Brompton pernah booming 2 tahun lalu, tapi kini uforia itu sudah berakhir ditandai jatuhnya harga hingga di titik terendah (kini sekitar Rp 35an juta).
Kala itu momentumnya pas. Pertama, akhir 2019 dengan adanya kasus Dirut Garuda yang “menyelundupkan” sepeda lipat yang sudah identik dengan gaya hidup kalangan atas tsb.
Dengan terkuaknya kasus tsb, tak sedikit masyarakat yang baru tahu kalau harga Brompton selangit, hingga puluhan juta.
Nah, itulah tipikal konsumen Indonesia yang suka gaya-gayaan. Begitu tersebar luas harga Brompton selangit, maka orang memburunya untuk gaya-gayaan, beli agar bisa ditujuk2an di IG or TikTok.
Boom pun terjadi dan harga Brampton tambah meroket lagi.
Faktor kedua adalah datangnya pandemi awal 2020. Begitu Covid-19 merebak, maka tren gowes pun melonjak. Produsen sepeda panen, harga meroket, harga Brompton pun kian selangit.
Namun pesta pora uforia sepeda itu kini telah lewat.
Jatuhnya harga Brompton adalah refleksi industri sepeda yang kini memasuki fase “koreksi” menuju next normal. Yaitu fase kesetimbangan baru seiring berakhirnya uforia.
Pertanyaannya, apakah pasar sepeda akan turun seiring berakhirnya pandemi?
Saya kira tidak.
Inilah yg disebut DEMAND SHOCK. Lonjakan permintaan yang dipicu oleh dua momentum (viral dan pandemi) di atas.
Setiap demand shock selalu diikuti dgn KOREKSI.
Setelah koreksi ini apakah kemudian bisnis sepeda akan terus terjun bebas? Saya kira tidak.
Setelah titik kesetimbangan tercapai, bisnis sepeda akan tetap tumbuh konsisten tapi memang pertumbuhannya tak sefenomenal saat terjadi demand shock.
Setelah pandemi usai, nggowes akan tetap menjadi olahraga favorit karna leisure-nya dapet, sehatnya juga dapet.
It’ll be PERMANENT…
Gowes is not only a sport. It’s a COOL lifestyle.
Follow @yuswohady
Follow @inventureknowledge