Banyak versi jawabannya, tapi saya akan melihatnya dari perspektif FOMO (Fear of Missing Out).
Kata kuncinya adalah : USER-GENERATED CONTENT (UGC).
Salah satu strategi yang saya usulkan di buku “FOMO Marketing” adalah : AUTHENTICITY.
Artinya, FOMO akan powerful jika konten datang bukan dari brand, tapi OTENTIK dari user (user-generated content).
Berbeda dengan IG, TikTok adalah platform yang sangat mendorong user untuk membuat dan menyebarkan konten organik buatan mereka sendiri.
TikTok memungkinkan user menjadi dirinya sendiri alias otentik melalui konten yang mereka ciptakan. TikTok memberi ruang kepada user untuk berekspresi.
TikTok menyediakan tools seperti : efek foto, musik bervariasi, input teks, or pengisi suara agar user dapat menciptakan kontennya sendiri.
Berkat TikTok, “Now, everybody becomes a great content creator.”
Berbeda dari Instagram yang lebih banyak mendukung pengguna dengan jumlah pengikut dan eksposur tinggi, TikTok memungkinkan setiap user untuk mendapat eksposur pada kolom FYP (for your page) yang merupakan halaman pertama yang dibuka user.
Proses penemuan konten dalam FYP di TikTok juga didasarkan pada preferensi dan kebiasaan menonton pengguna berkat algoritma berbasis minat (interest-based algorithm) daripada grafik sosial seperti Instagram.
Algoritma ini memungkinkan setiap pengguna terhubung dengan pengguna dengan minat dan selera yang sama meskipun mereka bukan pengguna terkenal.
Jantung dari UGC TikTok ini pada dasarnya diambil dari kebiasaan generasi muda khususnya Gen Z dalam konsumsi media dan pemasaran.
Bagi Gen-Z yang terpenting adalah S-I-N-C (Short-Form, Influencer Driven, Native, dan Co-created) yang berarti berdurasi pendek, digerakan oleh pemengaruh, organik, dan dibuat bersama.
Inilah mengapa pengguna TikTok didominasi oleh Gen-Z sebesar 60% di rentang usia 10-24 tahun yang tumbuh sebagai digital native.
Semakin user-generated, semakin FOMO, dan semakin Viral.
Follow ???? @yuswohady