Ambil contoh kenapa Kementerian Pariwisata lebih menggunakan merek Wonderful Indonesia ketimbang Pesona Indonesia untuk mempromosikan pariwisata Indonesia ke audiens global? Alasannya substantif, Karena menggunakan kata “wonderful” jauh lebih mudah, murah, dan efektif dibanding kata “pesona”.
Ketika kita menggunakan kata “wonderful” dari sisi brand association misalnya, konsumen global akan bisa langsung membayangkan bahwa Indonesia itu wonderful alias indah-menakjubkan. Tak hanya itu asosiasi positif ini juga mempermudah mereka membangun kedekatan dan koneksi emosional dengan merek Wonderful Indonesia. Dan inilah yang menjadi basis bagi pembentukan ekuitas merek.
Hal ini berbeda jika kita mengunakan kata “pesona”. Ketika audiens global tidak mengenal kata tersebut karena sebelumnya tidak hadir dalam memori otak mereka, maka sulit bagi mereka untuk bisa mengenal (brand awareness), mengasosiasikan (brand association), mengetahui atribut kualitas (perceived quality) atau mengenal lebih dekat dan loyal (brand loyalty) kepada merek tersebut.
Artinya kita mempersulit diri sendiri dalam menembus dan membangun merek nasional di pasar global. Ini tentu kontraproduktif dengan kepentingan pemerintah untuk mendorong ekspor dan mengurangi current account deficit (CAD) yang telah menjadi penyakit akut bagi ekonomi kita.
Untuk menghindari berbagai dampak negatif di atas, Perpres ini harus dikaji kembali atau penerapannya perlu diatur sedemikian rupa sehingga jangan sampai merugikan kepentingan nasional bangsa ini.
1 comment
Nama berbahasa Indonesia konyol?
Itu hanya persoalan mental saja. Kalau sudah terbiasa dan kitanya pede, ya baik-baik saja dan bahkan keren. Contohnya Mangga Dua, batik, kompas, studio moral, dan masih banyaj lagi