Kemarin Tokopedia mengumumkan kenaikan tarif biaya jasa aplikasi dari Rp 1000 mjd Rp 2.000-3.000.
Transaksi dengan nominal Rp0-Rp1.000.000 dikenakan biaya Rp 2.000, sedangkan transaksi di atas Rp1.000.000 dikenakan biaya Rp 3.000.
Spontan netizen pun kaget dan mengeluhkannya.
Para SELLER menyayangkan langkah ini karena akan semakin membebani struktur biaya dan produk mereka kian tak kompetitif karena adanya beragam pungutan di e-commerce.
Sementara BUYER juga tereak, karena belanja di e-commerce tak murah lagi seperti dulu.
Inilah ERA BARU e-commerce.
Era dimana operasinya tak lagi “DISUBSIDI” oleh mekanisme BAKAR DUIT investor.
Menarik mengulik hasil survei terbaru Inventure-Alvara (Februari, 2023; N: 620) yang menguak tren turunnya pengguna platform e-commerce di Indonesia.
Survei itu mengungkap pengguna e-commerce saat ini mecapai 66% dari responden. Namun ketika ditanya, apakah akan terus menggunakannya di masa mendatang, maka hanya 60% yang mengatakan: ya.
Artinya ada penurunan sekitar 6% dari 66% ke 60%.
Kenapa bisa turun?
Pertama, karena pandemi sudah lewat. Kalau selama 3 tahun pandemi terjadi lonjakan konsumen belanja online maka kini mulai terkoreksi menuju keseimbangan baru.
Kedua, era “BAKAR DUIT” telah lewat karena dana segar dari investor tak bisa didapat lagi karena mereka terhempas krisis global.
…Money Burning HYPE is over!!! ????
Ketiga, akibat berakhirnya era “bakar duit”, platform e-commerce seperti Tokopedia dipaksa untuk “GO PROFIT”. Caranya ada dua.
#1. Memangkas COST dengan melakukan PHK besar-besaran ????
#2. Mendongkrak REVENUE dengan menaikkan biaya layanan aplikasi dari Rp 1000 menjadi Rp 2000-3000 seperti sekarang ini.
Dengan makin mahalnya e-commerce ke depan, akankah mereka tetap kompetitif dan sustain?
Let’s see…
Follow ???? @yuswohady