yuswohady.com
  • Home
  • Biography
  • Home
  • Biography
bu zamana kadar sadece babası ile beraber yaşayan mobil porno genç oğlan üniversiteyi bitirdikten sonra hiç bir iş bulamaz porno izle ve evinde pineklemeye başlar Babasının milf bir kadın porno resim ile evlenme kararı ile adeta dumura uğrayan oğlan bunu porno izle ilk başta istemese de belki onunla iyi anlaşacağını seks izle düşünerek evde olduğu zamanlarda canı sıkıldığında üvey annesi sex hikayeleri ile sohbet edeceğini düşünerek kendisini rahatlatır Babasının yeni evlendiği porno izle kadın beklediğinden de çok iyi anlaşan genç oğlan sapık ensest hislerine mobil seks hakim olamayarak üvey annesinin odasına gelip siker
yuswohady.com

Kenapa Nadiem, Risa Santoso, atau Putri Tanjung Harus Pegang Kendali?

by yuswohady November 25, 2019
November 25, 2019

Dua minggu ini para pemimpin milenial mendapat angin segar. Nadiem Makarim diangkat menjadi Mendikbud; Risa Santoso menjadi rektor termuda; dan terakhir minggu lalu 7 milenial diangkat menjadi Staf Khusus Jokowi.

Posisi-posisi penting di organisasi pemerintahan (eselon 1, 2, 3), di organisasi bisnis (posisi Manager dan GM ke atas), maupun organisasi nirlaba saat ini dipegang oleh para pemimpin dari generasi Baby Boomers (lahir 1946-1964) dan Generasi-X (lahir 1965-1980).

Memang, pemimpin milenial (lahir 1980-2000) kini seharusnya menduduki level kepemimpinan bawah-tengah organisasi. Karenanya tak heran ketika ada pemimpin dari kalangan milenial yang menduduki posisi kunci seperti menteri, rektor, atau staf khusus presiden kita menjadi heboh.

Namun keyakinan saya, makin banyaknya pemimpin milenial yang menduduki posisi-posisi teratas organisasi (menteri, dirjen, gubernur/bupati, CEO/direktur/GM) bakal menjadi sebuah “keniscayaan” karena adanya tuntutan perubahan dahsyat, ekstrim, dan super cepat yang kini sedang kita alami bersama.

Banyak sebutan diberikan para pakar kepada perubahan ekstrim itu: VUCA: “Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity” (Bennis-Nanus), “Inflection Point” (Andy Grove), “Disruption” (Clayton Christensen), Revolusi Industri 4.0 (Klaus Schwab), “The Age of Acceleration” (Thomas Friedman).

Menariknya, semua pakar sepakat bahwa perubahan itu tak lagi linier/inkremental tapi bersifat “patahan” (tectonic shift) dimana terjadi “keterlepasan” (decoupling) antara era lama dan era baru.

Artinya, era baru bukanlah kelanjutan (kontinuitas) dari era sebelumnya. Artinya, “new normal” yang dihasilkan oleh perubahan dahsyat tersebut sama sekali berbeda dari sebelumnya. Artinya, paradigma baru berbeda sama sekali dari sebelumnya.

Apa akibatnya jika perubahan itu berupa patahan bukan kontinuitas?

Akibatnya, pemimpin Boomers dan Gen-X yang begitu mumpuni bergumul dengan tantangan-tantangan era lama menjadi tak relevan lagi di era baru yang kini kita hadapi.

Kearifan (wisdom), gaya kepemimpinan (leadership style), kompetensi, nilai-nilai (values), perilaku (behavior/habit) mereka yang begitu ampuh menjadi solusi di era lama kini mandul alias tak mempan lagi menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian di era baru.

Berikut ini adalah alasan-alasan kenapa para pemimpin Boomers/Gen-X harus mulai mau legowo untuk menyerahkan “tampuk kekuasaannya” kepada para pemimpin milenial agar organisasi lebih cakap dan bisa keluar dari kemelut perubahan ekstrim di era baru.

Era Baru, Eranya Milenial
“Setiap zaman ada generasinya, setiap generasi ada zamannya.” Era kepemimpinan Boomers/Gen-X kini telah lewat dan harus digantikan oleh era kepemimpinan baru, yaitu era kepemimpinan milenial.

Pemimpin milenial dilahirkan dan dibesarkan di tengah tantangan-tantangan era baru: krismon 1998, alam demokrasi-reformasi, gejolak sosial-politik berbau SARA awal 2000an, revolusi digital (internet, media sosial, apps) pertengahan 2000an, krisis global 2008, dan terakhir revolusi industri 4.0 (big data, AI, IoT, hingga blockchain).

