Beberapa hari ini muncul pemberitaan, netizen Indonesia memberikan REVIEW, RATING, RECOMMENDATION (3R) buruk di Google/medsos kepada sungai Aare, salah satu destinasi unggulan kota Bern, Swiss.
Media lokal Swiss marah, karena 3R itu diberikan menyusul musibahnya Emmiril, anak Ridwan Kamil, di sungai tersebut, sehingga tidak obyektif dan tak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Alih-alih menghakimi ulah beringas netizen +62, saya mencoba melihat pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh marketer.
#1. SOCIAL PROOF
Dalam neuromarketing, 3R adalah bentuk dari SOCIAL PROOF, yaitu kecenderungan orang akan meniru aksi dari kebanyakan orang di sekitarnya.
Seringkali social proof ini misleading. Misalnya, jika kita sedang di luar kota, cari warung. Maka kita cenderung memilih warung ramai pengunjung. Padahal belum tentu warung yang sepi lebih tidak enak.
Inilah yang disebut COGNITIVE BIAS.
Begitupun sungai Aare. Ketika 3R dari netizen negatif, maka serta-merta wisatawan akan men-judge-nya jelek, padahal belum tentu begitu.
Ingat, menurut Robert Cialdini, “influence guru”, SOCIAL PROOF adalah mekanisme paling ampuh untuk mempengaruhi tindakan manusia.
#2. UNCONTROLLABLE
SOCIAL PROOF tak bisa dikontrol oleh marketer karena menjadi domain-nya konsumen.
Ketika netizen Indonesia sangat menyayangkan musibah yang dialami Emmeril, maka serta-merta mereka mencari “kambing hitam”, dan sungai Aare pun menjadi korban dalam bentuk 3R yang negatif.
Ini adalah bentuk COGNITIVE BIAS yang tak bisa ditolak dan dikendalikan.
#3. DON”T RESIST. CLARIFY
So apa yang harus dilakukan marketer menghadapi SOCIAL PROOF dan COGNITIVE BIAS?
Jangan dilawan dan jangan resist (ingat kasus Eiger). Yang harus kita lakukan adalah mengklarifikasi kondisi sebenarnya secara transparan dan mengimbangi 3R negatif di Google/medsos dengan komentar lain yang positif.
Follow ? @yuswohady
Visit ? https://consumeri.id/