Buku Consumer Megashifts 100 adalah buku pertama di Indonesia (dan dunia) yang secara sistematis menguraikan 100 perubahan besar perilaku konsumen akibat pandemi.
Bagi Anda yang tidak sempat membaca 100 perubahan besar tersebut tak perlu berkecil hati, karena sesungguhnya ke-100 perubahan itu kalau disederhanakan hanya mencakup empat saja.
Saya menyebutnya The 4 Consumer Megashifts Model.
Berdasarkan model inilah teruraikan total 100 pergeseran besar konsumer yang mencakup 10 klaster perubahan yaitu:
1. Family Life: #1-6
2. Urban Life and the City: #7-20
3. Social and Religious Life: #21-26
4. Digital Life and Privacy: #27-35
5. Shopping and Consuming #36-48
6. Working and Professional Life: #49-59
7. Learning and Schooling: #60-67
8. Leisure and Travelling: #68-84.
9. Entertainment: #85-92
10. Flying and Airport: #95-100

Berikut ini adalah 4 consumer megashifts tersebut:
Megashift #1: Stay @ Home Lifestyle
Ketika mobilitas orang mulai dibatasi dan kita harus tinggal di rumah, maka terbentuklah gaya hidup baru dimana konsumen melakukan aktivitas working-living-playing di rumah. Pandemi mendorong kita memasuki era “the fall of mobility and the rise of stay @ home lifestyle“.
Di era pandemi rumah menjadi “center of our life“. Apapun aktivitas kita kini dilakukan di rumah:
- Working @ home,
- Schooling @ home,
- Shopping @ home
- Entertainment @ home
- Medication @ home
- Praying @ home
…Everything @ home
Ungkapan “home sweet home” di era pandemi menemukan rohnya kembali, ketika kini seluruh anggota keluarga “disatukan kembali” di dalam rumah. Sebelum pendemi orangtua-orangtua sibuk kerja, larut malam baru kembali ke rumah. Sementara anak-anak sepanjang hari disibukkan dengan sekolah dan kursus ini-itu. Setelah pandemi, fungsi rumah berubah secara fundamental menjadi sesungguh-sungguhnya rumah.
Sebelum pandemi rumah adalah “house” tempat numpang tidur. Namun di era pandemi, rumah betul-betul menjadi “home” tempat seluruh anggota keluarga membangun connection, attachement …and love.
Get the Book: Consumer Megashifts 100
Berbulan-bulan tinggal di rumah memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru yang bakal permanen membentuk kenormalan baru.
Tahun 2019, dalam buku Millennials Kill Everything kami mengatakan bahwa kaum milenial membunuh dapur dan kebiasaan memasak di rumah (homecooking). Iya, karena emak-emak milenial banyak berkecimpung di sektor publik sehingga tak punya banyak waktu di dapur. Ini diperparah lagi dengan layanan seperti GoFood atau GrabFood dimana masakan untuk keluarga bisa begitu gampang dipesan.
Namun blessing in disguise, datangnya pandemi membuat emak-emak milenial “kembali” ke rumah. Karena sepanjang waktu ada di rumah, maka kebiasaan memasak mulai bangkit kembali. Jadi kalau sebelum pandemi kami mengatakan homecooking telah dibunuh oleh milenial, maka kini pandemi telah menghidupkan dan membangkitkannya kembali. Dengan maraknya homecooking, bisnis frozen food misalnya, menjadi ikutan marak di masa pandemi.
Tak hanya homecooking, sebelum pandemi milenial juga membunuh kebiasaan menonton TV di rumah. Mereka menonton film atau acara TV melalui smartphone secara anytime, anywhere. Namun begitu pandemi datang, mereka dipaksa menonton melalui layar TV di rumah yang memiliki keunggulan dibanding smartphone karena berlayar lebih besar, sehingga lebih nyaman.
Tak heran jika TV dan radio bangkit kembali di masa pandemi setelah sebelumnya mulai ditinggalkan kaum milenial. Jadi milenial membunuh TV dan radio, tapi kemudian pandemi menghidupkannya kembali.
Homecooking dan kebiasaan nonton TV adalah dua contoh saja kebiasaan-kebiasaan baru yang marak di era pandemi. Ke depan akan bermunculan stay @ home lifestyle yang bakal bangkit dan berkembang sehingga menciptakan baik peluang maupun ancaman bagi para marketers.
Megashift #2: Back to Bottom of The Pyramid
Oktober 2017 kami menulis sebuah artikel di www.yuswohady.com berjudul “Welcome Leisure Economy” yang langsung viral dan menjadi perbincangan panjang di media sosial di seluruh Tanah Air. Di dalam artikel itu kami mengatakan bahwa kita telah memasuki era leisure economy dimana kebutuhan liburan, hiburan, aktualisasi diri, dan self-esteem semakin mendominasi wallet share konsumen Indonesia.