Karena dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah tantangan era baru, maka pola pikir, pola tindak, kecepatan respons, dan solusi yang mereka tawarkan kompatibel dengan situasi dan tantangan era baru. Pemimpin milenial terlahir untuk menjadi “obat penawar” bagi carut-marut persoalan era baru.

Pemimpin Boomers/Gen-X sebaliknya. Mereka terlahir dan dibesarkan di era lama yang berbeda sama sekali (decoupling) dengan era baru. Sehingga keyakinan, pola pikir, pola tindak, gaya kepemimpinan, pendekatan solusi yang mereka miliki kini sudah obsolet dan mulai tak kompatibel lagi dengan persoalan dan tantangan era baru.

Kualitas kepemimpinan Boomers/Gen-X hanya ampuh untuk mensolusikan persoalan dan tantangan era lama, namun tidak demikian halnya untuk era baru.

Konsekuensinya amat serius: Pemimpin Boomers/Gen-X banyak mengalami “gagal paham”, “gagal respons”, dan “gagal solusi” dalam menyelesaikan persoalan dan tantangan era baru. Mereka gagap di era yang baru. Wajar saja karena seumur-umur mereka tak pernah menemui dan mengalaminya.

Era disrupsi dan perubahan ekstrim adalah eranya milenial, bukan Boomers/Gen-X.

Mereka Bagian dari Masalah
Inilah handicap terbesar pemimpin generasi tua: Mereka merasa tahu dan berpengalaman karena puluhan tahun makan asam-garam.

Ketika perubahannya kontinuitas maka pengalaman puluhan tahun itu memang menjadi aset (keuntungan). Namun jika perubahan berupa patahan maka justru menjadi liabilitas (beban). Ya, karena dengan adanya decoupling, pengalaman panjang itu kini tidak relevan dan tidak terpakai lagi di era yang baru.

Nah, masalah peliknya justru di situ. Skill terpenting seorang pemimpin di era perubahan patahan adalah “unlearn” yaitu melupakan seluruh warisan (pengetahuan, pengalaman, resep sukses) masa lampau. Ya, karena dengan begitu seorang pemimpin bisa cepat move-on dan lebih agile menghadapi persoalan era baru yang sama sekali berbeda.

Persoalan terbesar pemimpin Boomers/Gen-X adalah, mereka masih terobsesi dengan pengalaman dan resep sukses masa lampau sehingga sulit unlearn dan move-on. Sebagai pemimpin, Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya.

Tak heran jika kini banyak organisasi yang diam saja jalan di tempat tak melakukan action apa-apa menghadapi disrupsi karena pemimpin-pemimpinnya banyak didominasi oleh pemimpin Boomers/Gen-X yang gagal unlearn dan gagal move-on.

Survei McKinsey Global Institute (2018) menemukan bahwa kunci sukses transformasi digital sebuah organisasi ditentukan oleh pemimpin yang agile bergerak dan cakap merespons disrupsi digital. Sekitar 70% responden mengatakan digital savvy leaders yang pola pikir, pola tindak, dan kecepatan responsnya fit dengan era digital menjadi faktor penentu kesuksesan transformasi.

Pertanyaannya, kalau pemimpin Boomers/Gen-X bermasalah dengan dirinya, bagaimana mungkin mereka cakap memimpin orang lain. Kalau pemimpin Boomers/Gen-X adalah masalah terbesar bagi organisasi yang butuh agile berubah, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi solusi terhadap persoalan-persoalan disrupsi yang menjadi keseharian era baru.

Mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi.

“Lead by Fear” vs “Lead by Optimism”
Beginilah perbedaan pola respons antara pemimpin Boomers/Gen-X dan pemimpin milenial:

Pemimpin Boomers/Gen-X melihat ontran-ontran disrupsi sebagai ancaman (threat), karena itu mereka meresponsnya dengan mindset ketakutan.

Sebaliknya, pemimpin milenial melihatnya sebagai peluang (opportunity) dan meresponsnya dengan optimisme luar biasa untuk memasuki era baru yang penuh kejayaan.

Sosok pemimpin milenial seperti Nadiem Makarim (GoJek), William Tanuwijaya (Tokopedia ), atau Ferry Unardi (Traveloka) melihat gelombang disrupsi dengan mindset optimisme untuk menghasilkan perusahaan-perusahaan hebat yang belum pernah ada sebelumnya dan untuk mencipta value yang luar biasa besar di era baru.

Sementara para pemimpin Boomers/Gen-X yang perusahaannya terdisrupsi melihatnya dengan ketakutan karena perusahaannya bakal tergerus.

Kepemimpinan yang sarat diwarnai ketakutan akan menghasilkan kecemasan, kebimbangan, kebingungan, kekacauan, ketegangan, keputusasaan, dan akhirnya kesalahurusan dan keblunderan. Saya menyebutnya: “lead by fear”.

