“Di Banyuwangi, setiap lokasi adalah destinasi; dan setiap program Pemkab adalah atraksi,” begitu kata Pak Azwar Anas, Bupati Banyuwangi.
Nyleneh kan?
Alasannya, karena ekonomi Banyuwangi berfokus pada pariwisata (tourism-focused economy) maka apapun aktivitas yang dilakukannya harus bisa mendatangkan turis sebanyak mungkin.
Karena itu setiap tempat di Banyuwangi harus dibikin sedemikian rupa agar bisa menjadi “destinasi wisata” yang mendatangkan turis.
Tak hanya itu, setiap program yang dibesut dinas-dinas harus dibikin sedemikian rupa agar menjadi “atraksi wisata” yang mendatangkan turis.
Contohnya adalah MPP atau Mal Pelayanan Publik.
MPP adalah tempat pelayanan perizinan terpadu satu atap yang berlokasi di seberang Taman Sritanjung Banyuwangi. Lokasi yang awalnya adalah mal yang mangkrak ini kini telah mengintegrasikan 203 jenis layanan dalam satu lokasi. Mulai dari akta kelahiran dan kematian, pembayaran retribusi daerah, pengurusan paspor hingga surat nikah.
Nah, oleh Pak Anas MPP ini disulap menjadi “destinasi wisata” favorit studi banding para ASN pemkot/pemkab dari daerah lain. Praktis setiap hari ada puluhan ASN dari daerah lain berbondong-bondong berkunjung ke MPP untuk melakukan studi banding.
Pada tahun 2017 misalnya, berdasarkan data terdapat 39.000 orang datang ke Banyuwangi untuk studi birokrasi. Kalau setahun ada 365 hari, maka rata-rata seharinya ada sekitar 105 “turis studi banding” datang ke Banyuwangi, banyak banget.
Contoh lain adalah pabrik kereta api PT INKA yang kini sedang dibangun di Banyuwangi.
Saat tahun lalu PT INKA menggandeng Stadler Rail Group dari Swiss untuk membangun pabrik di Banyuwangi Pak Anas “memaksa” agar pabrik tersebut menjadi destinasi wisata.
Caranya? PT INKA harus membangun museum KA yang terintegrasi dengan lokasi pabrik. Museum KA ini bakal menjadi wahana atraksi baru yang unik bagi Banyuwangi karena di daerah lain nggak ada. Tak hanya itu, Pak Anas juga meminta desain pabrik harus mengedepankan identitas budaya Banyuwangi terutama kekhasan Suku Osing. Dengan begitu pabrik KA tersebut menjadi penopang identitas pariwisata Banyuwangi.
Jadi tak hanya MPP saja yang menjadi destinasi wisata, pabrik pun bisa disulap menjadi destinasi wisata yang mendatangkan turis.
Contoh yang paling menarik adalah apa yang diistilahkan Pak Anas: “festival of things”.
Maksudnya, semua program dinas di Banyuwangi kalau bisa dibuat menjadi festival. Kita sering mendengar istilah internet of things yang bahasa mudahnya adalah digitalisasi semua hal. Oleh Pak Anas, istilah ini diplesetkan menjadi “festival of things.” Semua bisa difestivalkan.
Contohnya adalah “Festival Toilet dan Kali Bersih”.
Normalnya, menjaga kebersihan toilet dan sungai adalah programnya dinas kesehatan dan dinas lingkungan hidup, bukan dinas pariwisata. Namun oleh Pak Anas program tersebut difestivalkan sehingga bisa menarik turis.
Dengan difestivalkan setidaknya dua sasaran tercapai sekaligus. Pertama, mewujudkan budaya BAB di toilet bukan di sungai. Kedua, mendongkrak indeks daya saing pariwisata dari aspek health & hygiene. Dan ketiga tentu mendatangkan turis.
Pak Anas memang selalu nyleneh dalam mensolusikan masalah-masalah yang dia hadapi di Banyuwangi. Kata Pak Anas, itulah pola berpikir paradoks atau pola pikir “anti-mainstream” yang selalu membolak-balik logika dan cara berpikir orang waras.
Selintas terkesan nggak logis dan ngawur, namun ketika dirasa-rasakan substansinya, justru breakthrough dan melampaui pola berpikir linier pada umumnya.