Di era itu, kebutuhan konsumen sudah berada di puncak piramida Maslow yaitu self-actualization dan self-esteem. Liburan tak lagi bersifat occassional tapi sudah menjadi habitual yang rutin dilakukan. Popularitas Instagram begitu meroket karena konsumen haus kenarsisan dan self-esteem. Industri hiburan dan gaming melonjak luar biasa.
Namun 2 Maret 2020, ketika pemerintah mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia, semuanya berubah frontal. Kebutuhan konsumen berbalik secara instan, dari awalnya berada di puncak Piramida Maslow kemudian jatuh di dasar piramida. Back to the bottom of the pyramid.
Kalau sebelumnya kebutuhan mereka didominasi oleh self-actualization dan self-esteem, maka kini kebutuhan mereka back to basic ke tiga kebutuhan mendasar yaitu: makan dan minum, kebutuhan kesehatan dan keselamatan, dan terakhir jangan lupa koneksi internet untuk menjalankan berbagai aktivitas dari rumah. Prioritas konsumen bergeser ke kebututhan-kebutuhan dasar dan memangkas seluruh pengeluaran di luar itu.
Tak hanya itu, krisis pandemi juga memunculkan rasa takut di kalangan konsumen. Ada tiga jenis ketakutan yang mereka hadapi yaitu: takut mati (fear of death), takut kehilangan pekerjaan dan penghidupan (fear of economic), dan takut tak bisa beraktualisasi (fear of actualizatinon).
Dengan adanya ketakutan dan kecemasan terhadap kondisi kesehatan, ekonomi, dan sosial yang tak menentu ini maka konsumen cenderung mengurangi belanja. Mareka akan berbelanja untuk kebutuhan-kebutuhan penting dan mendesak saja, yaitu kebutuhan-kebutuhan di “dasar piramida”.
Mereka cenderung menghemat dan menabung untuk berjaga-jaga jika ada anggota keluarga yang terkena COVID-19 karena kita tahu biaya obat dan rumah sakit sangat mahal. Belanja konsumen yang terpangkas inilah yang menjadi awal mula terjadinya krisis dan resesi ekonomi. Belanja yang rendah memicu terjadiny vicious circle menuju terjadinya pertumbuhan ekonomi rendah bahkan negatif.
Apa akibat dari rontoknya kebutuhan konsumen dari “puncak piramida” ke “dasar piramida” ini? Dampaknya luar biasa, layaknya gempa dahsyat diikuti tsunami.
Yang paling dalam dan disruptif adalah fenomena yang kami sebut “The Fall and the Rise of Industries“. Yaitu bergugurannya berbagai industri di satu sisi; tapi juga menggeliatnya berbagai industri lain di sisi yang lain.
Industri yang ketiban rezeki tentu saja adalah industri-industri yang melayani “dasar piramida” seperti groseri, masker dan APD, suplemen imunitas, jamu dan empon-empon, dan koneksi internet terutama fixed broadband. Sementara, tak terelakkan lagi, industri-industri di luar itu satu-persatu berguguran mulai dari: pariwisata dan perhotelan, transportasi dan penerbanagan, pertunjukkan dan hiburan luar ruang, fesyen, hingga mal.
Setelah vaksin tersebar luas tentu saja kebutuhan konsumen berangsur kembali ke tengah dan puncak piramida. Namun apakah perubahan ini bersifat reversible kembali dari new normal ke old normal? Perkiraan kami tidak begitu, perubahan dari old normal ke new normal akan menghasilkan keseimbangan baru hasil sintesa dari keduanya.
Karena itu kecepatan marketer beradaptasi ke kondisi next normal akan menjadi kunci kesuksesan di era pasca pandemi. Modal paling berharga bagi seorang marketers di era pandemi adalah kelincahan beradaptasi. Agility is the most valuable asset for every marketer.
Megashift #3: Go Virtual
Pandemi COVID-19 merupakan kekuatan perubahan yang amat dahsyat karena mega-bencana itu memaksa seluruh umat manusia untuk “go digital“. Itu sebabnya kami menyebut: “Pandemic is a catalyst for digital adoption.” Kita dipaksa untuk go digital karena dengan begitu kita bisa melakukan seluruh aktivitas kita secara virtual dengan sesedikit mungkin melakukan persentuhan fisik.
Pandemi telah memaksa konsumen bermigrasi dari ranah fisikal ke virtual. “After pandemic, every customer is a virtual customer” dimana sebagian besar kebutuhannya dipenuhi secara virtual.