Kini sebagian besar perusahaan inkumben (perusahaan besar yang sudah beroperasi belasan-puluhan tahun) yang umumnya dinakhodai oleh pemimpin Boomers/Gen-X dikelola dengan perspektif lead by fear. Karena pemimpinnya dipenuhi ketakutan, kecemasan, dan kebimbangan, maka organisasi hanya bisa diam menunggu digerus disrupsi.

Banyak juga perusahaan inkumben lain yang kelola dengan perspektif “lead by ignorance” dimana pemimpin Boomers/Gen-X gagal paham terhadap disrupsi yang terjadi. Karena menurut si pemimpin everything is ok, maka organisasi pun adem ayem berjalan seperti biasa tanpa sadar disrupsi akan menelan mereka.

Semoga penunjukkan Nadiem, Risa, dan tujuh stafsus Jokowi menjadi momentum baik penyerahaan “tampuk kekuasaan” dari pemimpin Boomers/Gen-X ke pemimpin milenial.

Karena disrupsi dan perubahan ekstrim memang menuntut pemimpin Boomers/Gen-X lengser. Dan pemimpin milenial pegang kendali.

 

Sumber foto: MNC Trijaya

Related posts:

  1. Nadiem dan Disrupsi Pendidikan Kita
  2. Kenapa Sekolah Akan Terdisrupsi?
  3. Jokowi atau Prabowo… Kemenangan Indonesia
  4. “Generation Cleansing”
  5. Selamat Tinggal Loyalitas di Tempat Kerja
0
FacebookTwitterWhatsappEmail
yuswohady

Yuswohady, Managing Partner Inventure. Author of 50+ books on business & marketing, incl. the best seller "Millennials KILL Everything" (2019) and "Consumer Megashift after Pandemic" (2020).

previous post
Di Banyuwangi, Setiap Lokasi Adalah Destinasi
next post
Marketing Outlook 2020 (1): The 3 Market MEGASHIFTS

Baca Juga

Covid-19: The Birth of WFH

March 20, 2020

Marketing Outlook 2020 (4): The LEAP Strategies

January 11, 2020

Millennials KILL Menikah

November 9, 2019

Pepsi Korban Milenial?

October 5, 2019

Milenial = Generasi Anti-Sosial

August 3, 2019

Mabuk “Dibunuh” oleh Generasi Milenial

July 20, 2019

Bagaimana Milenial Membunuh Album Foto

July 12, 2019

Millennials KILL Everything @ CNN Indonesia

June 2, 2019

Selamat Tinggal Loyalitas di Tempat Kerja

April 13, 2019

Millennials KILL Everything: “Ini Dia yang Dibunuh”

April 12, 2019

Leave a Comment Cancel Reply

Save my name, email, and website in this browser for the next time I comment.

Artikel Terbaru

  • Corona: A Serial Killer

    February 26, 2021
  • Sharing Economy in the Pandemic

    February 19, 2021
  • Syariah Universal

    February 12, 2021
  • Stay @ Home Lifestyle

    February 7, 2021
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks

    December 27, 2020
  • Best Business Books 2020: My Picks

    December 24, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (3)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (2)

    December 14, 2020
  • Industry Megashifts 2021 (1)

    December 14, 2020
  • 6 Forces of Change 2021

    December 13, 2020
  • Konsumen Indonesia Optimis

    November 28, 2020
  • Prospective Businesses for UKM

    October 14, 2020
  • UKM Outlook 2021

    October 11, 2020
  • New Omni Marcomm

    October 1, 2020
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi

    September 4, 2020
  • Family Life in the Pandemic Era

    September 4, 2020
  • 5 Digital Consumer Megashifts

    August 26, 2020
  • 15 Banking Consumer Megashift

    August 10, 2020
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends

    July 26, 2020
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends

    July 24, 2020

Langganan Artikel via Email

Recent Posts

  • Corona: A Serial Killer
  • Sharing Economy in the Pandemic
  • Syariah Universal
  • Stay @ Home Lifestyle
  • Best Business Book 2020 on COVID-19: My Picks
  • Best Business Books 2020: My Picks
  • Industry Megashifts 2021 (3)
  • Industry Megashifts 2021 (2)
  • Industry Megashifts 2021 (1)
  • 6 Forces of Change 2021
  • Konsumen Indonesia Optimis
  • Prospective Businesses for UKM
  • UKM Outlook 2021
  • New Omni Marcomm
  • Dunia Hiburan Terkoyak Pandemi
  • Family Life in the Pandemic Era
  • 5 Digital Consumer Megashifts
  • 15 Banking Consumer Megashift
  • New Normal 100: Leisure & Travelling Trends
  • New Normal 100: Digital Life & Privacy Trends
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube

@2020 - All Right Reserved. Designed and Developed by Wihgi.com


Back To Top