan merek-merek tersebut. Layaknya rakyat Korea Selatan bangga menggunakan Hyundai atau Samsung. Atau layaknya rakyat China yang bangga menggunakan Baidu ketimbang Google (tahun lalu market share Baidu mencapai hampir 80%, sementara Google hanya 15%).
Liverpool tadi malam memukau puluhan ribuan fans di Senayan. Gelora Bung Karno pun berubah warna dari merah putih menjadi merah menyala. “Indonesia Raya” kalah berkumandang oleh “You’ll Never Walk Alone”, chant kebanggaan The Reds. Gerrard layaknya dewa dielu-elukan para fans (terus terang saya iri kenapa pemimpin negeri ini tak ada yang dielu-elukan rakyatnya layaknya Steven Gerrard dielu-ulukan fans fanatiknya). Itulah kehebatan global brand bernama: Liverpool FC.
Liverpool adalah salah satu the most admired brand di dunia yang memiliki komunitas konsumen (para fansnya di seantero jagad) yang fanatik abis. Mereka sudah menjadi brand evangelist (pembela merek fanatik) yang tak hanya sekedar nonton dan mengoleksi jersey/merchandise The Reds, tapi juga mengajak teman, tetangga, teteh-aa’, suami-istri, anak, siapapun untuk mengagumi klub yang bermarkas di Anfield ini.
Jumlah mereka sekarang mencapai 240 juta di seluruh dunia, di mana 16 juta di antaranya ada di Indonesia. Wow, Indonesia adalah pasar yang luar biasa bagi Liverpool. Di Asia Indonesia hanya kalah dari Cina dengan fans mencapai 60 juta. Jutaan fans inilah yang memutarkan uang dan menghasilkan pundi-pundi triliunan rupiah bagi Liverpool.
Ekspansi Asia
Karena alasan pasar itulah Liverpool hadir di Jakarta. Yup, “there ain’t no such thing as a free lunch”. Jangan keliru. Mereka hadir bukan agar persepakbolaan Indonesia maju. Bukan pula untuk memberikan latih-tanding agar tim Garuda tak kalah melulu. Mereka hadir tak beda dengan Lady Gaga atau Beyonce yang menggelar konser di sini. Mereka hadir untuk meraup pasar Indonesia yang sedang ranum-ranumnya.
Jonathan Kane, International Business Development Director, Liverpool beberapa waktu lalu mengatakan di Bangkok bahwa Asia merupakan pilar bagi pendapatan Liverpool. Asia merupakan sumber pendapatan kunci dari lisensi penyiaran televisi dan media, iklan/sponsorship, dan tentu dari tiket pertandingan karena kini makin banyak kelas menengah Asia yang berlibur ke Inggris untuk nonton bola.
Liverpool sangat serius menggarap pasar Asia karena sekitar setengah pendapatan Liverpool (tahun lalu sekitar $300 juta) saat ini didapatkan di luar Inggris dimana sebagian besar di peroleh dari pasar Asia. Sponsor-sponsor besarnya mulai dari Standard Chartered, Chevrolet and Carlsberg menggunakan Liverpool sebagai senjata untuk melakukan penetrasi ke pasar Asia termasuk tentu Indonesia.
Ekspansi Liverpool (dan klub-klub Eropa lain seperti Manchaster United, Juventus, atau Real Madrid) ke Asia bukanlah hal aneh mengingat Eropa dan Amerika sekarang masih didera krisis (Upss!!! kota Detroit yang menjadi pusat otomotif AS bangkrut karena terlilit hutang). Ketika sumber pendapatan di Eropa terancam, wajar saja kalau klub-klub tersebut lari ke Asia yang memang kini sedang menggeliat.
Secara agresif mereka menggaet mitra-mitra sponsor lokal; mempeluas basis penonton TV bola, dan menumbuh-suburkan komunitas-komunitas fans di seluruh pelosok Asia termasuk Indonesia. Tujuannya jelas: agar hak siaran, sponsorship, dan merchandise mereka laku keras di Indonesia. Makin laku keras dagangan mereka, makin keras pula devisa kita melayang.
Tuan Rumah
Karena itu, kedatangan Liverpool (dan Chelsea, dan Arsenal, dan Juventus, dan klub Eropa lain yang nanti bakal ke Jakarta) sesungguhnya menyimpan keprihatinan. Prihatin melihat kenyataan bahwa dominasi merek global di bumi pertiwi telah meluas kemana-mana, termasuk untuk urusan sepak bola. Dan yang menyedihkan, di tengah dominasi itu kita hanya sekedar menjadi pasar empuk bagi mereka.
