Lima tahun terakhir mal-mal di Jakarta babak-belur terhempas TRIPLE DISRUPTION.
Pertama, DIGITAL DISRUPTION dimana startup digital seperti Toped or Shopee begitu cepat mengambil kue mereka.
Kedua, PANDEMIC DISRUPTION dimana wabah Covid-19 mengharuskan pemerintah melarang konsumen datang ke tempat high-crowd seperti mal.
Ketiga, MILLENNIAL DISRUPTION dimana generasi mager seperti milenial/zilenial makin malas ke mal karena kini belanja dilakukan via apps.
Makanya mal-mal legendaris zaman dulu seperti Mal Blok M, Blok M Plaza, Plaza Semanggi, atau Ratu Plaza sepi bak kuburan.
Hidup segan, mati pun tak mau.
Tapi apakah semata karena triple disruption, mal-mal tersebut terkapar?
Nggak juga, karena beberapa mal yang lain seperti Grand Indonesia, Mal Kelapa Gading, atau Mal Kokas masih tetap ramai.
So, sumber persoalan sesungguhnya datang dari mal-mal itu sendiri. Yaitu mereka malas berubah.
Mereka tak mampu merespon triple disruption sehingga tak relevan lagi di pasar.
Survival of the fittest. Siapa yang beradaptasi survive. Sementara yang tidak akan hilang ditelan zaman.
Lalu dengan tren ini, apakah dengan sendirinya mal akan punah dan tak relevan lagi?
Saya kira nggak.
Saya percaya dengan DIGITAL PARADOX, semakin banyak kita hidup di alam digital. Semakin kita MERINDUKAN alam fisikal.
Jadi semakin massif era digital, mal justru akan semakin penting berfungsi sebagai OASIS di tengah kepenatan kita tiap hari ada di alam digital.
Hanya saja mal era kekinian tak lagi sama dengan mal jenis mal Glodok City di era 1980an atau mal Blok M di tahun 1990an.
Inilah tantangan terbesar mal-mal yang sepi bak kuburan. Mereka harus bermetamorfose menjadi mal yang relevan bagi milenial/zilenial.
Kalau tidak, mal-mal itu akan “dibunuh” oleh mereka.
Persis seperti judul buku saya: “Millennials Kill Everything” …Millennials also kill mall.
Lebih tepatnya, “Millennials kill LAZY mall. Mal yang malas berubah.
Follow ???? @yuswohady