Ya, di era low-touch dan less-crowd economy kita makin terbatas ke luar rumah, berinteraksi secara fisik, dan membuat kerumunan. Karena itu kita dituntut untuk melakukan seluruh aktivitas keseharian kita (berbelanja, belajar, rapat, memesan makanan, konsultasi dokter, berolahraga, bersosialisasi dengan teman, hingga beribadah) secara virtual dengan menggunakan perangkat digital.
Ambil contoh perilaku belanja masyarakat. COVID-19 telah mempercepat konsumen untuk melakukan belanja online. Pembelian konsumen pun mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk yang sifatnya adalah kebutuhan (needs). Permintaan tertinggi umumnya ada di produk-produk sehari-hari (home care), groseridan produk kesehatan seperti vitamin dan produk-produk pencegahan penyakit.
Artinya mereka mulai berbelanja online tak hanya untuk non-esensial goods tapi juga barang essentials dan daily needs.
Contoh lain adalah munculnya tren di masa pandemi yang kami sebut VirSocial (“virtual-social“) activities. Yaitu aktivitas bersama-sama baik nongkrong, olahraga, senam, meditasi dan yoga, hingga nge-game yang dilakukan secara virtual.
Aktivitas-aktivitas sosial selama ini dilakukan secara ketemu fisik, karena di situlah kenikmatan pengalamannya. Namun di tengah bahaya wabah yang mengintai setiap saat, konsumen dipaksa “menikmati” pengalaman virtual untuk aktivitas-aktivitas bersama mereka.
Sejak datangnya pandemi, kini marak aktivitas “nongkrong virtual” teman-teman sekantor, sekampung, sekomunitas, hingga sesama alumni SD hingga kuliah, yang dilakukan via Zoom. Ini adalah kebiasaan baru yang sebelumnya tak dikenal.
Aktivitas oleh raga seperti nge-gym, senam, zumba, hingga yoga/meditasi kini dilakukan dengan platform aplikasi virtual dimana instruktur dan masing-masing peserta melakukan aktivitasnya di rumah masing-masing. Untuk games, social gaming selama ini sudah lebih dulu berkembang namun dengan adanya wabah COVID-19, social gaming makin melejit pertumbuhannya.
COVID-19 bahkan turut mengubah perilaku masyarakat dalam beribadah. Pemberlakuan PSBB turut membatasi aktivitas di rumah-rumah ibadah seperti masjid atau gereja. Sholat berjamaah sementara tidak bisa dilakukan, begitu pula kebaktian atau ibadah di gereja. Solusinya adalah melakukan ibadah secara virtual.
Megashift #4: Empathic Society
Krisis COVID-19 merupakan bencana kemanusiaan paling dahsyat abad ini yang memakan korban jutaan nyawa manusia. Pandemi menghasilkan dual-crisis yaitu krisis kesehatan yang diikuti krisis ekonomi. Begitu banyak orang takut kehilangan nyawa, kehilangan pekerjaan, dan jatuh miskin. Di masa krisis pandemi kesulitan hidup dan kemiskinan melonjak demikian tajam.
Untungnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang gotong-royong dan suka tolong-menolong. Karena itu datangnya pandemi mendorong meningkatnya kepedulian dan empati di kalangan masyarakat.
COVID-19 melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan yang melahirkan tujuan bersama (common goal) untuk melawannya. Tak heran jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di Tanah Air.
Di tengah masyarakat yang mengalami kesusahan karena kematian akibat COVID-19 atau kehilangan pekerjaan karena resesi, muncul rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial dalam bentuk gerakan kepedulian, donasi, atau zakat-sodakoh.
Berbagai gerakan kepedulian dan aksi solidaritas dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat secara genuine untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang terdampak. Rasa simpati yang luar biasa diberikan kepada para tenaga kesehatan yang telah berjuang menyelamatkan para korban dengan risiko nyawa.
Pandemi menciptakan empathic society yang penuh empati, welas asih, dan sarat solidaritas sosial. Sesuatu yang langka ketika wabah belum mendera.
Apa insights berharga yang bisa dipetik dari lahirnya empathic society ini?
Kepedulian, empati, dan cinta kini menjadi alat untuk building brand yang paling ampuh di tengah merajalelanya wabah. Dengan making impact dan memberikan solusi terhadap kesulitan yang dialami masyarakat, maka perusahaan akan mendapatkan reputasi sebagai brand yang bertanggung jawab dan penuh empati. An empathic brand.
Dan kami berani mengatakan, the most impacful branding approach in the era of pandemic is empathic branding.