Bulan Mei lalu saya menggelar event Indonesia Brand Forum (IBF) untuk mengingatkan kita semua mengenai pentingnya merek lokal membangun kemampuan dan daya saing agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ide itu muncul ketika saya melihat kenyataan bahwa dominasi merek-merek global di pasar Indonesia sudah merasuk hingga ke tulang sumsum.
Di situ saya contohkan, di industri telekomunikasi misalnya, kini hampir semua merek di industri ini adalah milik asing (kecuali Telkom). Di industri perbankan setali tiga uang, gelombang pembelian bank-bank lokal oleh bank-bank asing berlangsung begitu massif sehingga praktis bank-bank swasta besar kita kini dimiliki asing (untung BNI, BRI, dan Bank Mandiri masih kita miliki).
Tak hanya itu, di hampir di semua industri kita, mulai otomotif, farmasi, toiletris, kosmetik, ritel, fashion, elektronik rumah tangga, gadget, film, konser musik, restoran siap saji, hingga makanan/minuman, kini pasarnya dikuasai oleh merek-merek asing. Mau bukti? Coba Anda ke kamar mandi atau ke dapur, berapa banyak merek lokal yang Anda temui di situ? Ujungnya bisa ditebak: Indonesia hanya menjadi pasar, tanpa pernah bisa menjadi pemain diperhitungkan di negeri sendiri.
Good, Bad, Ugly
Dengan sedikit backround di atas, tujuan saya menulis kolom ini sesungguhnya cuma satu, yaitu ingin curhat terkait kedatangan Liverpool di Jakarta. Saya pengin menumpahkan perasaan saya yang campur-aduk antara senang (“good”), galau (“bad”), dan sangat sedih (“ugly”).
Good, senang, karena saya mendapatkan tontonan kelas dunia dari seniman-seniman bola sekelas Gerrard, Alberto, atau Downing yang pasti tidak saya dapatkan dari tim lokal manapun di negeri ini.
Bad, galau, karena kedatangan Liverpool, Arsenal, Real Madrid, dan klub Eropa mana lagi nanti, merupakan momentum kebangkitan merek-merek sepak bola global mendulang emas di bumi pertiwi. Kita hanya menjadi pasar empuk, dengan risiko fatal tiap tahun devisa kita terangkut ke Eropa.
Ugly, sedih sekali, karena ketika suatu ketika pasar sepak bola kita betul-betul dikuasai merek-merek asing, maka barangkali persepakbolaan nasional akan kian kerdil. Penonton makin sepi karena loyalitas dan fanatisme anak negeri sudah diberikan kepada klub global. Begitu juga kompetisi/turnamen di dalam negeri kian sepi karena dana sponsorship perusahaan-perusahaan nasional kian terhisap oleh klub-klub ternama global.
Saya takut kalau nantinya lagu “Garuda di Dadaku” tak pernah lagi nyaring berkumandang di Gelora Bung Karno seperti yang kita temukan saat timnas ditekuk Arsenal 0-7 akhir pekan lalu.
Smart Flanker adalah merek-merek lokal yang by-default tidak memiliki local advantage yang kuat seperti pengetahuan dan pemahaman terhadap pasar lokal, proses yang mengacu pada kearifan lokal, atau penggunaan bahan-bahan lokal yang unik. Di samping itu, dalam hal keuangan, SDM, manajemen, dan teknologi, merek-merek dalam kelompok ini kemampuannya masih belum bisa menyamai pemain-pemain global yang berada di posisi global best practice.
Artinya, dari sisi ukuran perusahaan dan besarnya modal, dari sisi kemampuan manajemen operasi, pemasaran, SDM, dan sebagainya; juga dari sisi kecanggihan penguasaan teknologi para pemain lokal di kelompok ini relatif tertinggal. Perusahaan-perusahaan skala UKM, pemain lokal di daerah, bank-bank daerah, atau perusahaan keluarga yang masih dikelola secara tradisional, harus memainkan peran sebagai smart flanker ini.
Karena keterbatasan strategic resources tersebut, para pemain smart flanker tak bisa bersaing dengan cara berhadapan langsung (head to head) melawan pemain global. Mau tak mau mereka harus memainkan strategi menghindar (flanking) dan menciptakan rule of the game sendiri yang sulit dimasuki dan disaingi oleh pemain global.
Kreatif
Karena posisi yang tidak menguntungkan ini, maka inovasi dan kreativitas dalam membangun strategi dan model bisnis unik, serta menciptakan posisi persaingan (competitive position) yang berbeda menjadi faktor kunci kemenangan. Ketika sumber daya yang mereka miliki terbatas, maka aset terbesar perusahaan-perusahaan dalam kelompok ini adalah kreativitas: “creativity is the smart flanker’s currency of success”.
Tak mengherankan pemain-pemain smart flanker adalah perusahaan-perusahaan yang mampu mencuri pangsa pasar melalui pendekatan-pendekatan yang kreatif. Sebut saja restoran D’Cost dengan pendekatan smart value-nya; Ranch Market dengan pendekatan blue ocean strategy; atau MAK dengan pendekatan guerrilla marketing.
Kalau local challenger menghadapi pemain global dengan cara menyerang (attacking) dengan memanfaatkan keunikan lokal yang mereka miliki (baca Beat the Giant, 2013), maka pemain smart flanker justru sebaliknya menghindari perbenturan langsung dengan pemain global.
Kenapa demikian? Karena perbenturan secara langsung tentu akan menghasilkan sebuah pertarungan yang tidak berimbang (“David vs Goliath” games), yang begitu gampang ditebak siapa pemenang dan pecundangnya. Seni memainkan peran sebagai “flanking player” inilah yang menjadikan persaingan di kalangan pemain-pemain ini menarik diamati.
Flanking
Strategi flanking adalah konsep strategi pemasaran yang diadopsi dari strategi militer. Intinya, jika Anda memiliki sumber daya yang terbatas dan tak berimbang dibanding pesaing, maka Anda harus meminimalkan kekalahan dengan menghindari konfrontasi secara langsung. Prinsip dasarnya adalah: “rather than take a competitor head-on, you look for an area that is uncontested.”
Di dunia pemasaran, strategi flanking umumnya dilakukan dengan menggunakan tiga prinsip berikut:
Avoid Confrontations, yaitu mengindari konfrontasi dan perbenturan secara langsung dengan pesiang. Gerakan flanking umumnya dilakukan di area-area yang sepi dari peperangan langsung dengan target pesaing. Alat ampuh untuk melakukan strategi ini ini adalah dengan melakukan pendekatan segmentasi yang berbeda dengan pesaing dominan. The art of defining segmentation approach menjadi kunci keberhasilan pemain flanker.
D’Cost mencoba menghindari persaingan bersimbah darah (red ocean market) dengan mengambil posisi unik sebagai value innovator. Dengan mengusung konsep “Kualitas Bintang Lima, Harga Kaki Lima”, D’Cost menawarkan menu seafood berkualitas (rasa enak, tempat nyaman, layanan cepat, dll.) dengan harga yang terjangkau konsumennya. D’Cost juga menghindari konfrontasi langsung dalam melakukan komunikasi pemasaran dengan mengusung format promosi yang out of the box dan menentang arus.
Move Quickly and Quietly, yaitu bergerak dengan cepat dan tenang sehingga tak terendus oleh pesaing gajah. Karena cepat dan tak teredus, maka gerakan ini umumnya mengasilkan serangan mengejutkan yang bisa dengan telak merobohkan pemain raksasa sekalipun. “The element of surprise is worth more than a thousand tanks,” adalah ungkapan yang diyakini keampuhannya oleh para panglima perang hebat.
Pada masa-masa pertama beroperasinya awal tahun 2000-an, Lion Air adalah pemain flanker yang luar biasa. Ia melakukan gerak cepat dan tak terendus lawan saat memulai strategi low fare (tarif murah) yang diluncurkan saat ia membuka rute Jakarta-Medan tahun 2001. Strategi harga murah ini diiringi dengan efisiensi dalam penerbangan (inflight) berupa layanan no frills (tanpa makanan). Bentuknya, nasi diganti roti yang menghemat sekitar Rp 12 ribu/penumpang karena tak lagi menggunakan alumunium foil.
Don’t Be Threatening, yaitu memunculkan gerak selembut mungkin sehingga jangan sampai aksi tersebut memicu ancaman bagi pesaing besar. Dengan sumber daya yang melimpah si pesaing dominan arus dibuat agar selalu berada di zona nyaman (comfort zone) dan agar mereka tak pernah berpikir untuk melakukan serangan balik.
Ketika tahu bahwa kekuatan pertempuran bakal tidak berimbang pada tahun 2000, Mega Andalan Kalasan (MAK), produsen hospital equipment yang bermarkas di Kalasan Yogyakarta, sengaja menyingkir dari Jakarta, pasar yang saat itu paling ranum untuk diperbutkan. Dengan cantik MAK menghindar dari si pemain dominan, Paramaount dari Jepang, masuk ke rumah sakit kabupaten di seluruh penjuru Tanah Air agar tidak menjadi ancaman langsung.
Menjadi pemain liliput bukanlah sebuah kutukan. Kondisi serba terbatas justru akan membuat Anda berpikir cerdas dan kreatif ala Smart Flanker.
Jumat malam (5/7) lalu di markas Obrolan Langsat (#Obsat), Jl. Langsat, Kebayoran Baru, saya kumpul bareng teman-teman Twitter ngobrol ngalor-ngidul berbagi dan bertukar ide ditemani “sego kucing” (menu favorit angkringan khas dusun Mbayat, Klaten) dan teh jahe panas kebul-kebul. Terlalu high-end kalau disebut forum diskusi; mungkin lebih tepat disebut “cakrukan” mengacu pada tradisi kongko-kongko yang dulu waktu mahasiswa sering saya lakukan di warung angkringan pojok kampus UGM, Bulaksumur.
Di situ komplit berkumpul mulai dari entrepreneur, penulis buku, wartawan, aktivis dan pemimpin komunitas (movement leader), konsultan, pakar HAKI (hak atas kekayaan intelektual), sampai selebritas stand-up comedy. Seru banget kami ngobrolin brand lokal. Kami ngobrol tentang brand lokal yang kian terhimpit oleh ekspansi brand global. Kami seru sharing mengenai beberapa local cool brand (seperti: Kopi Kultur di Bali atau Sour Sally yang banyak dikira sebagai brand asing) yang membanggakan. Tak ketinggalan kami membedah kampanye word of mouth batik dan fenomena “boom distro” tahun 2000-an.
Hi temen-temen,
Kumpul-kumpul yuk…
Kita nongkrong di Obsat (Obrolan Langsat) Jl. Langsat Kebayoran Baru untuk ngomongin kontribusi anak negeRI bagi Indonesia, ditemani menu spesial “sego kucing” plus “teh Blonthang“. Kita akan ngobrolin inisiatif-inisiatif yang bisa kita lakukan dalam rangka membangun #merekLokal Indonesia khususnya di industri kreatif dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Sebelum kita ngobrol santai dan beradu ide, kita akan mendengarkan sharing kecil dari Handoko Hendroyono @handoko_h (penulis buku “Brand Gardener“) mengenai C2-MTL Conference yang dihadirinya di Montreal, Kanada bulan lalu. C2-MTL (commerce + creativity) adalah annual global conference bergengsi di dunia yang membahas topik-topik inovasi dan kreativitas bisnis. Kita juga akan mendengarkan sharing mengenai “Nasionalisme Konsumen ala Turki” oleh mas Try Atmojo @TryAtmojo mewakili temen-temen komunitas Tangan Di Atas (TDA) yang bulan lalu mengadakan kunjungan ke Turki.
Kita akan kumpul hari Jumat, 5 Juli 2013, pk.19.00, di markas Obsat Jl. Langsat 1 No. 3A. Kebayoran Baru. Ayok yang mau ikut langsung datang, nggak pakai ndaftar-ndaftar segala. Menu sego kucing siap disantap secara “self-service” alias bayar sendiri-sendiri.. kwkwkwkkwkkk… 😀
Viva merek lokal!!!
Beberapa waktu lalu saya meluncurkan buku baru Beat the Giant dalam ajang tahunan Indonesia Brand Forum (IBF) 2013 di JCC Jakarta. Secara umum buku ini menawarkan ide mengenai strategi merek lokal Indonesia dalam menghadapi raksasa-raksasa global di pasar bumi pertiwi. Di dalam buku tersebut saya menawarkan empat posisi strategis yang bisa diambil oleh para pemain lokal dalam menghadapi pemain global dengan mengacu pada sumber daya (resources) yang mereka miliki.
Hasil riset saya selama setahun terakhir terhadap 30-an merek lokal yang sukses menjadi tuan rumah di negeri sendiri menemukan resep sukses yang sangat menarik. Yaitu bahwa modal paling berharga yang dimiliki pemain lokal untuk memenangkan persaingan melawan merek global adalah keunggulan-keunggulan lokal (local advantages) yang bisa dijadikan titik pembeda (point of differentiation) mereka.
Saya kagak tahu. Barangkali karena bangsa ini kelamaan dijajah, maka kita kemudian menganggap bangsa sendiri sebagai bangsa kelas teri, kelas gurem, kelas momor buncit. Apapun yang dibikin bangsa ini – merek, produk, jasa, teknologi, apapun – selalu kita anggap sebagai kelas teri, kelas gurem, kelas nomor buncit. Sebaliknya apapun yang dibikin oleh asing selalu kita anggap sebagai kelas kakap, kelas utama, kelas nomor wahid.
Dalam gelaran Indonesia Brand Forum (IBF), 20 Mei 2013 lalu, dalam sambutan pengantar, saya mengungkapkan bahwa sebagai anak bangsa kita harus cinta merek Indonesia. Saya tekankan di situ bahwa kita harus “cinta merek Indonesia”, tidak cuma sekedar “cinta produk Indonesia”. Yang tidak begitu peduli dengan pengertian “merek” dan “produk” barangkali akan menganggapnya sambil lalu saja. “Lhah, produk dan merek kan sami mawon… sama saja!”